"CUKUP ANTON!" bentakku. Terasa harga diriku diinjak-injak dan disamakan dengan ongkos antar jemput ini. Meski lain dihatiku, ada sedikit perasaan senang dan berdebar saat mendengar gombalan Anton. Tapi aku tak ingin Anton kegeeran. Dan aku juga istri iparnya. Hah, otak ini gimana sih? Sisi kiri aku senang, sisi kanan aku marah. "Aaaw!""Bercanda, Mbak, bercanda," ucapnya setelah punggungnya ku cubit keras."Begitu aja, galak bener sih," cerocosnya. "Makanya kalau bercanda tau diri." Aku terus mengomelinya, sementara Anton tak bersuara lagi. Dia fokus pada jalanan yang kami lalui yang mulai memasuki jalanan berbatu, mau tak mau aku harus memegang jaket si pengangguran ini. "Geli, Mbak, hahahah, jangan pegang disitu, sini ke perut biar anget," teriaknya sambil menarik tangan kiriku agar melingkar di perutnya. Aku sontak menarik tanganku, tapi Anton menahannya dengan kuat. Aku pun tak menyerah, ku sentak dengan sekali tarikan dan motor pun oleng karena Anton memegang stang dengan sat
"Abang kenapa," tanya Eni yang melihat suaminya datang dengan celana yang kotor, dan ada beberapa rumput yang menempel di celana, berbentuk bulat berduri. "Kok, cucuk riut semua?" tanya Eni sambil memainkannya. (Cucuk riut semacam rumput berduri, suka nempel di baju, kalau orang Sunda pasti tau)"Abang tadi jatuh dijalan, Mbak Susan gak mau diem duduknya, sudah tau batu semua, goyang-goyang melulu! Keperosok deh," sungutnya. "Ada yang sakit, Bang?" tanya Eni dengan wajah khawatir. "Nggak apa-apa, Mbak Susan yang kakinya ketindih motor," ucapnya sambil menahan tawa. "Kok Abang ketawa," tanya Eni keheranan."Abang, masih kebayang wajah Mbak Susan. Mau marah sama Abang tapi sepertinya dia gak berani, akhirnya dongkol. Mukanya ditekuk dan judes banget," ucapnya sambil tersenyum-senyum sendiri. "Kok bisa marah sama Abang? Perihal apa? Karena jatuh?" "Karena Abang tertawa melihat dia ketindihan motor, hahahaha," ucapnya sambil tertawa mengingat posisi Susan saat jatuh tadi. "Ish, lag
"Lan, itu make up, Onty loh!" ucap Mala dengan lembut. "Ulan pinjam sebentar, Ty," sahutnya sambil anteng memainkan beberapa botol parfum milik Mala.Mala hanya menarik nafas berat, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Badannya terasa lelah, tadi sepulang Rahmat dari Rumah Sakit, banyak tetangga yang menengok. Banyak makanan yang harus ia tata di dapur. Karena kebanyakan makanan cepat basi, jadi Mala berinisiatif menyimpan di kulkas. Dreeet…dreeet…dreeet…."Where ever you go, what ever you do. I'll be right here waiting you."Suara lembut Richard Mark mengalun syahdu dari ponsel Mala yang tergeletak di atas nakas. Dengan cekatan Ibu hamil itu menyambar ponselnya. Seketika wajahnya tersenyum lebar. Saat nama suaminya terpampang jelas di layar ponsel."Assalamualaikum," ucapnya dengan semringah."Waalaikumsalam, apa kabar, Sayang?" "Alhamdulillah sehat, Mas. Mas apa kabar? Sudah makan?""Alhamdulillah, Mas juga sehat, sudah barusan, gimana kabar Bang Rahmat?""Kakinya patah, sekarang t
Part 31. Kepulangan Rahman."Terima kasih ya, Rif, udah nganterin aku, maaf aku selalu merepotkan." Sungguh aku malu dengan Arif, mulai dari pekerjaan sampai urusan aku pulang pun, selalu saja merepotkannya. Arif mengantarkanku ke pool travel yang akan membawaku pulang ke provinsi Jawa barat."Nggak apa-apa lah, Man. Sekalian aku jalan-jalan. Kamu tau kan, aku hanya keluar ke kantor saja, paling banter nyari makan. hahahah,'' ucapnya sambil tertawa lebar. Memang begitu adanya Arif, dari sejak jaman kuliah hingga sekarang tak pernah neko-neko meski keadaan perekonomiannya menunjangnya untuk hura-hura. Ia lebih memilih fokus pada pekerjaan dan menjaga nama baik keluarganya. "Iya sih," sahutku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Tunggu sebentar," ucapnya. Arif lalu pergi ke arah belakang mobilnya, mau ngapain dia? Kulihat Arif menenteng dus. Dus yang lumayan besar sebanyak dua buah. "Ini oleh-oleh untuk keluargamu," ucapnya sambil meletakan kedua dus itu di aspal. Aku melongo me
"Assalamualaikum," ucapku sambil meletakan dua dus itu di tanah. "Waalaikumsalam," ucap Mala, ia menegakkan tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk. "Mas Rahman!" teriaknya sambil melempar sapu dan menubruk tubuhku, ia memelukku erat dengan isakan kecil. Entah apa yang terjadi, semakin lama Mala malah sesenggukan menangis di dadaku. Aku mengelus punggungnya dan mengecup puncak kepalanya. Berusaha menenangkan tanpa kata, bahwa semua akan baik-baik saja. "Om Rahman pulang! Om Rahman pulang!" teriak Wulan sambi berlari menghampiriku lalu meraih tanganku."Sehat kamu, Lan?" bocah itu mengangguk dan lari kedalam rumah, dengan teriakan yang sama seperti tadi. "Nenek, Om Rahman pulang, Om Rahman pulang!"Mala belum selesai juga menangis, kulihat Ibu di ambang pintu. "Rahman! Kenapa tidak masuk? Sini masuk," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Kamu juga, Mala. Suami pulang bukannya cepetan masuk, malah pelukan di halaman, malu atuh!" sungutnya. Duh Ibu, selalu ada saja bahan omelan untuk
Saat aku memajukan motor ke luar dari pekarangan rumah, ku lihat seorang wanita memarkir mobilnya tak jauh dari rumahku. Bahkan bisa dibilang depan rumahku, hanya saja itu masih kawasan jalan lintas kecamatan bukan pekarangan. Seorang perempuan berambut pirang dengan kacamata hitam bertengger di kepalanya, werpak jeans selutut yang talinya hanya satu di cantolkan dan yang satu jatuh hingga ke perut. "Hai, Rahman! Kapan pulang?" sapanya dengan tersenyum manis. Wajahnya cantik dan glowing, ditunjang dengan tubuh yang ideal dan high-heels tinggi. Saat pertama aku melihatnya, seperti aku melihat seorang biduan yang biasa nyanyi di acara hajatan, semacam organ tunggal. Tapi makin mendekat, aku semakin hafal siapa dia. Ya, dia Helen Puspita Devi, gadis yang dulu membuatku jatuh cinta bahkan nyaris depresi saat ia meninggalkanku demi menikah dengan pilihan orang tuanya. Aku sangat mencintainya, menjadikannya sebagai duniaku. Bukan sebentar kisah yang pernah kami rajut, hampir 3 tahun, bahk
Rumah orang tua Mala tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya makin parah rusaknya. Hingga ada di beberapa bagian jalan yang mengharuskan istriku turun dan berjalan kaki sebentar. Setelah drama jalan rusak, kami pun sampai. Sebuah rumah sederhana yang setengahnya tembok setengah lagi bilik itu terlihat rapi dan sejuk, karena di halaman ada aneka bunga dan tanaman herbal tumbuh begitu rapi. Kaca jendela yang mengkilap menegaskan bahwa pemilik rumah ini sangat mencintai kebersihan. "Assalamualaikum, Mak, Bapak," ucap Mala seraya mengetuk pintu. "Teteh, Aa," ucap Aisyah, adik bungsunya Mala yang masih duduk di bangku SMA. Gadis itu mencium takjim tangan kakaknya juga tanganku. "Masuk, Teh, A." Ia membuka pintu semakin lebar. "Mak, Abah, Teh Mala pulang," teriaknya sambil berlalu ke belakang, guna memanggil orang tuanya. Mala masih mematung dan memejamkan matanya, dia sedang menghirup udara sepertinya. Mungkin dia sedang mencium bau rumah orangtuanya. "Yank," panggilku. "Akh, iya Ma
Pov Helen.Hatiku teriris melihat kemesraan yang ditunjukan oleh Rahman, lelaki yang masih kucintai hingga saat ini. Kalian begitu lantang mengataiku sebagai pelakor tanpa tahu bagaimana rasanya jadi aku. Mala dengan jelas menunjukan bahwa dia menang dengan senyuman ejekannya. Padahal Aku hanya menyapanya saja, tapi lelaki itu jangankan menjawab, dia malah bengong lalu tak menganggapku ada. Syalan. Awas saja! Kamu akan membayar mahal untuk ini, Man. Saat aku melihatnya tadi, ingin rasanya aku memeluknya seketika lalu menumpah segala rasa selama kami berpisah 3 tahun ini. Tapi sorot mata Rahman begitu sangat memancarkan kebencian. Tapi aku yakin, jauh di lubuk hatinya sana, masih ada cinta untukku atau mungkin hatinya masih untukku. Aku tau Rahman hanya menjadikan Mala sebagai tameng kelukaannya saat aku tinggalkan dulu. Itu semua aku lakukan sebagai bakti seorang anak pada kedua orangtuaku. Kini tugas itu telah selesai, apa yang diinginkan Ibu dan bapakku tercapai. Puluhan kontrakan