"Lan, itu make up, Onty loh!" ucap Mala dengan lembut. "Ulan pinjam sebentar, Ty," sahutnya sambil anteng memainkan beberapa botol parfum milik Mala.Mala hanya menarik nafas berat, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Badannya terasa lelah, tadi sepulang Rahmat dari Rumah Sakit, banyak tetangga yang menengok. Banyak makanan yang harus ia tata di dapur. Karena kebanyakan makanan cepat basi, jadi Mala berinisiatif menyimpan di kulkas. Dreeet…dreeet…dreeet…."Where ever you go, what ever you do. I'll be right here waiting you."Suara lembut Richard Mark mengalun syahdu dari ponsel Mala yang tergeletak di atas nakas. Dengan cekatan Ibu hamil itu menyambar ponselnya. Seketika wajahnya tersenyum lebar. Saat nama suaminya terpampang jelas di layar ponsel."Assalamualaikum," ucapnya dengan semringah."Waalaikumsalam, apa kabar, Sayang?" "Alhamdulillah sehat, Mas. Mas apa kabar? Sudah makan?""Alhamdulillah, Mas juga sehat, sudah barusan, gimana kabar Bang Rahmat?""Kakinya patah, sekarang t
Part 31. Kepulangan Rahman."Terima kasih ya, Rif, udah nganterin aku, maaf aku selalu merepotkan." Sungguh aku malu dengan Arif, mulai dari pekerjaan sampai urusan aku pulang pun, selalu saja merepotkannya. Arif mengantarkanku ke pool travel yang akan membawaku pulang ke provinsi Jawa barat."Nggak apa-apa lah, Man. Sekalian aku jalan-jalan. Kamu tau kan, aku hanya keluar ke kantor saja, paling banter nyari makan. hahahah,'' ucapnya sambil tertawa lebar. Memang begitu adanya Arif, dari sejak jaman kuliah hingga sekarang tak pernah neko-neko meski keadaan perekonomiannya menunjangnya untuk hura-hura. Ia lebih memilih fokus pada pekerjaan dan menjaga nama baik keluarganya. "Iya sih," sahutku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Tunggu sebentar," ucapnya. Arif lalu pergi ke arah belakang mobilnya, mau ngapain dia? Kulihat Arif menenteng dus. Dus yang lumayan besar sebanyak dua buah. "Ini oleh-oleh untuk keluargamu," ucapnya sambil meletakan kedua dus itu di aspal. Aku melongo me
"Assalamualaikum," ucapku sambil meletakan dua dus itu di tanah. "Waalaikumsalam," ucap Mala, ia menegakkan tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk. "Mas Rahman!" teriaknya sambil melempar sapu dan menubruk tubuhku, ia memelukku erat dengan isakan kecil. Entah apa yang terjadi, semakin lama Mala malah sesenggukan menangis di dadaku. Aku mengelus punggungnya dan mengecup puncak kepalanya. Berusaha menenangkan tanpa kata, bahwa semua akan baik-baik saja. "Om Rahman pulang! Om Rahman pulang!" teriak Wulan sambi berlari menghampiriku lalu meraih tanganku."Sehat kamu, Lan?" bocah itu mengangguk dan lari kedalam rumah, dengan teriakan yang sama seperti tadi. "Nenek, Om Rahman pulang, Om Rahman pulang!"Mala belum selesai juga menangis, kulihat Ibu di ambang pintu. "Rahman! Kenapa tidak masuk? Sini masuk," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Kamu juga, Mala. Suami pulang bukannya cepetan masuk, malah pelukan di halaman, malu atuh!" sungutnya. Duh Ibu, selalu ada saja bahan omelan untuk
Saat aku memajukan motor ke luar dari pekarangan rumah, ku lihat seorang wanita memarkir mobilnya tak jauh dari rumahku. Bahkan bisa dibilang depan rumahku, hanya saja itu masih kawasan jalan lintas kecamatan bukan pekarangan. Seorang perempuan berambut pirang dengan kacamata hitam bertengger di kepalanya, werpak jeans selutut yang talinya hanya satu di cantolkan dan yang satu jatuh hingga ke perut. "Hai, Rahman! Kapan pulang?" sapanya dengan tersenyum manis. Wajahnya cantik dan glowing, ditunjang dengan tubuh yang ideal dan high-heels tinggi. Saat pertama aku melihatnya, seperti aku melihat seorang biduan yang biasa nyanyi di acara hajatan, semacam organ tunggal. Tapi makin mendekat, aku semakin hafal siapa dia. Ya, dia Helen Puspita Devi, gadis yang dulu membuatku jatuh cinta bahkan nyaris depresi saat ia meninggalkanku demi menikah dengan pilihan orang tuanya. Aku sangat mencintainya, menjadikannya sebagai duniaku. Bukan sebentar kisah yang pernah kami rajut, hampir 3 tahun, bahk
Rumah orang tua Mala tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya makin parah rusaknya. Hingga ada di beberapa bagian jalan yang mengharuskan istriku turun dan berjalan kaki sebentar. Setelah drama jalan rusak, kami pun sampai. Sebuah rumah sederhana yang setengahnya tembok setengah lagi bilik itu terlihat rapi dan sejuk, karena di halaman ada aneka bunga dan tanaman herbal tumbuh begitu rapi. Kaca jendela yang mengkilap menegaskan bahwa pemilik rumah ini sangat mencintai kebersihan. "Assalamualaikum, Mak, Bapak," ucap Mala seraya mengetuk pintu. "Teteh, Aa," ucap Aisyah, adik bungsunya Mala yang masih duduk di bangku SMA. Gadis itu mencium takjim tangan kakaknya juga tanganku. "Masuk, Teh, A." Ia membuka pintu semakin lebar. "Mak, Abah, Teh Mala pulang," teriaknya sambil berlalu ke belakang, guna memanggil orang tuanya. Mala masih mematung dan memejamkan matanya, dia sedang menghirup udara sepertinya. Mungkin dia sedang mencium bau rumah orangtuanya. "Yank," panggilku. "Akh, iya Ma
Pov Helen.Hatiku teriris melihat kemesraan yang ditunjukan oleh Rahman, lelaki yang masih kucintai hingga saat ini. Kalian begitu lantang mengataiku sebagai pelakor tanpa tahu bagaimana rasanya jadi aku. Mala dengan jelas menunjukan bahwa dia menang dengan senyuman ejekannya. Padahal Aku hanya menyapanya saja, tapi lelaki itu jangankan menjawab, dia malah bengong lalu tak menganggapku ada. Syalan. Awas saja! Kamu akan membayar mahal untuk ini, Man. Saat aku melihatnya tadi, ingin rasanya aku memeluknya seketika lalu menumpah segala rasa selama kami berpisah 3 tahun ini. Tapi sorot mata Rahman begitu sangat memancarkan kebencian. Tapi aku yakin, jauh di lubuk hatinya sana, masih ada cinta untukku atau mungkin hatinya masih untukku. Aku tau Rahman hanya menjadikan Mala sebagai tameng kelukaannya saat aku tinggalkan dulu. Itu semua aku lakukan sebagai bakti seorang anak pada kedua orangtuaku. Kini tugas itu telah selesai, apa yang diinginkan Ibu dan bapakku tercapai. Puluhan kontrakan
"Enak banget itu yang makan," ucap bapaknya Rahman dari ambang pintu kamar Ria, sambil menatap layar televisi ukuran 40 inci yang tergantung di tembok sebelah kanan aku duduk saat ini. Beliau berdiri disana entah sejak kapan.Aku pun menoleh ke arah tv, dan ternyata sedang iklan pizza, di layar menunjukan seseorang menarik potongan pizza tersebut dan kejunya molor. Mungkin itu yang membuat bapaknya mas Rahman bilang enak. "Bapak mau makan pizza?" tanyaku dengan memandang lekat wajah tuanya. "Akh, nggak. Cuma melihat saja," sahutnya. "Lagian makanan apaan itu?" "Itu makanan italia, kebetulan di kota baru ada gerai pizza, baru buka dua Minggu lalu, kalau Bapak mau, aku belikan ya?""Akh, gak usah, jauh. Lagi pula belum tentu Bapak suka, makanan belum jelas rasanya," ucapnya sambil terkekeh. Tapi aku merasa ini adalah kesempatan terbaikku untuk mengambil hati keluarga Rahman. Tentang lelaki itu sendiri aku sudah ada planing bagaimana cara meluluhkan hatinya. Urusan utamaku masuk dulu
Pembelaan Mas Rahman. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini begitu indah. dimulai dari kejutan Mas Rahman pulang, dan dengan tanpa kusangka Mas Rahman mengajakku menemui kedua orang tuaku, yang sedang aku rindukan. Sungguh, ini adalah sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Aku memiliki suami yang sangat mengerti dan peka, tanpa harus bicara terlebih dahulu. Tapi sayang, di tengah kebahagiaan yang sedang saya rasakan, Helen menjadi momok bahagia. Apalagi sekarang mereka saling bertemu kembali, aku tidak tahu isi hati suamiku seperti apa. Sedangkan Helen sudah jelas menantangku untuk merebut Mas Rahman. Apa yang akan terjadi nanti, jika misalnya Mas Rahman sampai tergoda kembali oleh Helen? Tak bisa kubayangkan kejadian itu terjadi. Aku mengusap perut buncitku, dan anakku merespon dengan cepat, dia bergerak dengan kuat, hingga aku bekerja keras untuk ngilunya. Kutatap wajah lelapnya. Wajah tampan yang sudah menjadi candu, aku selalu suka memandangi wajahnya