"Assalamualaikum," ucapku sambil meletakan dua dus itu di tanah. "Waalaikumsalam," ucap Mala, ia menegakkan tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk. "Mas Rahman!" teriaknya sambil melempar sapu dan menubruk tubuhku, ia memelukku erat dengan isakan kecil. Entah apa yang terjadi, semakin lama Mala malah sesenggukan menangis di dadaku. Aku mengelus punggungnya dan mengecup puncak kepalanya. Berusaha menenangkan tanpa kata, bahwa semua akan baik-baik saja. "Om Rahman pulang! Om Rahman pulang!" teriak Wulan sambi berlari menghampiriku lalu meraih tanganku."Sehat kamu, Lan?" bocah itu mengangguk dan lari kedalam rumah, dengan teriakan yang sama seperti tadi. "Nenek, Om Rahman pulang, Om Rahman pulang!"Mala belum selesai juga menangis, kulihat Ibu di ambang pintu. "Rahman! Kenapa tidak masuk? Sini masuk," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Kamu juga, Mala. Suami pulang bukannya cepetan masuk, malah pelukan di halaman, malu atuh!" sungutnya. Duh Ibu, selalu ada saja bahan omelan untuk
Saat aku memajukan motor ke luar dari pekarangan rumah, ku lihat seorang wanita memarkir mobilnya tak jauh dari rumahku. Bahkan bisa dibilang depan rumahku, hanya saja itu masih kawasan jalan lintas kecamatan bukan pekarangan. Seorang perempuan berambut pirang dengan kacamata hitam bertengger di kepalanya, werpak jeans selutut yang talinya hanya satu di cantolkan dan yang satu jatuh hingga ke perut. "Hai, Rahman! Kapan pulang?" sapanya dengan tersenyum manis. Wajahnya cantik dan glowing, ditunjang dengan tubuh yang ideal dan high-heels tinggi. Saat pertama aku melihatnya, seperti aku melihat seorang biduan yang biasa nyanyi di acara hajatan, semacam organ tunggal. Tapi makin mendekat, aku semakin hafal siapa dia. Ya, dia Helen Puspita Devi, gadis yang dulu membuatku jatuh cinta bahkan nyaris depresi saat ia meninggalkanku demi menikah dengan pilihan orang tuanya. Aku sangat mencintainya, menjadikannya sebagai duniaku. Bukan sebentar kisah yang pernah kami rajut, hampir 3 tahun, bahk
Rumah orang tua Mala tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya makin parah rusaknya. Hingga ada di beberapa bagian jalan yang mengharuskan istriku turun dan berjalan kaki sebentar. Setelah drama jalan rusak, kami pun sampai. Sebuah rumah sederhana yang setengahnya tembok setengah lagi bilik itu terlihat rapi dan sejuk, karena di halaman ada aneka bunga dan tanaman herbal tumbuh begitu rapi. Kaca jendela yang mengkilap menegaskan bahwa pemilik rumah ini sangat mencintai kebersihan. "Assalamualaikum, Mak, Bapak," ucap Mala seraya mengetuk pintu. "Teteh, Aa," ucap Aisyah, adik bungsunya Mala yang masih duduk di bangku SMA. Gadis itu mencium takjim tangan kakaknya juga tanganku. "Masuk, Teh, A." Ia membuka pintu semakin lebar. "Mak, Abah, Teh Mala pulang," teriaknya sambil berlalu ke belakang, guna memanggil orang tuanya. Mala masih mematung dan memejamkan matanya, dia sedang menghirup udara sepertinya. Mungkin dia sedang mencium bau rumah orangtuanya. "Yank," panggilku. "Akh, iya Ma
Pov Helen.Hatiku teriris melihat kemesraan yang ditunjukan oleh Rahman, lelaki yang masih kucintai hingga saat ini. Kalian begitu lantang mengataiku sebagai pelakor tanpa tahu bagaimana rasanya jadi aku. Mala dengan jelas menunjukan bahwa dia menang dengan senyuman ejekannya. Padahal Aku hanya menyapanya saja, tapi lelaki itu jangankan menjawab, dia malah bengong lalu tak menganggapku ada. Syalan. Awas saja! Kamu akan membayar mahal untuk ini, Man. Saat aku melihatnya tadi, ingin rasanya aku memeluknya seketika lalu menumpah segala rasa selama kami berpisah 3 tahun ini. Tapi sorot mata Rahman begitu sangat memancarkan kebencian. Tapi aku yakin, jauh di lubuk hatinya sana, masih ada cinta untukku atau mungkin hatinya masih untukku. Aku tau Rahman hanya menjadikan Mala sebagai tameng kelukaannya saat aku tinggalkan dulu. Itu semua aku lakukan sebagai bakti seorang anak pada kedua orangtuaku. Kini tugas itu telah selesai, apa yang diinginkan Ibu dan bapakku tercapai. Puluhan kontrakan
"Enak banget itu yang makan," ucap bapaknya Rahman dari ambang pintu kamar Ria, sambil menatap layar televisi ukuran 40 inci yang tergantung di tembok sebelah kanan aku duduk saat ini. Beliau berdiri disana entah sejak kapan.Aku pun menoleh ke arah tv, dan ternyata sedang iklan pizza, di layar menunjukan seseorang menarik potongan pizza tersebut dan kejunya molor. Mungkin itu yang membuat bapaknya mas Rahman bilang enak. "Bapak mau makan pizza?" tanyaku dengan memandang lekat wajah tuanya. "Akh, nggak. Cuma melihat saja," sahutnya. "Lagian makanan apaan itu?" "Itu makanan italia, kebetulan di kota baru ada gerai pizza, baru buka dua Minggu lalu, kalau Bapak mau, aku belikan ya?""Akh, gak usah, jauh. Lagi pula belum tentu Bapak suka, makanan belum jelas rasanya," ucapnya sambil terkekeh. Tapi aku merasa ini adalah kesempatan terbaikku untuk mengambil hati keluarga Rahman. Tentang lelaki itu sendiri aku sudah ada planing bagaimana cara meluluhkan hatinya. Urusan utamaku masuk dulu
Pembelaan Mas Rahman. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini begitu indah. dimulai dari kejutan Mas Rahman pulang, dan dengan tanpa kusangka Mas Rahman mengajakku menemui kedua orang tuaku, yang sedang aku rindukan. Sungguh, ini adalah sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Aku memiliki suami yang sangat mengerti dan peka, tanpa harus bicara terlebih dahulu. Tapi sayang, di tengah kebahagiaan yang sedang saya rasakan, Helen menjadi momok bahagia. Apalagi sekarang mereka saling bertemu kembali, aku tidak tahu isi hati suamiku seperti apa. Sedangkan Helen sudah jelas menantangku untuk merebut Mas Rahman. Apa yang akan terjadi nanti, jika misalnya Mas Rahman sampai tergoda kembali oleh Helen? Tak bisa kubayangkan kejadian itu terjadi. Aku mengusap perut buncitku, dan anakku merespon dengan cepat, dia bergerak dengan kuat, hingga aku bekerja keras untuk ngilunya. Kutatap wajah lelapnya. Wajah tampan yang sudah menjadi candu, aku selalu suka memandangi wajahnya
"Mala! Ayo, segera siap-siap. Kita harus pergi lebih pagi, agar tidak mengantri lama," ucap Mas Rahman yang baru saja memasuki dapur. "Sebentar Mas, aku buat kopi buat kamu dan menyelesaikan ini dulu," sahutku sambil tanganku semakin cekatan membolak-balik nasi. Serta memberinya bumbu dan kecap. "Mau kemana kalian?" tanya Ibu. "Mau ke Bank, Bu," sahut mas Rahman."Ngapain?" "Mau ngajuin pinjaman," jawab Mas Rahman pelan. "Buat apa? Bikin rumah? Kamu gak mau ngurusin Ibu bapakmu lagi, Rahman?" Pertanyaan Ibu membuat suamiku terdiam dan menunduk. "Bukan begitu, Bu." "Biarkan mereka mengurus hidupnya sendiri, Mirah. Ingat! Rahman sudah mempunyai istri. Artinya tanggung jawab dia sebagai suami akan dipertanyakan jika terus-menerus tidak mandiri," ucap Bapak dari arah belakang. "Rahman tetap tanggung jawab kok. buktinya, keperluan rumah ini separo dari gajinya dia, kalau ngandelin kamu, mana cukup!" sentak Ibu dengan amarah yang sepertinya akan meledak. "Ini pasti gara-gara kamu,
POV Rahman.Sungguh, aku tak habis pikir dengan kelakuan Mbak Susan dan juga Ibu. Sebegitu bencinya mereka terhadap istriku? Apa salahnya Mala pada mereka? Aku terkadang malu dan bingung dengan sikap Ibu kepada Mala. Aku tidak bisa mengabaikan istriku. Aku pun tidak bisa mengabaikan Ibuku. Tapi Ibu selalu saja membuat masalah, aku kasihan pada Mala, yang selalu saja di pojokan, yang selalu saja disalahkan. Ditambah dengan Mbak Susan tinggal di rumah ini. Malah menambah beban pekerjaannya Istriku saja. Mala itu lagi hamil, ada janin yang harus dijaganya. "Apa Mbak Susan selama ini selalu mengandalkan kamu untuk mengurusi suaminya?" tanyaku pada Mala yang tengah menunduk menikmati nasi goreng buatannya. "Ya, mau bagaimana lagi, Mas. kan Mbak Susan kerja. Dinas malam, dia pulang pagi-pagi langsung tidur. Akhirnya, ya urusan Bang Rahmat sama Wulan jadi tanggung jawabku. Lagian kalau bukan aku siapa lagi? Mana tega aku membiarkan Ibu mengurusi mereka. Aku mengurusi rumah ini saja, Ibu ma