Lady Neenash menghela napas. Meskipun berat, dia telah mengambil keputusan. Bayangan kepala ayah dan kakaknya yang menggelinding di genangan darah menggoreskan luka dan mengobarkan api dendam."Ya, Sallac. Aku setuju," ucapnya penuh keyakinan.Persetan dengan harga diri. Terakhir kali, Lady Neenash menjunjung tinggi harga diri, dia malah menerima penghinaan yang semakin menjadi-jadi. Lagi pula, Pangeran Sallac adalah cinta pertama dan terakhirnya, seseorang yang selalu dimimpikannya menjadi suami."Berbaringlah lagi di ranjang dan pejamkan matamu. Ini tidak akan lama," perintah Pangeran Sallac.Lady Neenash mengangguk pelan. Dia mengatur napas sejenak, sebelum melangkah ke tempat tidur. Setelah membaringkan badan, Lady Neenash memejamkan mata dengan jantung berdetak kencang.Lady Neenash mengepalkan tangan saat mendengar langkah kaki Pangeran Sallac mendekat. Dia mencengkeram sprei ketika merasa lelaki itu telah naik ke tempat tidur. Detik-detik berlalu bagaikan belenggu yang menjerat
"Aha! Itu dia!" seru Pangeran Sallac girang.Dia menatap tabung kaca di tangannya. Senyuman semringah tersungging di bibir seksi yang kemerahan. Lady Neenash memalingkan wajah karena tak kuat menahan pesona lelaki pujaan hati."Bisa-bisanya kau memikirkan cinta-cintaan setelah melewati berbagai hal buruk, Neenash! Ayah dan kakakmu bahkan mati dengan keji dan kau bertingkah tak tahu malu, sial*n!" umpat Lady Neenash dalam hati.Setelah perasaannya lebih terkontrol, dia kembali menatap Pangeran Sallac. "Kau menemukan celah untuk kabur?" tanyanya.Pangeran Sallac mengedipkan mata. "Tentu saja, Neenash. Ini akan seru!"Dia menjentikkan jari dengan wajah riang. Bibirnya komat-kamit merapal mantra. Tabung kaca berisi air mata berpendar kemerahan, lalu menjadi menyilaukan. Lady Neenash refleks memejamkan mata. "Buka matamu, Neenash! Lihatlah apa yang bisa dilakukan pemilik menara sihir yang jenius ini," celetuk Pangeran Sallac.Lady Neenash membuka mata dengan perasaan sedikit dongkol. Saat
Pangeran Sallac berhasil melakukan teleportasi dengan jarak yang cukup jauh dari menara sihir. Kini, mereka tengah berada di tengah-tengah hutan tropis. Pangeran Sallac tersenyum bangga akan kemampuannya. Namun, Lady Neenash mendelik tajam dengan rambut berantakan. "Sallac! Sial*n! Beritahu dulu kalau ingin melakukan teleportasi!" umpatnya.Dia memegangi dada yang masih berdebar kencang. Teleportasi secara mendadak sangat tidak baik untung kesehatan jantungnya. Bukannya merasa bersalah, Pangeran Sallac malah menyeringai nakal."Berhentilah tersenyum menyebalkan seperti itu atau kurobek mulutmu!" ancam Lady Neenash."Lady Esbuach yang penuh tata krama kenapa jadi bar-bar seperti ini," goda Pangeran Sallac."Tata Krama sial*n itu pada akhirnya tidak berguna untuk menyelamatkan ayah dan kakakku," lirih Lady Neenash dengan tatapan sendu.Suasana mendadak suram. Lady Neenash mengepalkan tangan dan menggigit bibir. Pangeran Sallac merasa menyesal sudah bertingkah keterlaluan. Dia menepuk b
Pangeran Sallac menggeram. Dia melepaskan panah-panah api pada akar tanaman merambat. Sekali dua kali usahanya tak membuahkan hasil."Sial!"Tak peduli akan terlacak alat sihir, Pangeran Sallac menggunakan sihir api yang lebih kuat. Suara erangan yang mengerikan memekakkan telinga. Tanaman merambat itu benar-benar seperti makhluk hidup.Tanaman merambat terlihat gusar. Sulur-sulur berdurinya mencoba menghantam Pangeran Sallac. Namun, sang pangeran bukanlah tandingannya. Hanya satu serangan kuat, akar tanaman merambat hangus tak bersisa.Perlahan, sulur yang membelit tubuh Lady Neenash terlepas. Gadis itu hampir mengempas tanah. Beruntung, Pangeran Sallac cepat menangkapnya."Bertahanlah, Neenash," bisik Pangeran Sallac.Dia cepat mengeluarkan ramuan penyembuh luka dan meminumkannya ke mulut Lady Neenash. Ramuan tak bisa masuk karena Lady Neenash tengah pingsan. Pangeran Sallac terpaksa menggunakan sihir lagi agar cairan cokelat beraroma kuat itu bisa terdorong masuk ke kerongkongan."
Dua pendeta senior kini sudah berdiri di hadapan Pangeran Sallac. Mereka menatap lekat dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sorot mata penuh kecurigaan dan meremehkan menodong.Pangeran Sallac masih menunduk takzim. Dia mendadak menjadi taat dan berdoa dengan sungguh-sungguh agar tak dikenali sebagai penyusup. Meskipun dua pendeta senior itu masih bisa dihadapi, Pangeran Sallac tak ingin membuat keributan dan membuang waktu.Pendeta senior bertubuh gempal mengelus dagu dan bergumam, "Kamu bukan pendeta di kuil ini. Jangan-jangan kamu ....""Saya pendeta yang baru dipindahkan ke sini," sahut Pangeran Sallac cepat."Ada pendeta pindahan?" Pendeta senior kurus tinggi mengerutkan kening beberapa saat, lalu berseru, "ah! Apa kamu Louvi Galathea?""Iya, Senior. Saya Louvi Galathea. Salam kepada senior sekalian. Semoga karunia Dewi Asteriella memberkati kita semua," sapa Pangeran Sallac sesopan mungkin."Salam. Semoga karunia Dewi Asteriella memberkati kita semua," balas dua pendeta senior i
Srat! Trang!Pisau Pangeran Sallac menhantam piring perak. Tepat sebelum belati menusuk kulitnya, si pemuda berjubah cokelat meraih benda terdekat dan menangkis serangan. Kebetulan, piring perak itu terjatuh di sebelah kakinya."Tenanglah dulu, Pangeran! Saya tidak bermaksud jahat! Saya hanya ingin menolong!" seru si pemuda cepat.Pangeran Sallac jelas tidak mempercayainya. Dia sudah terlalu sering dikhianati. Dulu, ketika Istana Rubi masih memiliki pelayan dan kesatria penjaga, Ratu Olive sering kali memasukkan mata-mata dan pembunuh bayaran."Lady Esbuach terkena sihir hitam. Kekuatan suci saya bisa memurnikannya," bujuk si pemuda lagi."Aku tak perlu bantuanmu! Aku sudah memiliki air suci," sergah Pangeran Sallac sembari memamerkan air suci hasil curiannya.Si pemuda menunjukkan raut wajah iba. "Anda mendapatkannya dari kuil suci pinggir kota? Air suci itu tak akan berguna," tuturnya dengan nada prihatin.Pangeran Sallac masih tak percaya. Namun, dia mulai sedikit terpengaruh. Air
Pangeran Sallac refleks menangkis botol dengan belati di tangannya. Botol kaca pun terempas ke lantai dan pecah berkeping-keping. Dia mendelik tajam ke arah Louvi. Si pendeta muda mengangkat bahu menandakan dirinya tak ada sangkut paut dengan botol melayang itu."Siapa yang melemparku sial*n!" umpat Pangeran Sallac. "Aku yang melemparmu!" sahut Lady Neenash yang baru saja terbangun karena mendengar keributan. Pangeran Sallac tersentak. Dia mengalihkan pandangan. Lady Neenash tengah melirik sinis ke arah tangan Pangeran Sallac, memberi isyarat untuk melepaskan cengkeraman dari kerah jubah Louvi."Ne-Neenash? Kau sudah bangun? Apakah ada yang sakit?" cecar Pangeran Sallac dengan suara bergetar dan tatapan penuh haru.Cengkeramannya pada kerah jubah Louvi tanpa sadar terlepas. Dia tak lagi menghiraukan Louvi dan melesat cepat ke hadapan Lady Neenash. Matanya menelisik Lady Neenash dari ujung rambut hingga ke ujung kaki."Aku benar-benar sudah pulih, Sallac. Tapi, sangat terganggu denga
Belum selesai Louvi bicara, Pangeran Sallac malah memperkuat cengkeramannya. Pendeta muda itu menjadi kesulitan bernapas. Lady Neenash menghela napas berat. "Tenanglah, Sallac. Lepaskan Tuan Galathea," bujuk Lady Neenash. Dia juga memaksa Pangeran Sallac melepaskan Louvi. Meskipun tak suka, Pangeran Sallac tetap menurut."Aku yakin Tuan Galathea tidak bermaksud buruk. Jika Tuan Galathea memang merencanakan hal jahat, dia justru akan berpura-pura tidak tahu, lalu menusuk dari belakang," tambah Lady Neenash."Itu benar, Lady," timpal Louvi, "dan saya bisa tahu identitas Anda berdua karena kekuatan suci saya juga bisa membedakan orang-orang dari aura." Lady Neenash tampak resah. Jika seorang pendeta muda saja bisa mendeteksi identitas mereka, bagaimana dengan pendeta senior. Berarti, hanya masalah waktu mereka akan ketahuan."Tenang saja, Lady. Kemampuan seperti ini hanya sedikit orang yang memilikinya. Jadi, saya rasa Anda berdua akan aman," hibur Louvi.Lady Neenash tampak masih rag