"Jadi, jelaskan, kenapa kalian bersikap tidak amoral saat ini?"Kening Leon seketika berkerut mendengar ucapan Sean, "Bertindak amoral?""Kalian meninggalkan anak kecil di rumah tanpa pengawasan. Apa lagi jika bukan disebut amoral?"Leon mengulas senyuman tipisnya, "Apa saya tidak salah dengar? Bukankah kata itu lebih cocok disematkan kepada Anda?""Apa maksud perkataanmu?" Tanya Sean dengan raut wajah tersinggung."Anda mendekati Kania kembali untuk mempermainkannya? Apa Anda juga memanfaatkan Devan demi segala keinginan untuk menemui Kania?""Bicara Anda sudah keterlaluan,""Kania tidak membuangnya ataupun menolak kehadirannya seperti ayahnya. Kania sangat menyayangi Devan, hanya karena Anda bersikap seperti ayah yang baik selama beberapa hari bukan berarti Anda bisa menghapus kesalahan Anda selama ini.""Untuk orang yang sudah membuat Kania meninggalkan tanggung jawabnya, saya rasa Anda tidak berhak menilai saya seperti itu." Balas Sean dengan geram. Mulai merasa emosi dengan perka
"Kamu yakin mau nemenin Mama kerja dulu Sayang? Mama bisa nemenin kamu tidur dulu kalau kamu ingin tidur." Tanya Kania pada Devan.Meski dengan wajah setengah mengantuk, Devan terlihat menggelengkan kepalanya, "Devan mau temenin Mama saja biar Mama tidak kesepian."Kania mengulas senyumnya mendengar ucapan Devan, ia mengusap kepala Devan dengan sayang lalu berkata, "Ya sudah kamu boleh temenin Mama di kursi sofa."Devan seketika tersenyum mendengar ucapan Kania, beberapa kali Devan terlihat menguap, namun putera kecilnya masih setia mengawasi dirinya berkerja.Bukan tanpa alasan Kania membawa sisa pekerjaannya ke dalam rumah, selain karena memang pekerjaannya sudah menumpuk, Kania juga ingin mengalihkan pikirannya dari Sean. Ia tidak boleh terus terpuruk dan menyalahkan keadaan, Kania harus bangkit, bukankah selama ini ia bisa melewatinya hanya bersama dengan Devan? Ada atau tidak adanya figur seorang ayah bagi Devan tidak akan mengubah apapun yang terjadi pada kehidupan mereka."Ma,
Berkat bantuan dari Komisaris polisi, para polisi dan detektif bekerja dengan cepat mencari penyebab kebakaran di rumah Kania."Sepertinya kami sudah menemukan penyebab kebakaran di rumah Bu Kania, Pak Leon."Leonard segera menegakkan tubuhnya saat mendengar ucapan salah satu petugas. Ia menatap ke arah Kania yang ikut memfokuskan dirinya mengetahui hal ini. Akhirnya setelah beberapa jam menunggu mereka bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi."Jadi, apa penyebab kebakaran itu bisa terjadi, Pak?" Tanya Leonard tidak sabar."Kami menemukan beberapa jerigen bekas bensin di dekat lokasi kejadian setelah kebakaran terjadi. Saya pikir kebakaran disengaja oleh seseorang. Tapi sayang, kami tidak dapat mengidentifikasi pelakunya. Tidak ada satupun CCTV yang terlihat di lokasi kejadian, itu menyulitkan kami mengetahui siapa pelaku pembakaran ini."Kania seketika terperangah mendengar fakta yang mengejutkan ini. Kebakaran ini disengaja? Tubuhnya menjadi lemas kembali, bagaimana bisa ada orang yan
Meski melihat Kania yang penuh emosional, Catherine sama sekali tidak bergeming. Ia menghela nafasnya panjang, "Apa saya benar-benar harus melaporkan ini kepada tim hukum saya, Pak Leonard?"Mendengar ancaman dari Catherine, dengan terpaksa Leon menarik tangan Kania, "Ayo kita pergi.""Tidak," tolak Kania dengan tegas."Kau ingin ditangkap sekarang? Devan membutuhkan kita."Kania menggigit bibir bawahnya dengan kuat, tubuhnya gemetar menahan segala desakan amarah di dalam dadanya."Kania, ayo kita pergi."Dengan emosi yang masih memuncak, Kania seketika menyerah. Ia membiarkan Leonard menarik tangannya lalu membawa dirinya ke luar dari sana. Mereka hendak masuk ke dalam mobil saat Sean menyusul langkah mereka dengan terburu."Kania, tunggu. Bisa kita bicara?"Kania mendengus saat mendengar ucapan Sean, ia membalikkan tubuhnya. Raut wajah Kania penuh dengan luka yang tergambar di sana. Ia menatap Sean dengan tatapan paling dingin yang pernah Sean terima. Amarahnya kepada Catherine yang
Kania tertegun sejenak mendengar ucapan Sean. Hatinya seketika bimbang memutuskan pilihan apa yang seharusnya ia ambil.Melihat Kania yang hanya terdiam, Sean kembali meraih tangannya. Ia menatap Kania dengan dalam, "Aku mohon Kania, hanya kali ini saja. Setelah ini aku tidak akan mengganggu kalian lagi." mohon Sean dengan sangat.Kania menghela nafasnya, "Baiklah, tapi ini untuk yang terakhir."Kania membuka pintu rumahnya lebih lebar membiarkan Sean masuk ke dalam sana. Tepat saat Sean melangkahkan kakinya ke dalam, suara Devan langsung menyambut mereka."Papa! Papa darimana saja? Kenapa baru datang?"Sean mengulas senyuman tipisnya mendengar pertanyaan dari Devan. Rasa sesak mulai melingkupi hati Sean saat menyadari bahwa ia terlalu sibuk dengan permasalahan yang ia miliki. Jika saja Sean tahu bahwa waktu mereka tidak akan lama, Sean tidak akan menyia-nyiakan segala waktu untuk mereka.Sean memeluk tubuh mungil itu dengan erat, rasanya berat sekali jika ia harus berpisah kembali de
"Ma, bangun. Kita sudah sampai,"Kania mengerjapkan matanya mendengar suara Devan yang tengah membangunkannya. Ia mengucek matanya dengan kedua tangan lalu bangkit."Mana Papa?"Tepat sebelum Devan menjawab, Sean terlihat berlari menghampiri mereka. Mata Kania melebar melihat kostum Sean yang sudah berganti dengan pakaian santai setelan kaos yang nyaman dipakai.Sean melempar kedua bungkusan di tangannya ke arah Kania, "Ini, pakai. Untuk Devan juga.""Apa ini?""Baju ganti, kau bilang butuh baju ganti."Kania segera membuka bungkusan itu, raut wajahnya semakin terkejut saat melihat gambaran baju yang Sean bawa."Anda membelikan baju yang sama untuk kita bertiga?" Tanya Kania tidak percaya, ia menggelengkan kepalanya lalu menyerahkan baju itu kembali ke arah Sean, "Saya tidak mau memakainya,"Alis Sean seketika bertaut mendengar ucapan Kania, "Kenapa? Ini hanya baju. Kau tidak ingin memakainya karena bajunya sama? Ayolah... Kau bukan anak kecil, Kania."Mengabaikan perdebatan antara Se
Kania terdiam melihat apa yang diulurkan oleh Sean. Sebuah gambar yang menunjukkan desain undangan pernikahan. Ada perasaan sesak yang ia rasakan saat melihat gambar ini, namun Kania mencoba menahannya. Kania melihat gambar desain itu dengan seksama. Desain yang terlihat indah, tapi membuat hatinya sesak."Aku belum sempat mencetaknya, tapi akan ku kirimkan fisiknya kepadamu besok."Kania mencoba mengulas senyuman mendengar ucapan Sean. Ia memberikan ponsel Sean kembali lalu berkata, "Apa perlu ku berikan selamat?""Tidak perlu ku rasa.""Selamat, kalian sangat serasi." balas Kania dengan tegas.Sean balas memberikan senyuman getir, bukan ini balasan yang ia inginkan. Bukan raut wajah yang terlihat biasa saja yang ia harapkan. Sean menghela nafasnya panjang, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi baginya.Sean memilih mengulurkan tangannya, melihat Kania yang hanya terdiam, ia memiringkan kepala memberi isyarat agar Kania menjabat tangannya.Meski terlihat enggan, Kania menuruti Sean
Sean terhenyak saat mendapati tindakan Sheline yang di luar skenario mereka. Matanya melebar sempurna, ingin rasanya Sean mendorong tubuh Sheline saat ini, namun mengingat banyak wartawan yang sedang meliput mereka, Sean tidak bisa berbuat banyak.Hingga saat ciuman itu berakhir, Sean memberikan tatapan tidak senangnya, namun Sheline terlihat bergeming. Sama sekali tidak merasa terganggu dengan sikap Sean yang jelas-jelas tidak terima."Saya rasa sudah cukup wawancaranya,"Amarah Sean kembali memuncak, ia tidak menyangka jika wanita yang berada di sampingnya akan melakukan hal gila seperti ini. Bagaimana tidak? Siaran mereka pasti akan dilihat oleh banyak orang, termasuk Kania dan juga Devan. Sean berdecak, seharusnya ia tidak meremehkan Sheline begitu saja.Sean menarik tangan Sheline lalu keluar dari gedung konferensi. Saat mereka hanya tinggal berdua, Sean segera melempar tubuh Sheline dengan kuat."Apa yang kau lakukan, hah?"Sheline terlihat mengangkat bahu mendengar ucapan Sean,