"Ma, bangun. Kita sudah sampai,"Kania mengerjapkan matanya mendengar suara Devan yang tengah membangunkannya. Ia mengucek matanya dengan kedua tangan lalu bangkit."Mana Papa?"Tepat sebelum Devan menjawab, Sean terlihat berlari menghampiri mereka. Mata Kania melebar melihat kostum Sean yang sudah berganti dengan pakaian santai setelan kaos yang nyaman dipakai.Sean melempar kedua bungkusan di tangannya ke arah Kania, "Ini, pakai. Untuk Devan juga.""Apa ini?""Baju ganti, kau bilang butuh baju ganti."Kania segera membuka bungkusan itu, raut wajahnya semakin terkejut saat melihat gambaran baju yang Sean bawa."Anda membelikan baju yang sama untuk kita bertiga?" Tanya Kania tidak percaya, ia menggelengkan kepalanya lalu menyerahkan baju itu kembali ke arah Sean, "Saya tidak mau memakainya,"Alis Sean seketika bertaut mendengar ucapan Kania, "Kenapa? Ini hanya baju. Kau tidak ingin memakainya karena bajunya sama? Ayolah... Kau bukan anak kecil, Kania."Mengabaikan perdebatan antara Se
Kania terdiam melihat apa yang diulurkan oleh Sean. Sebuah gambar yang menunjukkan desain undangan pernikahan. Ada perasaan sesak yang ia rasakan saat melihat gambar ini, namun Kania mencoba menahannya. Kania melihat gambar desain itu dengan seksama. Desain yang terlihat indah, tapi membuat hatinya sesak."Aku belum sempat mencetaknya, tapi akan ku kirimkan fisiknya kepadamu besok."Kania mencoba mengulas senyuman mendengar ucapan Sean. Ia memberikan ponsel Sean kembali lalu berkata, "Apa perlu ku berikan selamat?""Tidak perlu ku rasa.""Selamat, kalian sangat serasi." balas Kania dengan tegas.Sean balas memberikan senyuman getir, bukan ini balasan yang ia inginkan. Bukan raut wajah yang terlihat biasa saja yang ia harapkan. Sean menghela nafasnya panjang, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi baginya.Sean memilih mengulurkan tangannya, melihat Kania yang hanya terdiam, ia memiringkan kepala memberi isyarat agar Kania menjabat tangannya.Meski terlihat enggan, Kania menuruti Sean
Sean terhenyak saat mendapati tindakan Sheline yang di luar skenario mereka. Matanya melebar sempurna, ingin rasanya Sean mendorong tubuh Sheline saat ini, namun mengingat banyak wartawan yang sedang meliput mereka, Sean tidak bisa berbuat banyak.Hingga saat ciuman itu berakhir, Sean memberikan tatapan tidak senangnya, namun Sheline terlihat bergeming. Sama sekali tidak merasa terganggu dengan sikap Sean yang jelas-jelas tidak terima."Saya rasa sudah cukup wawancaranya,"Amarah Sean kembali memuncak, ia tidak menyangka jika wanita yang berada di sampingnya akan melakukan hal gila seperti ini. Bagaimana tidak? Siaran mereka pasti akan dilihat oleh banyak orang, termasuk Kania dan juga Devan. Sean berdecak, seharusnya ia tidak meremehkan Sheline begitu saja.Sean menarik tangan Sheline lalu keluar dari gedung konferensi. Saat mereka hanya tinggal berdua, Sean segera melempar tubuh Sheline dengan kuat."Apa yang kau lakukan, hah?"Sheline terlihat mengangkat bahu mendengar ucapan Sean,
"Aku akan mengembalikannya lagi."Tepat setelah Kania mengatakan itu, ponsel Sean bergetar menandakan notifikasi masuk di ponselnya. Ia menghela nafasnya panjang saat melihat apa yang tertera di layar. Kania benar-benar mengembalikan uangnya."Aku tidak ingin berhutang pada siapapun, apalagi pada keluarga Sagara."Setelah berkata seperti itu, Kania bangkit berdiri hendak meninggalkan area kantor Sean, namun dengan cepat Sean menahan tangannya.Sean menatap Kania dengan tatapan sedih, sikap dingin Kania membuat Sean merasa sangat tidak berdaya."Kau begitu membenciku?"Kania menepis tangan Sean dengan kasar, "Tidak, aku tidak membencimu. Aku hanya tidak ingin lagi terlibat denganmu. Itu yang dilakukan seseorang ketika hubungan berakhir. Jangan pernah melibatkan aku dalam kisah asmaramu lagi, Sean Sagara."Kania segera beranjak meninggalkan area kantor Sean lalu menyetop sebuah taksi. Ia mulai menyesali apa yang ia lakukan setelah ia berada di dalam taksi. Kania meremas rambutnya dengan
Pesan yang dimaksud oleh Erik akhirnya tiba di dalam ponselnya. Sheline segera menghampiri Catherine yang terlihat masih sibuk melihat-lihat barang yang hendak mereka."Ma, aku ada urusan hari ini, bagaimana jika kita lanjutkan besok saja?"Catherine terlihat mengangkat alisnya mendengar ucapan Sheline, "Dilanjutkan besok? Tapi, kita baru saja tiba di toko ini, Sayang. Lagipula kamu bilang kita tidak ada waktu lagi untuk bersiap. Kenapa tiba-tiba kamu berpamitan pada Mama sekarang?" ujar Catherine merasa aneh dengan perubahan jadwal yang tiba-tiba dari Sheline.Sheline menampilkan raut wajah bersalahnya, "Maaf, tapi aku benar-benar ada urusan hari ini. Kita akan pergi besok, aku janji Ma," balasnya dengan nada menyesal."Padahal Mama sudah mengosongkan jadwal Mama untuk kamu hari ini,""Sheline benar-benar minta maaf, Ma."Catherine terlihat menghela nafasnya panjang, "Ya sudah, memangnya kamu mau kemana? Apa perlu Mama antar?"Sheline segera mengangkat tangannya mendengar ucapan Cath
Kania mendengus kuat mendengar ucapan Sheline, "Untuk apa aku datang ke sana?""Kenapa kau takut?"Kania mengangkat alisnya mendengar ucapan Sheline, "Apa maksudmu?""Apa kau masih mencintai calon suamiku hingga tidak sanggup menghadiri pernikahannya?"Kania terperangah mendengar ucapan Sheline, "Jangan konyol.""Kalau begitu datanglah jika kau memiliki keberanian, Kania.""Baiklah, siapa takut? Sekarang pergi karena aku sudah cukup muak melihat keberadaanmu di sini.""Tidak perlu mengusirku, aku juga tidak tahan terus berada di tempat kumuh seperti ini."Kania hanya bisa mengepalkan sebelah tangannya melihat tingkah Sheline yang arogan. Sheline terlihat mengambil tas tangannya lalu beranjak pergi dari ruangan Kania. Sheline sudah hendak membuka pintu, namun wanita itu tiba-tiba kembali berbalik menghadap Kania."Oh ya Kania, jangan menangis nanti di sana."Kania terhenyak mendengar ucapan Sheline, ingin rasanya ia membanting vas bunga yang berada di sampingnya ke arah Sheline. Kania
Kania tidak percaya dengan apa yang dilakukan. Riuh gaduh suara-suara yang berbisik diantara para tamu membuat Kania merasa canggung. Meski ia sangat nyaman dengan hangatnya pelukan Sean yang melingkupinya, tapi Kania cukup tahu diri. Ini pesta pernikahan seseorang dan ia tidak ingin merusaknya."Sean, lepaskan aku.""Semoga kau juga bahagia, Kania."Bisikan Sean yang terdengar lirih di telinganya membuat sesak itu semakin dalam. Kania berhenti melawan hingga Sean benar-benar melepaskan pelukan mereka beberapa detik kemudian."Maaf karena membuatmu harus datang kemari. Terimakasih,"Kania hanya terdiam, tidak mampu menjawab apapun. Sungguh saat ini ia terlalu bingung bagaimana menanggapi tindakan Sean. Hatinya terasa sangat sesak hingga tidak mampu lagi melanjutkan sandiwaranya. Kenapa Sean selalu mempersulit dirinya saat hendak mengucapkan salam perpisahan? Harusnya semuanya sudah berakhir, lagipula Sean sudah memiliki orang lain."Ayo kita pergi Sayang,"Kania seketika tergeragap sa
Mata Leonard membelalak lebar mendengar ucapan itu. Kecupan balasan Kania di bibirnya mulai membangkitkan hasrat yang selalu Leonard simpan. Ia menarik tubuh Kania hingga kulit mereka menempel sempurna."Kau yang memulai lebih dulu, Kania. Jangan menyesal karena kau yang telah memancingku."Leon mulai mengecup bibir Kania. Kecupan itu lama kelamaan berubah menjadi lumatan yang dalam. Sedetail mungkin Leon menjelajah ke tiap sudut mulut Kania dengan penuh gairah. Baru saat ia melihat nafas Kania mulai terengah, Leon menghentikan lumatannya.Setelah membiarkan Kania mengambil nafas untuk beberapa detik, Leon kembali memulai ciumannya yang panas.Puas bermain di dalam mulut Kania, sentuhan Leon mulai turun ke area bawah. Ia mengecup leher jenjang Kania yang memutih, menelusuri tiap detailnya tanpa ada yang terlewat.Aroma raspberry dan juga vanilla yang menguar dari balik tubuh Kania membuat gairahnnya semakin membara. Leon memangku tubuh Kania yang mungil lalu membawanya ke arah ranjang