Binar tidak segera menjawab. Ada sedikit rasa takut di dalam hatinya saat dia menerima penawaran Kala. Dia takut jatuh cinta. Benar, dia sudah meyakinkan dirinya jika dia tak akan lagi menjadi perempuan yang ‘tergantung’ pada orang lain. Tapi tetap saja kekhawatiran itu ada. Setelah dia meyakinkan dirinya untuk menutup hatinya rapat. Dan dia yakin tidak ada yang bisa membukanya. Maka dia mengangguk mantap. “Tujuan saya menikah hanya satu. Saya ingin memiliki anak. Tak peduli meskipun itu tanpa cinta.” “Bagaimana kalau saya memanfaatkan kamu dalam hubungan ini?” Kala kembali bersuara.“Bukankah kita sama-sama melakukannya dengan keuntungan kita masih-masing? Jadi saya pikir, kita tidak perlu lagi membicarakan ini lagi.” Binar kemudian beranjak. “Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, saya akan kembali.” Kala mengangguk mempersilakan Binar untuk pergi dari ruangannya. Mengikuti kepergian Binar sampai perempuan itu duduk di kubikelnya dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Ka
“Saya Binar, istri Kala.” Senyum Binar terbit dan tampak tidak ada kecemburuan. Bukankah memang dia tidak berhak cemburu? Memang dia siapa? Binar memang istrinya, tapi hanya sebagai status di atas kertas. Perempuan itu tidak ingin terlalu mendalami perannya. Membentengi hatinya tinggi-tinggi mulai sekarang akan lebih baik dilakukan. “Saya masuk dulu.” Ketika lift terbuka, Binar keluar lebih dulu meninggalkan Kala dan Widi begitu saja. Ada sesuatu yang aneh yang pasti tampak di mata Widi. Perempuan itu bahkan harus menahan kepergian Kala ketika lelaki itu ingin pergi dari sana. “Tanggapan istrimu, kenapa begitu biasa dengan keberadaanku. Seperti, ada yang aneh dengan hubungan kalian.” Widi adalah seorang perempuan yang tentu saja feelingnya begitu tajam dengan hal-hal seperti itu. Maka dia tak ingin berpura-pura tidak tahu dengan keganjilan yang dirasakan. Kala melepaskan tangan Widi di tangannya. Lelaki itu menggeleng pelan. “Dia memang seperti itu. Selama dia merasa sesuatu yan
“Binar, kenapa harus buru-buru? Bersabarlah.” Kala membujuk Binar agar Binar setidaknya mau menunggu sampai Tuhan benar-benar mempercayakan mereka memiliki anak. Jika memang benar-benar tak kunjung mendapatkannya ketika sudah lama menikah, mungkin opsi tersebut bisa dilakukan. Tapi mood Binar sedang tidak baik kali ini, maka dia tidak menyanggah lagi ucapan Kala karena yang dia pikir jawaban Kala adalah sebuah bentuk penolakan. Pergi begitu saja dari hadapan Kala, Binar bahkan tak menebus vitamin yang sudah diresepkan oleh dokter. Perasaannya tengah kacau luar biasa dan semakin terasa pedih ketika melihat pasangan yang tengah tersenyum dengan seorang bayi ada digendongannya. Tatapan Binar penuh harap seolah dia ingin segera mendapatkannya juga. “Kamu pasti ingin mendapatkan yang seperti itu juga ‘kan?” Sebuah suara terdengar dari sisi kirinya. Binar menoleh dan mendapati si mantan suami tengah berdiri di sana. Namun Binar memilih tidak menjawab. Karena ketika dia sudah membuka mul
“Penyesalan itu udah nggak ada gunanya lagi sekarang. Kehidupanku sudah berantakan.” Widi melanjutkan ucapannya. Kala tidak menjawab. Ada di dalam sisi hatinya yang ingin menertawakan Widi. Tapi di sisi lain, dia merasakan ada sesuatu yang begitu mendesak yang dia tak tahu itu apa. Logikanya mengatakan jika dia tak seharusnya begitu bodoh dengan masih memikirkan kemungkinan yang tidak mungkin. “Aku pikir, kamu sudah punya anak dan ….”“Aku keguguran saat itu.” Widi memotong ucapan Kala, membuat atmosfer di antara mereka tampak membeku. “Kal, aku minta maaf.” Widi tampak benar-benar menyesal. “Seandainya aku tidak melakukan hal buruk itu, aku yakin sekarang kehidupan kita akan bahagia. Aku … bahkan masih mencintaimu.” Ada gejolak yang tidak bisa Kala hindari. Perasaan cinta yang masih kental, harapan-harapan yang pernah pupus, kembali menjadi melebur menjadi satu dan menciptakan sesuatu yang sangat luar biasa. Ada euphoria yang muncul di dalam hatinya. Itu seperti sebuah kebahagiaan
Rentetan pertanyaan itu membuat Kala terdiam. Selama mereka menikah, Binar memang tidak bertanya tentang alasan Kala yang bersikeras mau menikahinya. Dia hanya berpikir itu bukan urusannya. Tapi setelah dia berpikir lebih dalam lagi, ada sebuah ketakutan yang akhirnya muncul di dalam pikirannya. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dan meluruskan semuanya. Dengan begitu, dia tahu arah hidupnya kedepannya. “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya dan penasaran dengan ini? Bukannya kamu sebelumnya tidak peduli alasanku?” Kala menjawab. Merasa aneh dengan “Karena aku harus tahu arah masa depanku. Sekarang aku tanya, apa Mas akan melanjutkan pernikahan kita sampai seterusnya?” Binar memancing. Namun Kala pun tidak segera menjawab. Tentulah Kala juga mungkin tidak pernah berpikir tentang kelanjutan hubungan mereka. Baik Binar maupun Kala, mereka hanya mengikuti ego mereka untuk menikah. Binar dengan dendamnya kepada Rasya yang ingin membuktikan dia bisa memiliki anak, dan Kala dengan alasannya
“Bantu, Mas? Dengan cara apa?” Menghilangkan perasaan cinta yang sudah terpendam lama tidaklah mudah. Terlebih lagi, Kala tampak tidak memiliki keinginan untuk melakukannya. Lelaki itu masih memuji Widi habis-habisan di dalam hatinya. Bagaimana Binar tahu? Karena setiap Kala menceritakan tentang mantannya, tampak begitu antusias. Sorot matanya berbinar cerah seolah dia tengah menceritakan kejadian yang begitu menyenangkan.Kala mengedikkan bahunya tak acuh. “Entah. Barangkali dengan membuat aku mencintaimu?” Binar menyeringai. “Aku bahkan nggak yakin Mas bisa mencintaiku.” Ingin menyudahi pembahasan itu, Binar beranjak dari sofa untuk masuk ke dalam kamar. Dia membutuhkan air dingin untuk mengguyur kepalanya supaya lebih segar dan menyingkirkan segala macam hal buruk yang ada di dalam pikirannya. Kala menatap kepergian Binar dalam diam. Perbincangan malam ini adalah sebuah perbincangan yang berat. Sebelumnya mereka bahkan tidak pernah mengusik apa pun antara kehidupan satu dengan y
“Aku hamil, Mas.” Hari sudah malam ketika Widi mengatakan itu kepada Kala. Kala yang tadinya tengah sibuk dengan laptopnya itu seketika mendongak dan sebuah tatapan terkejut dilayangkan untuk sang istri.“Hamil? Kamu hamil?” Kala meyakinkan sekali lagi dengan sebuah keantusiasan yang begitu tinggi. Berdiri dari kursi kerjanya kemudian mendekat pada Widi. “Sayang, kamu benar-benar hamil?” Kebahagiaan itu tampak begitu nyata. Kala merasakan jantungnya sudah berdetak berkali lipat dari sebelumnya. Akhirnya sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah. Akhirnya, buah cintanya dengan Widi pun muncul dan akan segera lahir dalam hitungan bulan. Akhirnya, setelah menunggu beberapa tahun, dia ada di fase ini. Namun pernyataan Widi selanjutnya membuat Kala menghentikan semua euphoria yang dirasakan.“Aku hamil anak orang lain. Selama ini, aku selingkuh.” Kala pada akhirnya tidak ingin mempercayai ucapan Widi. Perempuan itu pasti sedang bercanda. Bagaimana mungkin perempuan yang dicintai begit
“Apa yang membuat kalian akhirnya berpisah?” Kala dan Widi sudah selesai makan. Kini mereka duduk di depan televisi yang menampilkan acara satwa dan fauna. Kala duduk di satu sudut sofa, sedangkan Widi duduk di sudut yang lain. Kala sudah penasaran dengan alasan Widi yang bercerai dengan suaminya yang sudah membawanya jauh sampai ke luar Indonesia. Mendengar pertanyaan Kala, Widi sedikit muram. Tapi dia perlu mengatakannya. Perempuan itu menoleh menatap Kala yang ada di sisi kirinya. Tatapannya begitu lekat dan penuh cinta. “Aku senang kamu masih peduli denganku setelah semua yang terjadi dengan kita sebelumnya.” Widi tidak berbohong ketika perasaan hangatnya menjalar sampai ke tulang-tulangnya ketika Kala tampak memberikan perhatian lebih kepadanya. “Ada banyak ketidakcocokan sebenarnya. Dia terlalu mengekang. Tapi dia bahkan nggak mau kalau aku terlalu mencampuri urusannya. Dan juga, dia memiliki seorang perempuan lain yang membuatnya terlena.” Kala mendengarkan dengan seksama s