“Kak, ini udah terlalu malam. Biar aku yang antar.” Erza membujuk Binar. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua malam. Ibu tirinya pun memaksa Binar agar mau diantarkan oleh adiknya. Tapi Binar bersikeras menolak. “Za, aku nggak mau kamu kelelahan. Besok kuliah, kan?” tanyanya pada lelaki itu. “Kamu jaga Ayah aja. Kalau ada apa-apa kamu bisa bilang ke aku.” “Kalau Kakak nggak mau diantar, Kakak harus tetap di rumah sakit dan menginap. Besok pagi, Kakak baru pulang.” Binar tahu kekhawatiran Erza. Tapi Binar sudah sangat terbiasa dengan urusan seperti ini. Maka dia tetap pada pendiriannya untuk tetap pulang sendiri. Tanpa menunggu banyak waktu, dia pulang dengan ojek online yang sudah dipesannya. Erza bahkan tampak frustasi karena tidak berhasil membujuk kakaknya tersebut. Binar sekali lagi tidak ingin merepotkan orang lain. Selama dia bisa melakukan apa pun sendiri, dia tak akan meminta bantuan orang lain. Kecuali membuat anak, dia tidak bisa membuat anak seorang diri tanpa partn
Apakah Binar berhak marah ketika suaminya tengah bersama perempuan lain, mendapatkan perhatian dari perempuan lain, sedangkan sejak awal pernikahan mereka hanya ditujukan pada sebuah perjanjian saling menguntungkan. Binar berpikir dia tak berhak melakukannya. Terlebih lagi Kala memberikan akses kepada perempuan itu untuk masuk ke dalam kehidupannya. Seandainya Kala benar-benar ingin Binar membuatnya jatuh cinta, maka seharusnya Kala menutup aksesnya untuk perempuan mana pun. “Pagi, Mbak Bi. Kenapa sih? Kuyu banget kayaknya.” Anton menyapa dengan sebuah penilaian seperti biasanya. “Nggak papa, Ton. Gara-gara berangkat telat, macet udah nggak ketulungan. Ohya, nanti ikut meeting di luar ya. Sama aku.” “Lho … lho… kenapa aku, Mbak? Uli kan ada.” Anton yang selalu enggan keluar kantor itu segera menolak secara halus dengan mengajukan kandidat lain untuk menggantikannya. “Kan aku maunya kamu. Siapkan, dan kalau bisa deal. Kontraknya panjang itu.” Binar segera menuju mejanya tanpa men
“Permisi, Pak.” Suara Anton membuat perhatian Kala teralihkan. Dia baru saja makan siang ketika Anton masuk ke dalam ruangannya. Anton berjalan kemudian mendekat ke meja Kala. Tidak segera meletakkan dokumen kerja sama yang dibawanya namun dia melihat tiga kotak makan yang ada di meja bosnya tersebut. Satu kotak berisi nasi dan ayam goreng. Satu kotak lagi berisi kuah sayur. Satu lagi berisi irisan buah. “Waw.” Anton tersenyum bangga. “Mbak Bi memang totalitas.” Pergerakan Kala terhenti ketika ucapan itu terdengar di telinganya. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa tak bisa menelan makanannya. Mencoba bersikap biasa saja, Kala menatap Anton. “Apa yang mau kamu berikan ke saya?” tanya Kala setelah itu. “Bagaimana meetingnya?” Anton mengacungkan jempolnya. “Nggak perlu risau kalau sama Mbak Bi, mah. Kami dapat kerja sama dengan dua perusahaan sekaligus. Silakan Bapak periksa.” Anton meletakkan dua dokumen itu di atas meja. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.” “Kenapa kamu yang an
Binar mengingat kapan terakhir kali dia berhubungan badan dengan Kala. Mungkin satu bulan yang lalu sebelum masalah menyerang mereka. Sebelum Kala menjadi pembohong dan menyembunyikan hubungannya dengan Widi. Binar tidak begitu ingat kapan dia ‘melakukannya’ namun jika dia melihat kalender, maka dia sudah telat menstruasi selama dua minggu lebih hampir tiga minggu. “Tuhan, ini beneran ‘kan? Aku nggak sedang halusinasi?” Takut satu tes tidak cukup kuat untuk membuktikan, maka dia mengambil tes yang lain dan hasilnya benar-benar sama. Ada garis dua menandakan dia positif hamil. Binar tidak bisa menahan tangis yang keluar. Dia sebenarnya hanya iseng mengecek kehamilan hari ini. Bahkan saat dia baru saja pulang kerja, bukan di waktu pagi hari yang kata dokter hasilnya lebih paten. Perempuan itu mengelus perutnya dengan sayang dan tergugu di tempatnya. Dia duduk di lantai toilet dengan lima testpack di depannya yang menunjukkan garis dua. Binar luar biasa bahagia. Dia tidak pernah men
Binar memang tengah terbuai. Ketika dia sekarang memiliki janin di dalam perutnya, perasaan untuk memiliki keluarga utuh itu datang menyerangnya. Dia ingin memiliki suami yang mencintainya, memiliki anak-anak yang juga menyayanginya, membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia. Memangnya siapa yang tidak ingin memiliki semua itu? Meskipun Binar pernah berada dalam titik di mana dia ingin membekukan perasaannya, tapi kalau memang hubungannya dengan Kala bisa diatur ulang menjadi sebuah rumah tangga yang benar, kenapa tidak. “Aku akan membuatkan kamu susu hamil. Kamu tunggu ya.” Nyatanya, sebuah jawaban Kala yang berbelok itu menunjukkan jika Kala memang tidak ingin berusaha. Sepertinya, bayang-bayang masa lalu yang sekarang kembali ke dalam hidupnya itu membuat Kala semakin sulit untuk melupakannya. Binar mengelus perutnya dengan lembut. Mengatakan kepada anaknya jika mereka harus melewati semua ini bersama. Mulai sekarang, hidup Binar akan dicurahkan untuk anaknya. “Minumlah.”
‘Aku siapkan sarapan. Maaf nggak bisa menemani makan, aku berangkat duluan.’ Sebuah sticky note tertempel di atas meja tepat di samping sarapan Kala, pagi ini. Satu porsi omelette, sebuah roti isi, dan juga secangkir kopi. Itu adalah menu yang Binar buatkan untuk Kala. Kala tidak tahu Binar bangun jam berapa semalam, tapi di saat dia bangun, Binar sudah tidak ada di mana pun. Otomatis, kejadian semalam tidak bisa mereka selesai segera. Binar jelas tengan menghindarinya. Kala mengacak rambutnya dengan perasaan kesal luar biasa. Mencoba menghubungi Binar pun tidak mendapatkan respon dari perempuan itu. Kala duduk di kursi makan seorang diri lantas menyantap sarapannya. Menatap sekeliling, hanya rasa sepi yang menemaninya. “Kamu kenapa?” Seperti sebuah keharusan, basement adalah tempat kedua buat Widi dan Kala bertemu sebelum berangkat kerja. Pun dengan pagi ini, Widi sudah menunggu di sana seolah tidak jera sudah ketahuan oleh Binar kemarin. Dan pagi ini, Widi melihat Kala yang tamp
“Aku juga sudah memutuskan. Aku nggak akan menceraikan kamu.” Kala akhirnya bersuara. Menatap lekat ke arah Binar yang ada di depannya. keyakinannya begitu tinggi ketika mengatakan itu. Binar tidak buru-buru besar kepala. Dia justru menjawabnya dengan santai. “Kalau Mas nggak mau kita bercerai, kenapa masih berhubungan dengan masa lalu Mas yang sudah jelas-jelas itu menyakitiku. Bukankah Mas dulu pernah mengalami bagaimana sakitnya dikhianati oleh istri Mas, kenapa sekarang Mas melakukan hal yang sama kepadaku?” “Bi, kami hanya berteman. Aku dan dia hanya berteman.” “Berteman macam apa yang bahkan rela meninggalkan istrinya di kamar sendirian pukul tiga pagi? Mas ngapain di rumah mantan istri Mas di jam segitu?” “Aku nggak melakukan apa-apa, Bi.” Kala menarik napasnya panjang berusaha mengurai segala kerumitan yang ada di dalam otaknya. “Semalam itu, Widi tidak bisa tidur. Dia hanya ingin aku nemeni dia.” “Kalau Mas ada di sana, dia mau apa? Minta puk-puk? Dan tentu saja Mas ngg
“Oh, tentu. Dia memang nggak bersalah. Aku yang bersalah karena sudah dengan bodohnya menerima pernikahan ini tanpa berpikir akan seperti ini dampaknya.” Kini tatapan Binar tak kalah tajamnya. “Sepertinya kita tak perlu lagi berdebat masalah ini mulai sekarang. Aku sudah lepas tangan. Tentang kehamilanku, aku bisa mengatasi sendiri. Mas silakan hidup dengan kebahagiaan Mas. Aku nggak akan pernah menghalangi Mas untuk dekat dengan siapa pun mulai sekarang. Aku cukup tahu diri.” “Anak itu juga anakku. Kamu nggak berhak mengakuinya sendiri.” “Tentu saja dia juga anak Mas. Setelah dia lahir nanti, aku tidak akan menjauhkan dia dari Mas. Tapi sekarang, dia masih berada di dalam tubuhku. Itu artinya, aku berhak sepenuhnya atasnya. Dan aku bisa mengatasi diriku tanpa bantuan orang lain termasuk, Mas.” Binar pergi begitu saja dari meja makan membiarkan Kala yang masih setia duduk di tempatnya sambil menatap Binar dari belakang dengan tatapan tajam. Binar naik ke lantai atas dan masuk ke da