“Oh, tentu. Dia memang nggak bersalah. Aku yang bersalah karena sudah dengan bodohnya menerima pernikahan ini tanpa berpikir akan seperti ini dampaknya.” Kini tatapan Binar tak kalah tajamnya. “Sepertinya kita tak perlu lagi berdebat masalah ini mulai sekarang. Aku sudah lepas tangan. Tentang kehamilanku, aku bisa mengatasi sendiri. Mas silakan hidup dengan kebahagiaan Mas. Aku nggak akan pernah menghalangi Mas untuk dekat dengan siapa pun mulai sekarang. Aku cukup tahu diri.” “Anak itu juga anakku. Kamu nggak berhak mengakuinya sendiri.” “Tentu saja dia juga anak Mas. Setelah dia lahir nanti, aku tidak akan menjauhkan dia dari Mas. Tapi sekarang, dia masih berada di dalam tubuhku. Itu artinya, aku berhak sepenuhnya atasnya. Dan aku bisa mengatasi diriku tanpa bantuan orang lain termasuk, Mas.” Binar pergi begitu saja dari meja makan membiarkan Kala yang masih setia duduk di tempatnya sambil menatap Binar dari belakang dengan tatapan tajam. Binar naik ke lantai atas dan masuk ke da
Binar pikir, Kala tidak akan datang ke rumahnya hari ini. Tapi ternyata Binar salah, lelaki itu justru datang pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke kantor. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Kala masih dingin, tapi Binar bahkan tidak peduli. “Mama ingin kita pergi makan malam ke rumah nanti malam.” Kala bersuara lebih dulu. “Kita akan datang sekalian kamu pulang ke apartemen.” Binar tidak menjawab dan lebih memilih menikmati sarapannya. Membuat Kala merasa diabaikan. “Kamu nggak dengar, Bi?” tanya Kala dengan menatap lurus pada sang istri. “Aku dengar.” “Kenapa nggak jawab?” “Iya. Nanti malam kita akan makan malam ke rumah Mama.” “Dan pulang ke apartemen!” tegas Kala lagi. Namun lagi-lagi, Binar tidak peduli dengan ucapan Kala yang terakhir. Membuat Kala mendesah pasrah. “Sampai kapan kita akan tinggal terpisah begini Bi? Kita ini suami istri.” “Sampai Mas berhenti menemui mantan Mas dan kita bisa hidup selayaknya suami istri.” Kini Binar mendongak dan menatap balik pada Ka
“Sudah siap makan malamnya? Papa udah lapar.” Ketegangan di antara Binar dan Kala itu akhirnya terurai karena suara lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Tatapannya mengarah pada Kala kemudian beralih pada Binar. “Sudah lengkap formasinya,” imbuh ayah Kala sambil tersenyum. Ibu Kala lantas membalas senyuman suaminya dengan senyum kecil sebelum beranjak. Mengadukan kelakukan Kala yang baru dilihatnya. “Anaknya, Pa. Kalau kasmaran nggak tahu tempat. Cium-cium istrinya di depan Mama. Jadi ingat masa muda ‘kan Mama jadinya.” “Masa tua juga boleh kasmaran kok, Ma. Tapi kasmarannya sama Papa aja ya.” Lelaki paruh baya itu berjalan mengikuti sang istri meninggalkan anak dan menantunya. Tidak menyadari kalau pasangan muda yang masih duduk di sofa ruang keluarga itu tengah mengeluarkan aura permusuhan satu sama lain. Binar tersenyum melihat kedua orang tua Kala yang memiliki hubungan romantis meskipun usianya tidak lagi muda. Mereka tampak saling menyayangi satu
Ekspresi yang ditunjukkan oleh Binar gelap seketika setelah satu kalimat itu keluar dari mulut Kala. Kedua tangannya mengepal erat. Tubuhnya terasa membeku. Tidak cukup meninggalkannya saat tengah malam, kini Kala bahkan akan pergi sejauh itu untuk menemani sang mantan istri berobat yang Binar tidak tahu sakit apa. Meninggalkan Binar yang sedang hamil. “Jadi kamu benar-benar ingin aku mengurus diriku dan bayiku seorang sendiri, Mas?” Binar menahan mati-matian air matanya yang sialnya ingin menyeruak keluar. Ternyata rasanya sakit sekali. Binar sudah menahannya selama ini dan ini adalah puncaknya. “Bi, aku minta waktu sebulan ini saja. Setelah satu bulan dan dia sembuh, aku janji nggak akan menemuinya lagi.” “Bagaimana kalau aku nggak memberinya izin. Apa Mas akan tetap pergi?” “Keluarganya nggak ada yang tahu kalau dia sakit. Dan ….” “Dia lebih memilih mengatakannya kepada mantan suaminya yang sekarang sudah memiliki istri dibandingkan kepada keluarganya? Hebat sekali.” Binar
Kala yang mendengar hinaan Ramon kepada Widi pun bereaksi keras. Tubuhnya yang tadi terhuyung pun kini berdiri tegak kembali. Pipi kirinya yang terasa pedih pun tidak dirasa. Kala kini menatap Ramon seolah ingin menguliti lelaki itu. Tangannya mengepal erat lalu menyerang balik Ramon. Satu pukulan bersarang di wajah Ramon dengan keras, sehingga desisan terdengar dari mulut lelaki itu. Geraman keluar dari mulut Kala setelahnya. “Berani sekali lo keluarkan kata itu untuk Widi. Dia bukan perempuan seperti itu!” “Bukan perempuan seperti itu? Lalu apa sebutannya buat perempuan bersuami yang selingkuh di belakang suaminya sampai hamil? Apa sebutannya Kal, jawab gue! Kasih gue satu panggilan yang pantas untuk disematkan kepada Widi. Perempuan bijaksana? Atau perempuan salihah?” Ramon meludah menandakan dia jijik. Rentetan ucapannya terasa menampar Kala dan juga Widi. “Dan tololnya lo, lo justru masih mencintai perempuan murahan seperti dia dan menyakiti Binar!” “Tutup mulut lo, Ramon!”
‘Bi, kamu di mana?’ Satu kalimat itu muncul di ponsel Binar hanya untuk diabaikan. Binar enggan membalas, bahkan dia segera memblokir nomor Kala dari ponselnya. Binar butuh ketenangan sebelum kembali keluar dari persembunyiannya. Selama dia bekerja, dia tak pernah mengambil cuti tahunannya, sehingga dia mengambil cuti tambahan setelah cuti dua hari kemarin. Ada satu rencana yang sedang dia pikirkan sekarang dan dia akan merundingkannya dengan Ramon saat mereka bertemu nanti. Karena menuruti permintaan Binar, Ramon bahkan tidak menemui Binar saat mengantarkan koper berisi pakaian perempuan itu. Dia hanya menitipkan kepada resepsionis. Deringan ponsel Binar terdengar dan itu adalah nomor Ramon. “Ya, Ram?” “Lo oke ‘kan?” tanya Ramon di seberang sana. “Gue oke.” Binar beranjak dari kasur kemudian berdiri di depan dinding kaca di kamarnya. Menatap ke luar dengan pandangan dingin. “Gue mau rundingan sama lo tentang sesuatu, Ram.” “Bilang aja.” Tidak perlu menunggu sampai mereka
“Pasti ada sesuatu yang fatal sehingga membuat Pak Kala harus turun dari jabatannya, Mbak.” Tidak ada yang mengejutkan Binar dibandingkan dengan informasi yang didapatkan hari ini. Hera memang sudah berada di perusahaan itu cukup lama, sehingga dia memiliki banyak informasi yang terpendam. Sekarang, Binar sudah tahu sedikit dan tentu ingin mendapatkan lebih banyak lagi. “Beliau hampir membuat perusahaan bangkrut, Mbak.” Hera kembali menjelaskan. “Menjadi pimpinan itu nggak gampang ‘kan, Mbak. Aku ingat betul waktu itu atasan selalu mengadakan rapat ini itu. Saham anjlok dan sebagainya. Saat itu, Pak Kala tengah galau karena perceraian yang terjadi. Kalau masalah konflik internal antara Pak Kala dengan keluarganya nggak ada yang tahu, Mbak. Tapi kalau masalah perusahaan, begitulah kira-kira yang terjadi.” Binar tentu semakin penasaran dengan lanjutan cerita Hera. Tapi bukan Hera yang bisa mengungkap semuanya, tapi Ramon. Binar yakin Ramon lah yang bisa menjawab semua pertanyaan ya
“Gue nggak pernah dengar kalau Widi punya penyakit serius yang mengharuskan dia berobat sampai sejauh itu, Bi.” Ramon melotot ketika mengatakan kalimat tersebut. “Sial!” Ramon mengumpat kasar. “Ke mana otak Kala sebenarnya. Bisa-bisanya dia ninggalin lo dalam keadaan hamil dan memilih pergi dengan mantan istrinya!” “Dia minta gue waktu satu bulan dan setelah itu dia bilang nggak akan nemui Widi lagi.” Binar tersenyum sinis. “Bahkan dia cinta mati kepada mantan istrinya, Ram. Mungkin setelah mereka pulang dari sana, ikatan cinta itu akan semakin tumbuh dan berkembang.” Ramon mengusap wajahnya dengan kasar dan mengeluarkan umpatan yang tak henti dia lontarkan. “Gue yakin kalau orang tua Kala denger, ini akan menjadi masalah besar buat dia.” “Itulah kenapa gue nggak mau mereka tahu dulu.” “Lo nggak mau pisah sama dia?” “Gue udah janji gue nggak akan pernah bercerai dari dia.” “Gila!” Entah sudah berapa banyak kata-kata kasar yang Ramon keluarkan karena Kala dan Binar. Dia tidak p