"Ming, kita harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebelum hari makin gelap dan dingin," ujar Bingwen. "Kamu yakin kita tidak perlu membunuh harimau-harimau itu, Bingwen? Bagaimana jika seandainya mereka sadar dan kembali menyerang kita?" Ming sesekali masih menoleh ke tempat di mana dua harimau itu terkapar. "Tidak akan, sudah ayo cepat." Bingwen berjalan mendahului Ming, dia tidak ingin terlalu lama di tengah hutan. Jika perhitungannya benar, maka akan ada jalan yang menghubungkan dengan desa terdekat. Ming yang tidak ingin ditinggal pun langsung menyusul Bingwen, lebih baik dia menuruti apa yang Bingwen katakan. Dari pada dia harus melawan hewan buas lainnya seorang diri. "Bingwen tunggu aku!" Dengan langkah yang terburu-buru, keduanya berjalan menjauhi pedalaman hutan. Suara angin berhembus kencang membuat suasana saat itu terasa makin sunyi. Bingwen tidak menghiraukan rasa lelahnya, tujuan utamanya sekarang adalah sampai di desa terdekat dan mencari tempat untuk bermalam.
"Bingwen, lihat!" Ming menunjuk ke arah depan yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Sebuah kereta kuda seorang bangsawan yang tengah dikepung oleh sejumlah penyamun. "Kita harus menolong mereka, Ming." Ming mengangguk, dia dan Bingwen berlari sekuat tenaga untuk segera sampai ke tempat tersebut. Suara jeritan penyamun yang ingin mengambil segala harta benda pemilik kereta kuda itu, terdengar begitu menakutkan. Jumlah total dari para penyamun adalah 10 orang, dengan tubuh mereka yang berbadan besar. Seperti kebanyakan penyamun pada umumnya, mereka mengenakan kain untuk menutupi sebagian wajahnya. "Berhenti!" seru Bingwen. "Sialan! Siapa kalian? Jangan sok menjadi pahlawan. Pergi dari sini sebelum nyawa kalian pun akan berakhir sama seperti mereka!" jawab salah satu dari penyamun itu sambil menunjuk pada prajurit-prajurit yang telah berhasil mereka tumbangkan. Panah dan luka pedang yang bersarang di tubuh prajurit-prajurit yang gugur itu menunjukkan bahwa para penyamun,
Seperti yang telah direncanakan, ke-15 orang yang menderita wabah penyakit kulit itu semuanya dikumpulkan di satu ruangan. Bingwen dan Mei Lin, serta Kakek Changmin yang hanya diperbolehkan berada di ruangan tersebut. Hal ini sebagai syarat yang diberikan oleh Bingwen kepada Kakek Changmin. Kakek Changmin sendiri tidak mempermasalahkannya, sementara itu penduduk kampung juga mengikuti keputusan dari Kakek Changmin. Rupanya kakek tua itu memiliki pengaruh yang cukup besar. Walau bukan pemimpin di kampung itu, tapi karena Kakek Changmin adalah satu-satunya tabib yang mereka miliki. "Baiklah, semua yang sakit telah dikumpulkan di sini. Apa kita akan memulainya sekarang, Mei Lin?" tanya Bingwen. "Iya, bisa." Kerjasama Bingwen dan Mei Lin yang saling bahu membahu itu telah berhasil memurnikan hampir sebagian dari penderita wabah, masih ada tujuh orang lagi yang harus dimurnikan. Namun, Bingwen menyadari sesuatu yang lain. "Mei Lin, aku rasa yang sebelah sini tidak bisa kamu atasi," uc
Hampir seminggu sudah Ming terbaring, racun yang ada ditubuhnya memang sudah dikeluarkan semua. Namun, efek samping dari racun itu yang membuat Ming belum menunjukkan kapan dirinya akan sadar. Bingwen yang tidak enak hati menetap di kediaman bangsawan yang telah dia selamatkan itu pun, akhirnya membuat Bingwen memutuskan untuk bekerja sebagai pengawal di saat tuan rumah yang dikenal sebagai Tuan Feng. "Terimakasih untuk kerja kerasnya hari ini, Bingwen," ucap Tuan Feng. "Anda tidak perlu mengucapkan terimakasih, Tuan. Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban saya." Bingwen meletakkan barang bawaan Tuan Feng di ruang kerja tuannya itu. Niat hati ingin mengusut tuntas masalah virus penyakit yang sengaja disebarkan, justru dia harus tertahan terlalu lama di tempat itu. Bingwen tentu tidak bisa menyalahkan Ming. Sebab itu juga bukan kesalahan yang disengaja oleh sahabatnya tersebut. "Kamu pasti khawatir akan kondisi temanmu itu, bukan?" Tuan Feng yang peka, langsung menebak
Seperti yang diduga Bingwen, memang benar bahwa Tuan Feng akan mengadakan pesta ulang tahun untuk putri tunggalnya. Berbagai jenis hidangan tersaji di aula pertemuan. Bukan hanya kenalan Tuan Feng dari kalangan bangsawan saja yang diundang, melainkan penduduk sekitar pun turut hadir. "Tuan Feng ini, beda sekali dengan bangsawan pada umumnya ya, Bingwen." Bingwen hanya mengangguk saja, dia tidak begitu suka membicarakan orang lain. Melihat aneka makanan tersaji dengan begitu banyak, membuatnya teringat akan Mei Lin."Kamu kenapa bengong terus?" Ming yang tidak tahan dengan sifat Bingwen yang terlalu pendiam itu pun, akhirnya mengutarakan isi hatinya. "Tidak kok, aku hanya berpikir seandainya Mei Lin ada di sini juga dia pasti bisa merasakan makanan enak ini," jawab Bingwen. Ming yang mengerti akan hal itu menepuk punggung Bingwen, "Kita selesaikan misi kita, setelah itu kita kembali. Kita bisa juga sekalian bekerja. Jadi saat kita pulang, bisa bawa uang dan beli oleh-oleh untuk me
Suasana saat itu mulai gaduh,Bingwen yang tidak terima penghinaan terhadap keluarga ahli pedang. "Tuan Feng, kami tahu Anda bangsawan yang baik hati. Namun, kami rasa Anda telah salah menolong orang lain. Lihatlah anak muda ini, dia begitu tidak tahu sopan santun terhadap orang tua!""Benar, Tuan Feng. Padahal dia itu juga hanya seorang pendatang, seharusnya dia tahu diri. Bukan malah bersikap seenaknya seperti itu," sahut lainnya. Satu per satu penduduk yang tidak menyukai tindakan Bingwen mulai mengajukan protes pada Tuan Feng, atas sikap tidak sopan yang dilakukan oleh Bingwen. Mereka tidak suka atas perkataan Bingwen yang membela keluarga ahli pedang dan membantah ucapan mereka. Ketidaksukaan penduduk tersebut juga diawali oleh perlakuan baik yang kedua pendatang itu terima. "Tenang saudara-saudara, saya rasa anak muda ini tidak bermaksud buru. Saya minta maaf atas tindakannya," ucap Tuan Feng yang mencoba menengahi ketegangan di antara penduduk yang tidak menyukai Bingwen. B
Bingwen dan Ming tidak menyadari sedari tadi ada orang lain memperhatikan keduanya. Sorot mata tajam itu tak sekalipun berpaling dari keduanya, terutama Bingwen.Karena rasa peka Bingwen tinggi, pemuda mengedarkan pandangannya. Firasat Bingwen teramat kuat bahwa ada yang mengamatinya, tapi dia tidak tahu siapa orang tersebut. "Ada apa? Kenapa kamu gelisah begitu? Hei sudahlah, rileks kan dirimu sebentar saja." Ming bukan meragukan apa yang Bingwen katakan, hanya saja dia tidak ingin Bingwen dianggap aneh oleh orang lain."Sumpah, Ming. Ada orang yang terus mengamati kita," bisik Bingwen. "Iya, aku tahu. Sekarang tidak ada lagi bukan?" tanya Ming mencoba menenangkan hati Bingwen. "Iya, kamu benar. Sudah tidak ada," jawab Bingwen dengan perasaan bersalah. Bingwen sendiri juga bingung kenapa akhir-akhir ini dia merasa bahwa ada yang berbeda dengannya. Seolah bukan dirinya yang biasanya, padahal tidak pernah sekalipun Bingwen merasa kalau dia tidak berdaya. "Aku kenapa ya, Ming?" ta
Suara gelak tawa dua orang anak remaja mengudara di pegunungan siang itu, mereka menertawakan salah seorang temannya yang terkapar penuh luka. "Hahaha... Dasar payah! Begitu saja kamu tidak bisa melawanku." "Benar, dia itu lemah sekali. Aku bahkan tidak tahu kenapa Guru Bao mau mengangkatnya jadi murid," sahut temannya. "Bingwen, kenapa kamu tidak menyerah saja akan mimpimu itu. Dengan fisikmu yang lemah tersebut, kamu tidak akan bisa. Melawan kami saja kamu kewalahan. Jangan mimpi menjadi seorang swordmaster!" Anak itu bangun dengan susah payah, tubuhnya yang kurus kering dan ringkih itu berusaha untuk bangkit kembali. Namanya Bingwen, remaja berusia tiga belas tahun. Namun karena fisiknya yang kecil, dia terlihat seperti anak kecil berusia sembilan tahun. "Ni Lou, apa hakmu melarangku? Guru saja tidak menghalangi mimpiku. Guru selalu berpesan agar aku terus berlatih, kelak hasil latihanku akan terlihat," balas Bingwen.Sorot mata tajam Bingwen saat membalas ucapan Ni Lou dan Ni