Share

Jejak Desa yang Hilang

Bab 6: Jejak Desa yang Hilang

Anisa dan timnya berangkat ke perpustakaan desa pada pagi berikutnya. Mereka berharap menemukan petunjuk yang jelas mengenai lokasi desa yang hilang. Perpustakaan desa adalah bangunan tua yang penuh dengan buku-buku dan peta kuno, peninggalan dari generasi-generasi sebelumnya. Di sana, mereka bertemu dengan Pak Rudi, penjaga perpustakaan yang bijaksana.

"Pak Rudi, kami butuh bantuanmu," kata Anisa sambil menunjukkan peta yang mereka temukan. "Kami mencari desa yang hilang ini. Katanya, di sana terdapat artefak penting yang kami butuhkan untuk menyelesaikan ritual pembebasan."

Pak Rudi mengangguk sambil memandang peta itu dengan seksama. "Ah, desa yang hilang. Banyak yang mencari desa itu, tapi hanya sedikit yang berhasil menemukannya. Namun, saya pernah membaca tentang petunjuk yang bisa membantu kalian."

Dengan teliti, Pak Rudi mengarahkan mereka ke bagian perpustakaan yang jarang dikunjungi. Di sana terdapat rak-rak penuh dengan peta dan catatan kuno. Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sebuah jurnal tua yang mencatat perjalanan seorang penjelajah yang pernah menemukan desa tersebut.

"Di sini disebutkan bahwa desa itu tersembunyi di balik air terjun besar di sebelah timur hutan," kata Pak Rudi sambil membacakan dari jurnal. "Penjelajah ini menggambarkan air terjun itu sebagai tirai air yang menutupi pintu masuk desa."

Anisa dan timnya merasa bersemangat dengan petunjuk baru ini. "Terima kasih, Pak Rudi," ujar Anisa dengan penuh semangat. "Kami akan mencari air terjun itu."

Dengan petunjuk baru di tangan, mereka kembali ke hutan, menuju ke arah timur. Perjalanan ini penuh tantangan karena medan yang semakin sulit dan rintangan alam yang semakin berat. Namun, mereka tetap bertekad untuk menemukan desa yang hilang.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai mendengar suara gemuruh air. Semangat mereka semakin meningkat saat mereka mendekati sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka tiba di hadapan air terjun besar yang tampak megah dan menakjubkan. Airnya mengalir deras, menciptakan kabut halus yang menyelimuti area sekitarnya.

"Inilah air terjun yang disebutkan dalam jurnal," kata Pak Bima dengan suara kagum. "Kita harus mencari pintu masuk di balik tirai air ini."

Dengan hati-hati, mereka mendekati air terjun dan mulai mencari celah atau lorong di balik air yang deras. Setelah beberapa menit mencari, Anisa menemukan sebuah celah sempit di balik air terjun. Dia memberi isyarat kepada yang lain untuk mengikutinya.

Mereka merangkak melalui celah sempit itu dan menemukan diri mereka di dalam sebuah lorong gelap yang lembap. Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan besar yang terbuka ke langit. Di tengah ruangan, terdapat desa kuno yang tertutup oleh pepohonan dan tanaman merambat. Rumah-rumah kayu yang terlihat lapuk menandakan desa itu sudah lama ditinggalkan.

"Kita berhasil," bisik Anisa dengan penuh kekaguman. "Ini dia, desa yang hilang."

Mereka melangkah masuk ke desa tersebut dengan hati-hati, mencari tanda-tanda yang bisa mengarahkan mereka ke artefak Kain Pelindung. Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sebuah rumah besar di tengah desa. Di dalamnya, terdapat sebuah peti kayu yang tampak kokoh meski usang.

Anisa membuka peti itu dengan hati-hati, dan di dalamnya terdapat kain berwarna emas yang memancarkan cahaya lembut. "Inilah Kain Pelindung," katanya dengan gembira. "Kita berhasil menemukan artefak ketiga."

Namun, sebelum mereka bisa merayakan, mereka mendengar suara gemuruh dari luar. Suara itu diikuti oleh getaran tanah yang membuat mereka merasa cemas. Anisa dan timnya bergegas keluar dari rumah besar itu, hanya untuk menemukan bahwa desa mulai runtuh. Tumbuhan merambat yang sebelumnya tampak tenang sekarang bergerak seperti ular yang marah.

"Kita harus keluar dari sini, sekarang!" teriak Pak Bima.

Dengan cepat, mereka berlari kembali ke lorong sempit di balik air terjun, membawa Kain Pelindung dengan hati-hati. Mereka berhasil keluar dari lorong tepat sebelum pintu masuk tertutup oleh batu-batu besar yang jatuh dari atas.

Mereka beristirahat sejenak di dekat air terjun, merasakan kelegaan karena berhasil keluar dengan selamat dan membawa ketiga artefak yang mereka butuhkan. Dengan napas yang masih tersengal, Anisa tersenyum kepada yang lain.

"Kita berhasil. Sekarang kita memiliki ketiga artefak: Batu Jiwa, Cincin Matahari, dan Kain Pelindung," katanya dengan bangga. "Kita bisa menyelesaikan ritual pembebasan Ayu."

Mereka kembali ke desa dengan perasaan lega dan penuh harapan. Setibanya di desa, mereka langsung menuju rumah Bu Martini untuk merencanakan ritual pembebasan. Penduduk desa berkumpul di alun-alun, menunggu dengan antusias berita dari Anisa dan timnya.

Anisa berdiri di depan mereka dengan ketiga artefak di tangannya. "Warga Sunyaragi, kita telah menemukan semua artefak yang diperlukan untuk membebaskan Ayu," katanya dengan suara mantap. "Dengan bantuan kalian semua, kita akan melakukan ritual pembebasan ini besok pagi di Kuil Tertinggi di hutan."

Sorak sorai dan tepuk tangan meriah menyambut pengumuman Anisa. Semua orang merasa bangga dan bersemangat untuk membantu dalam ritual yang akan membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi desa mereka.

Malam itu, Anisa dan timnya beristirahat dengan tenang, merasa puas dengan pencapaian mereka. Mereka tahu bahwa tantangan terbesar mungkin masih ada di depan, tetapi dengan keberanian dan dukungan dari seluruh desa, mereka yakin bisa menghadapinya. Petualangan ini masih belum berakhir, tetapi mereka siap untuk bab terakhir yang akan mengubah nasib desa Sunyaragi selamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status