Share

2 - Seperti ABG Labil

"Mana suamimu?" tanya Sri sambil celingak-celinguk melihat ke arah luar sambil memegang daun pintu yang terbuka separuh.

Bulan tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan ibunya, lalu setelah itu bergegas masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu duduk termenung di sisi ranjang.

"Heh, ditanya itu jawab, Bulan!" ujar Sri yang menyusul putrinya ke dalam kamar. "Kenapa kamu? Pulang sendiri, mata bengkak, hidung apa lagi, kayak jambu bol. Kenapa?"

"Mak, aku lagi pingin sendiri," jawab Bulan dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan penuh permohonan.

"Sebenarnya ada apa, Bulan? Jangan bilang kamu berbuat ulah?" tuduh Sri. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang dan menatap putrinya dengan tajam.

Bulan memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia dan ibunya sejak dulu tidak pernah akur. Jika Bulan terlibat dalam suatu masalah, pasti ibunya akan langsung berburuk sangka pada Bulan, padahal tidak selamanya Bulan yang salah.

"Jangan macam-macam kamu, Bulan! Pernikahan kamu baru berjalan lima hari. Belum ada seminggu, tapi kamu sudah berulah kayak gini. Pokoknya Mamak nggak mau tau, nanti malam kamu harus balik ke rumah Daffa dan minta maaf sama Daffa!" ujar Sri tegas.

Bulan tidak berniat menanggapi kata-kata ibunya, ia mengambil sapu tangan dari laci nakas, lalu menyeka air bening yang mengalir di pipinya. Ia membuang wajah dari ibunya, tak kuasa menatap ibu yang selalu menyalahkannya.

Sri masih terus mengoceh, membuat kepala Bulan serasa akan pecah. Bulan yang sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan dari ibunya, segera berdiri dan mendorong ibunya untuk keluar dari kamar. Setelah itu, ia mengunci pintu kamarnya dan lantas menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.

Dari luar kamar, Sri masih terus mengomel. Wanita paruh baya itu terus menyalahkan putrinya yang kabur dari rumah suami.

Bulan yang tidak tahan mendengar ocehan ibunya, segera menggunakan headset dan memutar lagu dengan volume full. Ia tidak peduli dengan gendang telinganya yang mungkin bisa rusak karena mendengarkan lagu dengan volume penuh, yang penting ia tidak bisa lagi mendengar ocehan ibunya.

Kadang ia sering bertanya-tanya sendiri. Apakah ia anak tiri? Tapi faktanya ia anak kandung. Ia pernah diam-diam melakukan tes DNA, dan hasilnya mengatakan mereka adalah ibu dan anak biologis.

Sebenarnya Sri berbuat seperti itu bukan hanya kepada Bulan, tapi kepada dua kakak Bulan juga. Ya, tiga anaknya mendapatkan perlakuan yang sama. Sama-sama selalu disalahkan dalam segala hal.

Sementara itu di rumahnya, Daffa tengah menimbang-nimbang smartphone-nya. Ia ingin menghubungi Bulan untuk meminta maaf, tapi gengsi. Ia ingin berbicara baik-baik dengan Bulan mengenai anak. Ia ingin tahu alasan Bulan melakukan KB. Ia ingin tahu mengapa Bulan belum siap memiliki anak. Ia juga ingin tahu, mengapa sebelum menikah, Bulan tidak berterus terang jika ia belum siap untuk memiliki anak.

"Bulan .... Sebenarnya ada apa sih dengan kamu?" Daffa bermonolog sambil menatap layar smartphone-nya yang menampilkan nomor kontak Bulan.

***

"Lan, aku minta maaf. Aku kemarin nggak sengaja mendorong kamu sampai kamu kena kaki meja. Aku beneran nggak sengaja, aku minta maaf, Lan," sesal Daffa yang tengah bersimpuh di hadapan istrinya.

Malam ini Daffa tengah berada di rumah Bulan. Ia menyesal telah melakukan kekerasan, dan ingin memperbaiki kekacauan yang telah terjadi. Ia ingin mengajak Bulan untuk pulang ke rumahnya lagi.

"Lan, aku mohon. Plis, maafin aku." Sekali lagi Daffa memohon permintaan maaf dari istrinya.

Bulan masih marah, sehingga ia tidak menjawab apapun. Ia hanya diam saja sambil membuang pandang dari suaminya. Selain sakit hati karena didorong hingga mengenai kaki meja, ia juga sakit hati karena dibentak-bentak.

"Bulan," panggil Daffa dengan nada rendah.

Hening. Masih tidak ada jawaban apapun dari Bulan. Perempuan itu masih duduk di sofa sambil membuang pandang dari suaminya.

Daffa yang lelah bersimpuh di hadapan istrinya, memutuskan untuk duduk. Ia mendaratkan bokongnya di sofa tunggal. Sehingga sekarang ini posisinya mereka berhadap-hadapan.

Sri yang sejak tadi mengintip mereka berdua, menjadi gemas sendiri dengan putrinya. Ia menyayangkan sikap putrinya yang sok jual mahal. Wanita paruh baya itu ingin nimbrung dan memberikan petuah kenapa anak bungsunya, tapi ia masih memiliki malu. Nanti saja kalau Daffa sudah pulang, ia akan menceramahi putrinya panjang lebar.

"Daffa, mending kamu pulang. Aku masih pingin sendiri. Aku mau nenangin diri. Jangan ganggu aku." Setelah hanya diam saja sejak tadi, akhirnya Bulan mengeluarkan suaranya juga.

"Sampai kapan kamu mau di sini? Apa nanti kata orang tua kita? Kata tetangga kita? Kita baru menikah lima hari lho. Malu ketahuan bertengkar kayak begini," ujar Daffa yang mulai lelah. Pria tempramental itu hampir tersulut emosi karena istrinya tidak mau diajak pulang. Hampir saja ia bicara dengan nada tinggi.

"Jadi kamu jemput aku cuma karena malu dengan tetangga? Bukan karena kamu nyesal sudah kasar sama aku?" tanya Bulan dengan suara yang agak meninggi. Ia benar-benar kecewa dengan sikap suaminya.

"Bu-bukan gitu maksud aku, Lan. Kamu salah paham. Aku beneran nyesal sudah kasar sama kamu. Aku ...." Daffa kehilangan kata-kata. Ia merutuki dirinya yang tidak bisa menjaga lidah sehingga salah bicara.

Selama ini Daffa tidak pernah pacaran, sehingga ia kurang referensi tentang menghadapi perempuan marah.

Bulan menatap suaminya dengan urat-urat yang menyembul di lehernya. "Pergi kamu, Daffa! Pergi! Aku benci sama kamu!" teriaknya sambil menunjuk pintu keluar.

"Oke. Mungkin kamu memang butuh waktu untuk sendiri. Aku kasih kamu waktu dua hari. Hari ini dan besok. Setelah itu, kalau kamu nggak mau juga pulang, aku bakal jemput kamu secara paksa," ujar Daffa pada akhirnya.

Daffa lantas memanggil ibu mertuanya, ia hendak berpamitan pulang. Malam ini ia menyerah. Ia mengakui dirinya gagal membawa istrinya pulang.

Tanpa mengatakan apapun, Bulan segera masuk ke kamarnya. Perempuan tiga puluh dua tahun itu membanting pintu kamarnya dengan keras. Setelah itu menguncinya agar ibunya tidak bisa masuk.

"Tolong maafkan, Bulan, Ya, Daffa. Mamak janji, bakal bantu membujuk Bulan supaya mau diajak Daffa pulang. Mungkin saat ini Bulan lagi PMS, jadi emosinya nggak terkontrol," ujar Sri penuh penyesalan.

Sri sengaja mencari berbagai alasan kemungkinan Bulan bisa semarah ini. Sebagai ibu, ia sangat malu atas sikap putrinya. Ia merasa gagal mendidik anak.

"Ya, mungkin, Mak. Daffa pulang dulu, ya. Salam untuk Ayah," pamit Daffa dan di-angguki oleh Sri.

Saat ini ayah Bulan sedang menghadiri acara tahlilan di rumah tetangganya. Hanya ada Bulan dan Sri saja di rumah itu.

Daffa melangkah gontai keluar dari rumah mertuanya. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan rendah. Ia sedang tidak fokus, sehingga akan berbahaya jika memaksa mengendarai dengan kecepatan tinggi.

Laki-laki itu memutuskan untuk pulang dan tidak menginap di rumah mertuanya. Karena percuma saja. Di sana pasti ia tidak akan diterima oleh Bulan.

"Mungkin Mamak benar, Bulan lagi PMS. Nanti kalau dia sudah selesai PMS, pasti baik lagi," gumam Daffa.

Setelah Daffa pulang, Sri langsung menggedor pintu kamar putrinya. Ia menggedor sambil ngomel-ngomel khas seperti biasanya.

"Jangan sok jual mahal, Bulan! Masih untung Daffa mau jemput kamu ke sini, nggak nyari istri baru. Kalau sampai Daffa nyari istri baru dan nggak peduli lagi dengan kamu, bakalan nangis darah kamu."

"Hih! Berisik!" ujar Bulan seraya mengambil headset dan memutar lagu dengan volume full. Ia malas mendengar ocehan ibunya. Pusing.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status