Share

3 - Sepupu Genit

"Hai, pengantin baru. Kusut amat mukanya," sapa Sintia pada Daffa.

Sintia adalah sepupu jauh Daffa. Janda tanpa anak yang sejak dulu naksir berat pada Daffa. Selalu cari perhatian pada Daffa tapi tidak pernah ditanggapi oleh Daffa.

"Kenapa dia, Tante? Marahan dengan istrinya, kah?" tebak Sintia yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Bulan.

"Ya begitulah. Namanya juga rumah tangga. Ada aja konslet-nya," jawab Sonya sambil memasukkan lauk ke piringnya.

Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Sintia datang ke rumah sepupunya itu sambil membawakan menu gulai ikan buatannya sendiri, niatnya sih untuk mengambil hati Daffa. Semoga saja usahanya berhasil. Ia percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Apalagi saat ini Daffa sedang marahan dengan istrinya, artinya ia memiliki peluang untuk merebut hati Daffa dari Bulan.

"Terus sekarang Bulan di mana?" tanya Sintia penuh rasa ingin tahu.

"Pulang ke rumah orang tuanya," jawab Sonya. Ibu Daffa itu tidak tahu jika Sintia naksir Daffa, sehingga ia selalu menjawab semua pertanyaan Sintia tanpa curiga sama sekali.

"Pulang ke rumah orang tuanya? Ish! Malu-maluin perempuan aja lho. Dulu aku waktu masih punya suami, aku nggak pernah pulang ke rumah Papa Mama tuh kalau lagi bertengkar dengan suami. Kok bisa sih kamu dapat istri kayak gitu, Daf? Nemu di mana perempuan kayak gitu?" Sintia berbicara sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya agar tercampur dengan sambal dan lauk pauk.

"Masing-masing orang punya psikologis yang berbeda, keleus. Jadi jangan suka membanding- bandingkan orang," sahut Shalfa dengan ketus.

"Shalfa makin hari mulutnya semakin pedas, ya. Siapa sih yang ngajarin? Kamu cewek lho, jadi harus jaga sikap, jangan judes-judes, nanti nggak laku," ujar Sintia sambil tersenyum mengejek Shalfa.

"Situ juga sebagai perempuan harusnya bisa dong jangan kecentilan. Suami orang pun mau diembat."

"Weh, Shalfa omongannya benar-benar pedas."

Dua sepupu perempuan itu saling melemparkan kata-kata pedas. Daffa dan kedua orang tuanya sampai kehilangan kata-kata untuk melerai. Setiap bertemu, mereka berdua memang seperti ini. Bagaikan Tom and Jerry, tidak pernah akur.

Sejak dulu, adik Daffa itu tidak pernah suka dengan Sintia. Jika Sintia bukan sepupu, ia tidak akan sudi menerima janda itu untuk bertamu di rumahnya. Shalfa tahu Sintia naksir Daffa, tapi ia pura-pura tidak tahu. Tidak mengatakan itu pada siapapun. Karena percuma saja, pasti tidak akan ada yang percaya dengannya. Secara, mereka kan sepupu.

"Mumpung kamu masih cuti, nanti kamu harus jemput Bulan lagi, Daf! Jangan sampai masalah ini berlarut- larut. Kalian sudah sama-sama dewasa. Jadi, belajarlah mengontrol emosi." Yang berbicara itu adalah Wisnu, ayah Daffa dan Shalfa.

"Jangan, Om. Biar perempuan itu aja yang pulang sendiri. Dia yang pergi dari rumah ini, ya biar dia sendiri yang harus pulang ke sini. Nggak usah pakai dijemput segala," timpal Sintia yang berbicara dengan mulut penuh.

"Ish! Jijik. Mulut penuh makanan kok ngomong," ujar Shalfa sambil bergidik.

"Kalian ini, ya, benar-benar Tom and Jerry. Tolong, ya, kalau di meja makan jangan berantem. Kalau mau berantem, sana di ring tinju," ujar Sonya yang mulai lelah mendengar ocehan Shalfa dan Sintia.

"Tau tuh, Tante. Si Shalfa nggak sopan banget sama orang tua. Aku ini lebih tua lima belas tahun dari kamu, tau. Jadi tolong ya yang sopan." Sintia melirik Daffa yang duduk di samping Shalfa. "Omong-omong, kenapa sejak tadi kamu diam aja, Daf? Sakit gigi? Ngomong dong, aku

kangen nih sama suara kamu."

Daffa tidak menghiraukan ocehan Sintia. Ia sama seperti Shalfa, tidak menyukai Sintia. Baginya Sintia terlalu genit sebagai seorang sepupu. Sering tiba-tiba memeluknya ataupun menempel- nempel dengannya. Sepupu mana yang berani bersikap genit seperti itu kalau bukan Sintia?

Kelima diinterupsi dengan panggilan salam dari luar rumah. Daffa yang familiar dengan suara itu, segera meninggalkan meja makan dan melangkah lebar menuju pintu.

"Bu-bulan? Ini beneran kamu?" tanya Daffa tak percaya. Ia membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan istrinya untuk masuk.

Bulan tidak menjawab apapun. Sebenarnya ia masih marah dengan Daffa, ia belum mau pulang ke pondok mertua indah. Tapi di rumah hidupnya tidak tenang. Ibunya mengomel panjang lebar dengan suara tinggi, sehingga omelan itu terdengar oleh tetangga. Ia malu.

"Kamu sama siapa? Naik ojek?" tanya Daffa seraya mengambil alih tas jinjing yang ada di tangan istrinya. "Ayo ke meja makan. Kita sarapan bersama," ajaknya dengan antusias.

Sebenarnya Bulan tidak lapar, tapi ia tidak sempat menolak karena Daffa sudah keburu menarik tangannya menuju meja makan.

"Lho, Bulan? Sama siapa?" tanya Wisnu dan Sonya secara bersamaan.

"Naik travel, Ma, Pa," jawab Bulan sambil tersenyum paksa. Ia canggung.

"Ayo, Kak, kita sarapan bersama!" ajak Shalfa dengan antusias. Gadis tujuh belas tahun dengan seragam putih abu itu sangat senang kakak iparnya sudah kembali. Ia jadi punya teman curhat.

Bulan duduk di meja makan dengan canggung. Ia ingin meminta maaf pada mertuanya karena sudah kabur dari rumah, tapi ada Sintia. Ia keberatan permintaan maafnya disaksikan Sintia.

"Akhirnya si ngambekan pulang sendiri tanpa dijemput," celetuk Sintia dengan wajah masam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status