"Seorang tahanan tak pernah memasak sendiri, apalagi memasak untuk sipir," balas Sarah seraya menyeringai. Dia merasa bangga karena berani menyentil Theo.
Lain halnya dengan Theodore yang semakin merah padam. Dia memilih untuk tidak menanggapi celotehan Sarah. Dia hanya diam sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celana, lalu menariknya sebatang menggunakan bibir.
Theo tak memedulikan Sarah yang terus memperhatikan dirinya. Dia malah maju mendekati gadis yang tetap duduk terpaku di tempatnya itu sambil menyalakan rokok. Theo mencondongkan tubuhnya, lalu mengepulkan asapnya tepat ke wajah Sarah hingga gadis itu terbatuk. "Sekarang waktunya jam malam. Tahanan harus masuk ke kamar, atau akan menerima konsekuensi!" tegas Theo dengan raut wajah datar.
"Memangnya apa konsekuensinya?" alih-alih takut, gadis itu malah mendongak, seakan menantang pria rupawan di depannya.
"Apapun yang tidak kau sukai," giliran Theo yang menyeringai sambil terus memang
Theo membuka jendela lebar-lebar saat dia membawa rokok yang masih menyala masuk ke kamar pribadinya. Ruangan luas yang terletak di lantai bawah itu tampak sangat rapi. Berbagai benda seni bernilai mahal, terpajang di dalamnya. Mulai dari lukisan, patung bahkan sampai pada ranjangnya sendiri terbuat dari kayu mahoni yang penuh dengan ukiran.Theo mencondongkan tubuh atletisnya, bertumpu pada kusen jendela yang menghadap langsung ke halaman samping sambil menghisap rokok perlahan sampai hampir habis terbakar. Dia lalu mematikan puntungnya di asbak yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Mata elangnya mengawasi suasana hening di luar. Untuk beberapa saat lamanya, Theo terdiam dan memperhatikan sesuatu yang mencurigakan di depan sana, bergerak-gerak di antara tanaman rambat yang tumbuh lebat di tembok pagar.Pria rupawan itu menegakkan badannya, lalu tersenyum samar saat dilihatnya seekor kelincilah yang keluar dari tanaman tersebut. Dia menghela napas lega sebelum beranjak keluar
"Sarah ..." geram Theo. Matanya melotot tajam pada gadis yang tengah berdiri terpaku itu.Buru-buru Sarah mematikan kran, lalu meletakkan shower itu di tempatnya. "Pegangan showernya licin," kilah Sarah seraya meringis. Fahmi pun ikut terkekeh, meskipun pada akhirnya dia memilih untuk menghentikan tawanya dan menunduk dalam-dalam. Melihat hal itu, emosi Theo semakin tak terkendali. Dia kepalkan tangannya erat-erat, lalu dia pukuli wajah dan perut Fahmi hingga pria itu merintih kesakitan.Seumur hidupnya, Sarah hidup dalam kasih sayang dan tidak pernah mendapatkan maupun melihat kekerasan di sekitarnya. Akan tetapi, kali ini dia melihat secara langsung, di depan matanya, ketika Theo dengan beringas menghajar Fahmi. Pria itu begitu mengerikan di mata Sarah. Wajah tampan itu tak terlihat karena berubah menjadi monster menakutkan. Tanpa sadar, Sarah beringsut mundur beberapa langkah sampai betis bagian belakangnya menabrak kloset, sehingga dia jatuh terduduk."Kau pilih bicara, atau kupat
Theodore berdiri di antara Sarah yang berdarah-darah dan Fahmi yang lemas terikat. Diapun memutuskan untuk mendekati Fahmi dan melepaskan ikatannya. "Kubebaskan kau untuk berbuat semaumu. Satu hal yang patut kau ingat, tak semudah itu kau bisa mendapatkan mahkota Blood Diamond. Katakan itu pada siapapun bosmu," ujarnya dengan nada dingin, lalu meninggalkan Fahmi begitu saja.Theo beralih pada Sarah. Dia segera membopong gadis malang itu dan membawanya keluar dari villa. Dengan hati-hati, Theo memasukkan Sarah ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat.Dalam hitungan menit, mobil Theo tiba di pelataran rumah sakit dan langsung ditangani oleh petugas medis. "Anda keluarganya?" tanya salah seorang perawat. "Ya!" jawab Theo begitu saja.Perawat itu mengangguk dan memperbolehkan Theo masuk ke ruang tindakan untuk menemani Sarah yang masih tak sadarkan diri. Seorang dokter jaga sudah bersiap memeriksa luka di pergelangan tangan Sarah, dibantu oleh beberapa perawat lainnya. "Men
Theo buru-buru meletakkan mangkuk bubur di atas meja kecil di sisi ranjang, lalu meraih tangan Sarah. "Lihat ini, jahitanmu kembali terbuka!" tegurnya.Sarah meringis dan mendesis pelan. Rasa perih sekaligus takut, bercampur menjadi satu di dalam dada. Dia berusaha berontak ketika Theo menahan lengannya. Namun, apa daya tenaga Sarah masih terlalu lemah. "Bagaimana ini?" Theo tampak panik dan kebingungan melihat darah yang makin banyak merembes di sela pori-pori perban.Dalam kekalutan, Theo meraih ponselnya di saku celana dan mulai menghubungi seseorang. "Agung! Aku butuh dokter yang bisa dipanggil kemari. Aku butuh untuk menjahit luka," ujarnya."Menjahit luka?" ulang Agung dari seberang sana."Iya!" sahut Theo cepat."Luka siapa? Anda terluka?" tanya Agung lagi."Bukan, bukan aku, tapi seseorang," Theo melirik pada Sarah yang masih tampak ketakutan."Sekarang, Sir?""Iya, sekarang!" jawab Theo dengan nada tinggi."Oke, Sir! Tunggu sebentar!" Agung menutup panggilannya begitu saja,
"Lihat, jahitan saya rapi," tunjuk Oka sebelum memasang perban baru di pergelangan Sarah. "Apa Jegeg sudah mendapatkan obat?"Sarah menjawab dengan sebuah anggukan."Kalau begitu, segera diminum obatnya. Lumayan untuk menghilangkan rasa nyeri," tutur Oka sambil memasukkan semua peralatannya. "Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Sir? Mumpung saya masih di sini," tawar pria itu."Sepertinya tidak ada, tapi aku akan meminta nomor teleponmu. Barangkali, suatu saat aku membutuhkan bantuanmu lagi," Theo mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu. Dia menyerahkannya pada Oka tanpa ragu.Melihat berlembar-lembar uang berwarna merah, mata Oka terbeliak. "Apa tidak salah, Sir?" tanyanya seolah tak percaya."Apa masih kurang?" Theo balik bertanya."Ini terlalu banyak," jawab Oka."Memang begini kebiasaan tuan Bresslin. Jangan terkejut," Agung menepuk pundak Oka, sembari memberi isyarat untuk pria itu agar segera meninggalkan kamar. "Kami permisi dulu, Sir," pamit Agung
Seusai berbicara dengan Kanti, Theo kemudian melangkah gagah ke luar dari ruangan, menuju ke dapur. Dengan cekatan dia mengambil panci kecil dari dalam lemari gantung dan meletakkannya di atas kompor. Hal itu membuat Kanti keheranan. "Anda sedang apa?" tanya Kanti ragu-ragu."Aku hendak membuat bubur," jawabnya datar.Kanti semakin keheranan mendengar hal itu. Pasalnya, sejak pertama bekerja di tempat ini, Theo tak pernah terlihat memasak apapun sama sekali. Pria itu senang sekali memesan makanan dari luar. "Anda memasak untuk siapa, Sir?" tanyanya lagi."Untuk seorang tahanan," Theo menjawab dengan perhatian penuh ke depan. Tangannya bergerak luwes mengaduk masakan di dalam panci hingga beberapa saat lamanya."Tahanan?" ulang Kanti lirih. Di sela kebingungannya, dia memutuskan untuk tak lagi mencari tahu lebih jauh. Sedari awal, majikannya itu memang teramat misterius. "Saya pamit bersih-bersih dulu, Sir," ujarnya, kemudian segera berlalu, meninggalkan Theo yang masih serius memasak.
"Apa-apaan ini, Theodore? Jangan berbuat konyol!" tegasnya pada diri sendiri. Dia tak pernah menyangka akan kehilangan kontrol seperti tadi. Untung saja karena Sarah dalam keadaan tertidur. "Semoga saja Sarah tidak menyadari hal itu," gumam Theo yang menyadari kebodohannya.Baru saja pria tampan itu akan menegakkan tubuh, tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. Theo tersentak dan hampir terjengkang ke belakang, andai seseorang dari dalam yang tak lain adalah Sarah segera menahan tubuh tegapnya. "Astaga!" seru gadis itu tak kalah terkejut. Susah payah dia menahan bobot badan Theo yang segera menegakkan diri seakan tak terjadi apapun. "Anda kenapa?" tanya Sarah lagi.Pria itu segera merapikan t-shrt lengan panjang yang dia kenakan. Theo bahkan menepuk-nepuk bagian yang tadi terkena tubuh Sarah. "Apa-apaan kau?" sergahnya dengan raut wajah tak suka."Harusnya aku yang bertanya, kenapa Anda bersandar di pintu?" protes Sarah tak terima dengan sikap dan nada bi
"Kenapa? Apa kamu sudah mulai akrab dengan tuan Bresslin?" tanya Andaru yang masih berada pada posisi berdiri."Akrab?" Sarah mengangkat tangan dan menunjukkan pergelangan tangan yang terlilit perban pada Andaru. "Aku tidak tahu apakah kami akrab atau tidak. Yang jelas, orang itu kalau marah ternyata mengerikan sekali. Aku sampai ketakutan," celotehnya kemudian."Kenapa tanganmu? Apa tuan Bresslin pelakunya?" tanya Andaru."Secara tidak langsung, iya," jawab Sarah seraya menundukkan kepala. Kedua kakinya memainkan air di kolam sehingga menimbulkan bunyi kecipak."Maksudnya?" tanya Andaru lagi."Dia marah dan mengancam seseorang yang menyelinap masuk ke villa. Namanya Fahmi. dia ...""Aku tahu itu. Tuan Bresslin sudah menceritakan semuanya kemarin lusa," Andaru memotong kalimat Sarah begitu saja. "Itulah kenapa dia menyuruhku untuk datang secepatnya kemari. tapi dia tidak bercerita sedikitpun tentang tanganmu," ujarnya. Sorot matanya ya