Theo buru-buru meletakkan mangkuk bubur di atas meja kecil di sisi ranjang, lalu meraih tangan Sarah. "Lihat ini, jahitanmu kembali terbuka!" tegurnya.Sarah meringis dan mendesis pelan. Rasa perih sekaligus takut, bercampur menjadi satu di dalam dada. Dia berusaha berontak ketika Theo menahan lengannya. Namun, apa daya tenaga Sarah masih terlalu lemah. "Bagaimana ini?" Theo tampak panik dan kebingungan melihat darah yang makin banyak merembes di sela pori-pori perban.Dalam kekalutan, Theo meraih ponselnya di saku celana dan mulai menghubungi seseorang. "Agung! Aku butuh dokter yang bisa dipanggil kemari. Aku butuh untuk menjahit luka," ujarnya."Menjahit luka?" ulang Agung dari seberang sana."Iya!" sahut Theo cepat."Luka siapa? Anda terluka?" tanya Agung lagi."Bukan, bukan aku, tapi seseorang," Theo melirik pada Sarah yang masih tampak ketakutan."Sekarang, Sir?""Iya, sekarang!" jawab Theo dengan nada tinggi."Oke, Sir! Tunggu sebentar!" Agung menutup panggilannya begitu saja,
"Lihat, jahitan saya rapi," tunjuk Oka sebelum memasang perban baru di pergelangan Sarah. "Apa Jegeg sudah mendapatkan obat?"Sarah menjawab dengan sebuah anggukan."Kalau begitu, segera diminum obatnya. Lumayan untuk menghilangkan rasa nyeri," tutur Oka sambil memasukkan semua peralatannya. "Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Sir? Mumpung saya masih di sini," tawar pria itu."Sepertinya tidak ada, tapi aku akan meminta nomor teleponmu. Barangkali, suatu saat aku membutuhkan bantuanmu lagi," Theo mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu. Dia menyerahkannya pada Oka tanpa ragu.Melihat berlembar-lembar uang berwarna merah, mata Oka terbeliak. "Apa tidak salah, Sir?" tanyanya seolah tak percaya."Apa masih kurang?" Theo balik bertanya."Ini terlalu banyak," jawab Oka."Memang begini kebiasaan tuan Bresslin. Jangan terkejut," Agung menepuk pundak Oka, sembari memberi isyarat untuk pria itu agar segera meninggalkan kamar. "Kami permisi dulu, Sir," pamit Agung
Seusai berbicara dengan Kanti, Theo kemudian melangkah gagah ke luar dari ruangan, menuju ke dapur. Dengan cekatan dia mengambil panci kecil dari dalam lemari gantung dan meletakkannya di atas kompor. Hal itu membuat Kanti keheranan. "Anda sedang apa?" tanya Kanti ragu-ragu."Aku hendak membuat bubur," jawabnya datar.Kanti semakin keheranan mendengar hal itu. Pasalnya, sejak pertama bekerja di tempat ini, Theo tak pernah terlihat memasak apapun sama sekali. Pria itu senang sekali memesan makanan dari luar. "Anda memasak untuk siapa, Sir?" tanyanya lagi."Untuk seorang tahanan," Theo menjawab dengan perhatian penuh ke depan. Tangannya bergerak luwes mengaduk masakan di dalam panci hingga beberapa saat lamanya."Tahanan?" ulang Kanti lirih. Di sela kebingungannya, dia memutuskan untuk tak lagi mencari tahu lebih jauh. Sedari awal, majikannya itu memang teramat misterius. "Saya pamit bersih-bersih dulu, Sir," ujarnya, kemudian segera berlalu, meninggalkan Theo yang masih serius memasak.
"Apa-apaan ini, Theodore? Jangan berbuat konyol!" tegasnya pada diri sendiri. Dia tak pernah menyangka akan kehilangan kontrol seperti tadi. Untung saja karena Sarah dalam keadaan tertidur. "Semoga saja Sarah tidak menyadari hal itu," gumam Theo yang menyadari kebodohannya.Baru saja pria tampan itu akan menegakkan tubuh, tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. Theo tersentak dan hampir terjengkang ke belakang, andai seseorang dari dalam yang tak lain adalah Sarah segera menahan tubuh tegapnya. "Astaga!" seru gadis itu tak kalah terkejut. Susah payah dia menahan bobot badan Theo yang segera menegakkan diri seakan tak terjadi apapun. "Anda kenapa?" tanya Sarah lagi.Pria itu segera merapikan t-shrt lengan panjang yang dia kenakan. Theo bahkan menepuk-nepuk bagian yang tadi terkena tubuh Sarah. "Apa-apaan kau?" sergahnya dengan raut wajah tak suka."Harusnya aku yang bertanya, kenapa Anda bersandar di pintu?" protes Sarah tak terima dengan sikap dan nada bi
"Kenapa? Apa kamu sudah mulai akrab dengan tuan Bresslin?" tanya Andaru yang masih berada pada posisi berdiri."Akrab?" Sarah mengangkat tangan dan menunjukkan pergelangan tangan yang terlilit perban pada Andaru. "Aku tidak tahu apakah kami akrab atau tidak. Yang jelas, orang itu kalau marah ternyata mengerikan sekali. Aku sampai ketakutan," celotehnya kemudian."Kenapa tanganmu? Apa tuan Bresslin pelakunya?" tanya Andaru."Secara tidak langsung, iya," jawab Sarah seraya menundukkan kepala. Kedua kakinya memainkan air di kolam sehingga menimbulkan bunyi kecipak."Maksudnya?" tanya Andaru lagi."Dia marah dan mengancam seseorang yang menyelinap masuk ke villa. Namanya Fahmi. dia ...""Aku tahu itu. Tuan Bresslin sudah menceritakan semuanya kemarin lusa," Andaru memotong kalimat Sarah begitu saja. "Itulah kenapa dia menyuruhku untuk datang secepatnya kemari. tapi dia tidak bercerita sedikitpun tentang tanganmu," ujarnya. Sorot matanya ya
Andaru pasrah mengikuti bosnya masuk ke ruang kerja yang berada di bagian dalam villa. Dia terus memperhatikan Theo yang berjalan memutari meja, lalu duduk di kursi kebesarannya. Namun, majikannya itu tak langsung brbicara. Dia hanya memandang Andaru dengan tatapan aneh. Theo kemudian memalingkan wajahnya ke arah jendela sambil tetap terdiam. "Sir? Apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?" tanya Andaru heran bercampur was-was. Dia merasa khawatir jika Theo mendengar percakapannya dengan Sarah tadi. "Pria yang menerobos villa tanpa izin kemarin adalah Fahmi," ujar Theo pada akhirnya setelah beberapa saat terdiam. "Ya, saya tahu itu. 'Kan anda sudah mengatakannya pada saya kemarin lusa?" jawab Andaru. Makin bertambah saja rasa herannya. "Yes, you're right," Theo mengusap-usap bibirnya, lalu menunduk sejenak. "Bagaimana perjalananmu?" Pertanyaan dari Theo itu kembali membuat Andaru menautkan alisnya. "Maksudnya, Sir?" dia menggeleng tak mengerti. "Perjalananmu kemari ... kau men
"Lalu, apa yang akan anda lakukan selanjutnya, Sir? Kenapa waktu itu anda malah meninggalkan Fahmi sendiri?" tanya Andaru, masih dengan mimik serius. "Aku mengutamakan keselamatan tahanan ... um, maksudku Sarah. Namun, aku sudah mengantisipasi hal itu sebelumnya," kilah Theo. "Oh, ya?" Andaru mulai tertarik. Dia semakin mendekatkan kursinya pada sang majikan. "Bagaimana, Sir?" "Ketika Fahmi pingsan, aku memeriksa dirinya. Aku ingin menemukan barang apapun yang bisa dijadikan informasi. Namun, dia tidak membawa apa-apa di kantongnya. Tidak juga kartu identitas maupun tanda pengenal lainnya," tutur Theo. "Kalau begitu, kita pasti kesusahan mengungkap siapa yang berada di belakang Fahmi," Andaru mendesah pelan seraya melipat kedua tangan di dada. "Tidak juga," sahut Theo. "Aku menemukan ini," pria tampan itu merogoh sesuatu dari kantong celana jeansnya dan memberikan benda kecil itu pada Andaru. Adalah pin emas seukuran kancing baju dengan ukiran khas di tepiannya yang menjadi perha
"Sarah. Kebetulan kamu di sini." Theo menyeringai sambil melirik Andaru. Dia memberi isyarat kepada sang ajudan dengan tatap mata.Andaru pun langsung memahami maksud dari tuannya. Dia beranjak ke dekat Sarah, lalu membawa gadis itu masuk dan duduk bersama mereka. "Katakan, apa kamu bisa berdandan?" tanyanya.Sarah menggeleng pelan. "Aku jarang memakai make up," jawabnya pelan. Ragu, gadis cantik itu menatap kepada dua pria di sana secara bergantian, seakan hendak meminta sebuah penjelasan."Mr. Bresslin ingin meminta bantuanmu," ujar Andaru seolah paham akan makna tatapan Sarah, walaupun gadis itu tak mengucap sepatah kata pun."Bantuan apa?" Sarah mengunci pandangannya pada Theo. Dari jarak sedekat itu, dia dapat melihat ketampanan wajah pria asal Inggris itu dengan jelas. Theo tampak menawan dengan rambut gondrong acak-acakannya. Mata abu-abu yang menyorot tajam bagaikan elang pemangsa, serta bibir tipis kemerahan yang selalu terlihat lembap dan segar meskipun gemar merokok. Beber