“Siapa yang menyangka dia punya saudari kembar?” gumam Fabio pada dirinya sendiri.Fabio menyambar gelas brendinya yang masih belum tersentuh sejak tadi, lantas melemparkan benda itu ke arah dinding. Meluapkan emosinya yang terasa menggelegak mengisi setiap ruang di dadanya. Bunyi kaca yang pecah menghantam tembok pun langsung terdengar menggaung ke seantero ruangan.“Dasar keparat! Berani-beraninya Marco menendangku! Aku akan membuat perhitungan dengannya,” teriak pria itu kemudian.Fabio menggebrak permukaan meja. Kenangan tentang perkelahian mereka di atas kapal pesiar tempo lalu terasa begitu mengganggu. Peristiwa yang mustahil akan dilupakan oleh pria bertemperamen sulit itu dalam sekejap.“Berani-beraninya kau menyakiti Rosetta!” seru Marco sambil menodongkan senjata kesayangannya pada kawanan Fabio. Mereka serentak menoleh—memasang sikap siaga penuh untuk mengantisipasi peluru milik Marco, lantas ikut bergerak menodongkan pistol. Siap untuk melontarkan sejumlah proyektil dari
“Tidak sulit, bukan?”“Aku merasa sedikit gugup, tetapi memang tidak sesulit yang kupikirkan.”Marco kemudian melingkarkan salah satu tangannya pada pinggang Rosetta dan menyahut, “Aku hanya ingin kau memahami cara untuk melindungi dirimu sendiri sewaktu aku atau orang-orangku tidak ada di sampingmu. Kita tidak pernah tahu sesuatu yang akan terjadi, bukan?”“Aku mengerti. Aku akan belajar lagi nanti. Aku hanya belum terbiasa dengan kecepatan untuk bertindak.”“Aku memaklumi keterkejutanmu, tetapi aku juga mengagumi pengendalian dirimu. Kita dari dunia yang berbeda. Aku berasal dari kehidupan yang kelam dan lekat dengan perselisihan setiap harinya sejak kecil. Kau datang dari dunia yang asing. Asing dalam kegelapan yang ada di sekitarku.”Marco menghela napas sesaat sebelum melanjutkan, “Kau luar biasa untuk ukuran seseorang yang belum pernah mengenal dunia sepertiku. Aku sosok yang dibenci atas reputasi kotorku di luar sana. Mereka menganggap keluarga kami sebagai para kriminal yang t
Belum pernah Marco menari senyaman itu dengan seseorang selama hidupnya. Belum pernah dia menikmati momen kebersamaan yang begitu akrab dan intim satu sama lain dengan seorang lawan jenis. Hanya Rosetta yang membuatnya merasa ingin menggerakkan tubuh maskulinnya.Musik yang mengalun membuat mereka terus berputar mengitari ruang balkon, seolah-olah terhipnotis oleh melodi klasik yang mengalir. Bukan jenis dansa formal seperti dalam pesta. Hanya pelukan rapat yang membuat mereka saling mengisi dan menyatukan perasaan masing-masing.Marco bahagia, jelas. Dia merasa sesak oleh euforia yang menunggangi dirinya. Mereka saling memagut erat dan bertukar pandang untuk waktu yang lama dalam keheningan malam dan udara dingin awal bulan Oktober.“Kau menggigil. Apa kau ingin masuk ke dalam?”“Dan menyudahi dansa kita? Tidak. Aku tidak suka mengacaukan perasaan indah ini,” bisik Rosetta yang kemudian bergidik selepas merasakan angin berembus meniup punggungnya.“Kita akan melanjutkannya di dalam.”
“Kita harus bicara,” desak Rosetta keesokan paginya.Caritta membalikkan tubuhnya dengan malas. Ekspresinya datar tanpa emosi, lantas mengedikkan kedua bahunya. “Jika yang kau maksud bicara itu duduk mengobrol satu meja denganmu, maka terima kasih banyak. Aku tidak akan terlibat dalam percakapan apa pun bersamamu.”“Mengapa kau menjauhiku seperti wabah?”“Aku hanya berusaha menghindari konflik,” balasnya lagi.“Konflik? Aku ingin kita duduk dan bicara empat mata,” cetus Rosetta yang masih bersikeras menghalangi niat Caritta untuk ‘melarikan diri’ dari permasalahan yang berlarut-larut di antara mereka.“Menyingkirlah dari jalanku, Rosetta.”“Tidak. Aku tidak akan menjauh sebelum kau setuju untuk membahas persoalan yang seperti bom waktu ini.”Caritta mendesah dengan sorot mata yang menerawang ke arah ruang makan. Tempat itu dilengkapi meja panjang berseni ukir dan perabotan serba perak yang memberi kesan klasik di setiap sudutnya. “Kau tidak punya hak untuk mengontrolku. Jadi, berhenti
Rosetta melakukan perlawanan persis seperti sebelumnya. Namun, hasrat sekaligus keputusasaan yang menggeliat dalam sepasang iris Ludovic yang kelam membuatnya urung untuk melanjutkan. Pria itu menciumnya dengan kasar dan penuh paksaan yang begitu menuntut.Salah satu jemari Ludovic yang bebas kemudian naik. Merayap ke rahang Rosetta yang masih bersikeras mengatup, enggan mengizinkan lidah pria itu masuk mengetuk setiap celah di rongga mulutnya. Menolak segenap kenikmatan kecil yang ditawarkan di sana.Rosetta membeku. Mematung dalam serangan liar yang ingin menguasai dirinya, sementara Ludovic terikat ambisi untuk membuat Rosetta menyerah. “Buka mulutmu atau aku akan mematahkan rahangmu, Rosetta. Bukalah untukku.”Lidah Ludovic berjuang menerobos sisa-sisa pertahanan yang masih gigih dari Rosetta. Dia masih pasif tanpa emosi. Berharap pria itu akan segera sadar dengan perbuatannya yang kurang ajar.“Mengapa kau sangat keras kepala dan menolakku?” desisnya dengan kadar gairah yang mula
“Tuan Muda?”Ludovic menoleh sekilas, lantas mengizinkan salah satu bawahannya masuk ke dalam ruang whirlpool-nya. Pria itu sedang bersandar di pinggir kolam sambil menyesap segelas anggur. Sorot matanya mengarah pada diorama sore di kejauhan, sementara pikirannya masih tersita dengan sisa kenangan ‘rahasia’ bersama Rosetta tadi pagi.“Maaf, saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya hanya ingin mengembalikan pistol milik Anda yang ditemukan oleh Giuseppe di dekat tangga.”Benda dengan amunisi penuh itu dipegang oleh Taleo—orang kepercayaannya. Senjata api jenis revolver berinisial LB yang Ludovic tinggalkan sewaktu dia dan Rosetta bersembunyi ke lorong bawah tanah. Dia menjatuhkannya tanpa sengaja di sana.“Aku melupakannya,” aku Ludovic sambil terkekeh menertawakan kecerobohannya.“Itu seperti bukan Anda yang biasanya,” jawab pria yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari Ludovic itu dengan senyum yang terkulum di ujung bibirnya.“Taruh saja di atas meja bar,” sahut Ludovic lagi. T
“Maaf, aku pulang terlambat. Ada sedikit masalah—”Marco mendadak terhenti di depan pintu selepas menyadari Rosetta telah terlelap dibuai oleh mimpinya. Langkah pria itu membeku. Sorot matanya tertuju pada makhluk cantik yang sedang mendengkur halus dari balik selimut tebalnya di sana.“Dia tidur,” bisiknya kemudian.Senyum Marco tersungging lebar tanpa dia sadari. Menonton Rosetta tengah berbaring damai di atas sofa berukuran besar itu seketika membuatnya merasa lega. Dia menungguku, pikirnya.Marco meneruskan langkah dengan hati-hati. Dia berjalan menuju ke arah wanita itu dan berjongkok di samping Rosetta. Memandanginya dengan tatapan memuja. “Bunga mawarku,” gumam Marco yang masih mengagumi keindahan di depannya.Marco mengulurkan satu tangannya—menyentuh puncak kepala Rosetta dengan gerakan lembut, lantas menonton wanita itu tidur selama beberapa waktu. Betah dalam kesunyian yang mengurung mereka pada dini hari. Pikirannya melayang ke sejumlah kenangan tentang insiden kesalahpah
“Di situ—oh, ya, itu.”“Aku suka seseorang yang memohon,” bisik Marco yang berniat menggoda Rosetta dan mengulur sensasi familier yang terasa nikmat itu dari pusat tubuhnya.“Sial, kumohon. Marco, aku menginginkannya.”“Memohonlah dengan benar,” desis pria itu lagi.“Aku—oh, kumohon. Marco, kumohon. Aku ingin meraihnya. Sangat amat ingin merasakannya.”Marco menelan air ludahnya dengan susah payah. Menyaksikan Rosetta dalam kondisi putus asa menjadi satu-satunya pemandangan terbaik yang dia lihat malam itu. Dia mengeratkan dekapan, lantas menambah intensitas kecepatan pinggulnya memompa dengan sempurna.Sedikit lagi. Marco tahu Rosetta akan mencapainya sedikit lagi. Sekujur tubuh wanita itu akan dihempas oleh tremor yang menguasai sepasang kakinya—gemetar tanpa henti, membulatkan bibirnya, sementara setiap kukunya mencakari punggung Marco dan meninggalkan sejumlah bekas luka gores di sana esok pagi.“Tidak, Sayangku. Belum. Belum waktunya untuk itu,” ucap Marco yang langsung menarik d