“Tuan Muda?”Ludovic menoleh sekilas, lantas mengizinkan salah satu bawahannya masuk ke dalam ruang whirlpool-nya. Pria itu sedang bersandar di pinggir kolam sambil menyesap segelas anggur. Sorot matanya mengarah pada diorama sore di kejauhan, sementara pikirannya masih tersita dengan sisa kenangan ‘rahasia’ bersama Rosetta tadi pagi.“Maaf, saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya hanya ingin mengembalikan pistol milik Anda yang ditemukan oleh Giuseppe di dekat tangga.”Benda dengan amunisi penuh itu dipegang oleh Taleo—orang kepercayaannya. Senjata api jenis revolver berinisial LB yang Ludovic tinggalkan sewaktu dia dan Rosetta bersembunyi ke lorong bawah tanah. Dia menjatuhkannya tanpa sengaja di sana.“Aku melupakannya,” aku Ludovic sambil terkekeh menertawakan kecerobohannya.“Itu seperti bukan Anda yang biasanya,” jawab pria yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari Ludovic itu dengan senyum yang terkulum di ujung bibirnya.“Taruh saja di atas meja bar,” sahut Ludovic lagi. T
“Maaf, aku pulang terlambat. Ada sedikit masalah—”Marco mendadak terhenti di depan pintu selepas menyadari Rosetta telah terlelap dibuai oleh mimpinya. Langkah pria itu membeku. Sorot matanya tertuju pada makhluk cantik yang sedang mendengkur halus dari balik selimut tebalnya di sana.“Dia tidur,” bisiknya kemudian.Senyum Marco tersungging lebar tanpa dia sadari. Menonton Rosetta tengah berbaring damai di atas sofa berukuran besar itu seketika membuatnya merasa lega. Dia menungguku, pikirnya.Marco meneruskan langkah dengan hati-hati. Dia berjalan menuju ke arah wanita itu dan berjongkok di samping Rosetta. Memandanginya dengan tatapan memuja. “Bunga mawarku,” gumam Marco yang masih mengagumi keindahan di depannya.Marco mengulurkan satu tangannya—menyentuh puncak kepala Rosetta dengan gerakan lembut, lantas menonton wanita itu tidur selama beberapa waktu. Betah dalam kesunyian yang mengurung mereka pada dini hari. Pikirannya melayang ke sejumlah kenangan tentang insiden kesalahpah
“Di situ—oh, ya, itu.”“Aku suka seseorang yang memohon,” bisik Marco yang berniat menggoda Rosetta dan mengulur sensasi familier yang terasa nikmat itu dari pusat tubuhnya.“Sial, kumohon. Marco, aku menginginkannya.”“Memohonlah dengan benar,” desis pria itu lagi.“Aku—oh, kumohon. Marco, kumohon. Aku ingin meraihnya. Sangat amat ingin merasakannya.”Marco menelan air ludahnya dengan susah payah. Menyaksikan Rosetta dalam kondisi putus asa menjadi satu-satunya pemandangan terbaik yang dia lihat malam itu. Dia mengeratkan dekapan, lantas menambah intensitas kecepatan pinggulnya memompa dengan sempurna.Sedikit lagi. Marco tahu Rosetta akan mencapainya sedikit lagi. Sekujur tubuh wanita itu akan dihempas oleh tremor yang menguasai sepasang kakinya—gemetar tanpa henti, membulatkan bibirnya, sementara setiap kukunya mencakari punggung Marco dan meninggalkan sejumlah bekas luka gores di sana esok pagi.“Tidak, Sayangku. Belum. Belum waktunya untuk itu,” ucap Marco yang langsung menarik d
“Bukankah rasanya menyenangkan bisa melarikan diri sesekali dari rutinitas yang monoton dan memuakkan itu? Aku rela menukarnya dengan apa pun agar aku punya kesempatan untuk menemukan diriku lagi.”Rosetta langsung menurunkan senjata apinya dari papan target. Dia menoleh pada Marco yang tengah memperhatikan dirinya mengasah kemampuan menembaknya siang itu. Menaikkan kacamata berlensa polar tersebut ke atas kepala dan duduk bergabung bersama kekasihnya.Mereka memutuskan untuk pergi menembak selepas menuntaskan malam penuh gairah yang luar biasa itu. Melatih keahlian Rosetta agar lebih cakap dalam situasi yang mengharuskannya untuk melindungi dirinya sendiri. Alasan yang selalu Marco tekankan padanya.“Mengapa kau berhenti?”“Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?”“Aku hanya bicara pada diriku sendiri,” aku Marco kemudian.“Bicara dengan dirimu sendiri?”“Kadang-kadang aku memang bertingkah aneh.”Rosetta tergelak sebentar, lantas meletakkan pistolnya di atas meja. Dia menghela napas s
“Batalkan semua transaksi ke Damaskus,” perintah Marco melalui telepon selulernya dengan setengah berbisik sebab enggan membuat Rosetta bangun dari tidurnya.Seseorang dari seberang sana menyahut dan Marco kembali membalas, “Tidak, Bahar. Aku tidak peduli. Pulangkan saja para gadis itu ke tempat tinggal mereka. Aku yang akan bertanggung jawab atas kemarahan Syekh Zayed nanti.”Lawan bicaranya yang disebut-sebut bernama Bahar itu lagi-lagi menyahut dengan banyak kata tetapi. Marco berdecak kesal, lantas meminta pria keturunan Turki tersebut menutup mulutnya. Kepalanya terasa pening karena kurang tidur sekarang.Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga pagi. Waktu yang kelewat dini untuk memulai hari. Namun, Marco sudah terjaga lebih awal dan sulit untuk kembali terlelap seperti sebelumnya.“Urus saja gadis-gadis itu untukku. Aku akan meminta Matteo dan yang lainnya mengawal mereka lewat jalur udara,” lanjutnya lagi.Percakapan itu pun terputus dan menyisakan hening yang terasa ganjil bag
“Setiap orang punya batas untuk sesuatu dan Caritta sudah melanggarnya. Aku tidak tahan lagi. Aku akan menyeretnya kemari sekarang juga. Kami harus bicara,” tekan Rosetta dengan kedua alis yang saling bertaut dan ekspresi sengit di wajahnya.“Aku akan membujuknya nanti. Dia tidak akan bicara dalam kondisi seperti itu padamu.”“Membujuknya? Kau?” ulangnya menyangsikan kalimat itu.“Percayalah, kalian akan duduk bersama di taman belakang atau di mana saja yang kalian suka nanti sore. Aku akan mengaturnya untukmu.”“Dengan cara apa?”Ludovic bergerak mengitari Rosetta. Mengambil posisi yang menurutnya paling strategis untuk mendekati sekaligus menghirup aroma tubuh wanita itu di pagi hari. Dia berdiri di belakang Rosetta—menelengkan kepalanya sedikit ke sisi kanan dan berbisik lirih, “Itu rahasia. Aku punya keahlian khusus untuk menundukkan orang-orang.”Deru napas Ludovic yang berembus ke tengkuk Rosetta saat dia berbicara serta-merta mengirimkan sinyal aneh di tubuhnya. Sensasi gelitik
“Sendiri lagi, Botticelli?” sapa Nick Brunacci dengan nada mengejek sekaligus menghadang akses jalan.“Apa kau tertarik untuk menemaninya?” cemooh Roberto Bailey sambil menyikut dada salah satu kawannya yang sedang mengunyah permen karet di samping mereka.Simone Mengucci yang berambut pirang itu meletuskan permen karet di mulutnya. Dia terkekeh menertawakan pertanyaan yang dilontarkan oleh Roberto sebelumnya. Sorot matanya terkunci pada sosok Ludovic—yang baru beranjak remaja dan dikepung hormon pubertasnya—yang kebetulan melintas di depan geng para pembuat onar sekolah itu.“Kau bertumbuh lima inci setiap harinya, eh? Hari ini kau tampak seperti unta, esok kau akan terlihat seperti jerapah. Apa ibumu telah membuat kesalahan sewaktu melahirkanmu dahulu?” serang Simone yang masih menggigiti permen karetnya dan menggelembungkan balon itu ke hadapan Ludovic.Gelak tawa tiga orang remaja yang dikenal suka membuat masalah tersebut spontan pecah memenuhi halaman belakang sekolah mereka yan
Rosetta mengurung diri di kamar. Kepalanya terasa pening sampai-sampai dia hanya mampu duduk di pinggir ranjang dan menekuri jemari kakinya sendiri. Cukup lama hingga waktu kemudian berlalu begitu cepat tanpa disadari.Pusing yang menyerang Rosetta masih bertahan mengganggunya. Dia pun memutuskan untuk berbaring sebentar, lantas memikirkan semua peristiwa yang terjadi selama belakangan terakhir. Itu salah, pikirnya.Jari telunjuk Rosetta terangkat dan menyapu permukaan bibirnya dengan ragu. Mengingat rasa kecupan yang pernah Ludovic tinggalkan di sana. Mengapa pria itu harus begitu mahir menciumnya?Ada terlalu banyak pertanyaan dalam benak Rosetta sekarang. Tentang kesalahannya dan tentang kepolosannya memandang sesuatu. Benarkah dia senaif itu?Jika Rosetta kembali menarik mundur ingatannya pada kejadian di lorong bawah tanah tempo lalu, maka dia jauh lebih suka untuk disebut sebagai idiot. Apa yang merasukinya kala itu? Hasrat pada calon adik iparnya sendiri?Menjijikkan, rutuk Ros