“Setiap orang punya batas untuk sesuatu dan Caritta sudah melanggarnya. Aku tidak tahan lagi. Aku akan menyeretnya kemari sekarang juga. Kami harus bicara,” tekan Rosetta dengan kedua alis yang saling bertaut dan ekspresi sengit di wajahnya.“Aku akan membujuknya nanti. Dia tidak akan bicara dalam kondisi seperti itu padamu.”“Membujuknya? Kau?” ulangnya menyangsikan kalimat itu.“Percayalah, kalian akan duduk bersama di taman belakang atau di mana saja yang kalian suka nanti sore. Aku akan mengaturnya untukmu.”“Dengan cara apa?”Ludovic bergerak mengitari Rosetta. Mengambil posisi yang menurutnya paling strategis untuk mendekati sekaligus menghirup aroma tubuh wanita itu di pagi hari. Dia berdiri di belakang Rosetta—menelengkan kepalanya sedikit ke sisi kanan dan berbisik lirih, “Itu rahasia. Aku punya keahlian khusus untuk menundukkan orang-orang.”Deru napas Ludovic yang berembus ke tengkuk Rosetta saat dia berbicara serta-merta mengirimkan sinyal aneh di tubuhnya. Sensasi gelitik
“Sendiri lagi, Botticelli?” sapa Nick Brunacci dengan nada mengejek sekaligus menghadang akses jalan.“Apa kau tertarik untuk menemaninya?” cemooh Roberto Bailey sambil menyikut dada salah satu kawannya yang sedang mengunyah permen karet di samping mereka.Simone Mengucci yang berambut pirang itu meletuskan permen karet di mulutnya. Dia terkekeh menertawakan pertanyaan yang dilontarkan oleh Roberto sebelumnya. Sorot matanya terkunci pada sosok Ludovic—yang baru beranjak remaja dan dikepung hormon pubertasnya—yang kebetulan melintas di depan geng para pembuat onar sekolah itu.“Kau bertumbuh lima inci setiap harinya, eh? Hari ini kau tampak seperti unta, esok kau akan terlihat seperti jerapah. Apa ibumu telah membuat kesalahan sewaktu melahirkanmu dahulu?” serang Simone yang masih menggigiti permen karetnya dan menggelembungkan balon itu ke hadapan Ludovic.Gelak tawa tiga orang remaja yang dikenal suka membuat masalah tersebut spontan pecah memenuhi halaman belakang sekolah mereka yan
Rosetta mengurung diri di kamar. Kepalanya terasa pening sampai-sampai dia hanya mampu duduk di pinggir ranjang dan menekuri jemari kakinya sendiri. Cukup lama hingga waktu kemudian berlalu begitu cepat tanpa disadari.Pusing yang menyerang Rosetta masih bertahan mengganggunya. Dia pun memutuskan untuk berbaring sebentar, lantas memikirkan semua peristiwa yang terjadi selama belakangan terakhir. Itu salah, pikirnya.Jari telunjuk Rosetta terangkat dan menyapu permukaan bibirnya dengan ragu. Mengingat rasa kecupan yang pernah Ludovic tinggalkan di sana. Mengapa pria itu harus begitu mahir menciumnya?Ada terlalu banyak pertanyaan dalam benak Rosetta sekarang. Tentang kesalahannya dan tentang kepolosannya memandang sesuatu. Benarkah dia senaif itu?Jika Rosetta kembali menarik mundur ingatannya pada kejadian di lorong bawah tanah tempo lalu, maka dia jauh lebih suka untuk disebut sebagai idiot. Apa yang merasukinya kala itu? Hasrat pada calon adik iparnya sendiri?Menjijikkan, rutuk Ros
Ludovic berhasil mempertemukan dua saudari kembar itu sebagai permintaan maaf atas sikap kasarnya tadi pagi. Caritta dan Rosetta sedang duduk di halaman belakang sekarang. Di antara taman bunga yang selalu terawat apik di sana.Taman itu berkonsep labirin yang estetik. Tanaman setinggi tiga kaki tersebut mengular hingga ke sayap barat. Indah sekaligus menawarkan ancaman pada waktu yang sama.Setelah puas menikmati pemandangan itu dalam diam, Rosetta kemudian bergidik membayangkan bahwa dia akan tersesat dan sulit untuk menemukan jalan keluar. Mengapa kediaman Botticelli selalu sarat dengan rahasia? Mulai dari lorong bawah tanah sampai rancangan taman yang kental oleh misteri.“Apa para mafia memang punya selera yang aneh?” gumam Rosetta yang masih memandangi area penuh lika-liku itu dari posisinya.“Jadi, aku dipanggil kemari hanya untuk menyaksikan taman labirin?” tegur Caritta yang menciptakan ketukan berirama cepat di atas meja berbahan kayu itu.Rosetta mendadak menyudahi keterpan
Rosetta kembali mengurung diri di kamar. Menghabiskan sisa sorenya dengan air mata. Mengabaikan Emma dan berkilah bahwa dia ingin mandi berendam untuk menikmati waktunya.Pelayannya yang percaya kemudian meninggalkan Rosetta untuk menangisi masalahnya. Dia terisak sendiri di dekat balkon dan membuat kelopak matanya bengkak. Enggan membagi kepedihan yang terasa begitu menghancurkan hatinya.Menelan segala sesuatunya seorang diri memang akan terasa lebih menyesakkan, tetapi Rosetta tahu itu merupakan keputusan yang terbaik. Semuanya sudah terbongkar di pertemuan mereka tadi. Sebuah pengakuan yang sekaligus mengubah pandangannya terhadap Ludovic.Pria itu bajingan kelas wahid, pikir Rosetta. Sandiwara mereka terungkap selepas Caritta melontarkan satu kalimat yang membocorkan kepura-puraan hubungan antara Ludovic dan dirinya. Rosetta terpukul sekali lagi.“Pantas saja mereka selalu terlihat dingin. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?” bisik Rosetta sambil menyugar kasar rambut depannya
Caritta tengah mengepak seluruh barangnya ke dalam satu tas jinjing berukuran sedang di kamar. Tidak banyak yang dia bawa. Hanya beberapa helai pakaian serta sebuah dompet yang berisi kartu identitas dan sejumlah uang.Pekerjaannya selesai sekitar tujuh menit kemudian. Caritta berkejaran dengan waktu. Dia bergerak seperti badai yang akan menyapu daratan yang dihancurkan oleh kekuatannya dan beranjak menuju ke lemari enam pintu di samping meja rias.Menukar rok midi ketat miliknya dengan celana panjang yang membungkus sempurna sepasang tungkainya. Caritta kemudian menyambar jaket bulu yang baru dipesannya dari sebuah butik ternama tengah kota kemarin siang. Mengenakannya dengan terburu-buru.“Tenanglah, Caritta. Kau masih punya peluang untuk pergi dari kediaman Botticelli yang aneh ini,” bisik Caritta pada pantulan dirinya di dalam cermin.Bayangan itu terlihat gugup dan penuh perhitungan. Rambut cokelatnya digulung ke atas dengan asal-asalan. Ekspresi wajah tanpa sentuhan make up-nya
“Mengapa tidak ada seorang pun dari kalian yang berani melaporkan kekacauan ini padaku?”Suara Marco seketika merobek keheningan yang ada di kediaman megah itu. Para pengawal yang biasa berjaga di beberapa titik hanya mampu diam tanpa berani menyahut atau menjelaskan insiden kemarin malam. Saling berpandangan satu sama lain.“Apa bunyi dari pistol-pistol yang ada di balik pakaian kalian sudah membuat telinga kalian semua tuli? Mengapa tidak ada yang menjawab?” bentak Marco yang warna wajahnya berubah menjadi merah karena amarah.“Kami tidak—”Emma mendadak maju dan meminta seorang pria berambut pirang dengan desain rajah tato yang sama di kedua pipinya itu untuk menutup mulut. Dia memberi kode lewat gerakan jemari, lantas menghadap Marco dengan sikap tenang. Mengatur ekspresinya agar tetap datar di depan sang tuan.“Ada peristiwa tidak terduga yang harus melibatkan kapak untuk membuka pintu kamar Anda dengan cepat. Kuncinya macet dan tidak bisa terbuka dari dalam. Jadi, Tuan Muda memu
“Tidak?”“Tidak,” ulang Rosetta dengan nada mantap.“Apa kau tidak suka dengan hadiahnya?”Senyum Rosetta mengembang. Sorot matanya memindai ekspresi bingung di wajah Marco, lantas mengulurkan salah satu tangannya ke sana. Menyentuh pipi kiri Marco dengan gerakan lembut.“Maksudku, tidak tanpamu. Jika kau bersedia menemaniku pergi, maka aku akan mengunjungi pulau itu dan kita menikmati setiap keindahannya bersama.”“Tentu saja, Rosetta. Apa yang kau pikirkan? Membiarkanmu seorang diri di pulau asing? Itu tidak akan pernah terjadi.”Marco meremas punggung tangan Rosetta yang sedang menyentuh wajahnya dan melanjutkan, “Kau boleh membuat cottage juga resort di sana.”“Aku tidak punya pengalaman tentang mengurus properti sebelumnya.”“Aku akan mengatur segala sesuatunya untukmu. Memanggil orang-orang yang siap untuk membantu kita membangun semua hal yang kau rancang dalam konsep nantinya.”Rosetta menurunkan jemarinya dari sana. Dia masih memandangi Marco dan bertanya, “Kejutanmu luar bia