Rosetta kembali mengurung diri di kamar. Menghabiskan sisa sorenya dengan air mata. Mengabaikan Emma dan berkilah bahwa dia ingin mandi berendam untuk menikmati waktunya.Pelayannya yang percaya kemudian meninggalkan Rosetta untuk menangisi masalahnya. Dia terisak sendiri di dekat balkon dan membuat kelopak matanya bengkak. Enggan membagi kepedihan yang terasa begitu menghancurkan hatinya.Menelan segala sesuatunya seorang diri memang akan terasa lebih menyesakkan, tetapi Rosetta tahu itu merupakan keputusan yang terbaik. Semuanya sudah terbongkar di pertemuan mereka tadi. Sebuah pengakuan yang sekaligus mengubah pandangannya terhadap Ludovic.Pria itu bajingan kelas wahid, pikir Rosetta. Sandiwara mereka terungkap selepas Caritta melontarkan satu kalimat yang membocorkan kepura-puraan hubungan antara Ludovic dan dirinya. Rosetta terpukul sekali lagi.“Pantas saja mereka selalu terlihat dingin. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?” bisik Rosetta sambil menyugar kasar rambut depannya
Caritta tengah mengepak seluruh barangnya ke dalam satu tas jinjing berukuran sedang di kamar. Tidak banyak yang dia bawa. Hanya beberapa helai pakaian serta sebuah dompet yang berisi kartu identitas dan sejumlah uang.Pekerjaannya selesai sekitar tujuh menit kemudian. Caritta berkejaran dengan waktu. Dia bergerak seperti badai yang akan menyapu daratan yang dihancurkan oleh kekuatannya dan beranjak menuju ke lemari enam pintu di samping meja rias.Menukar rok midi ketat miliknya dengan celana panjang yang membungkus sempurna sepasang tungkainya. Caritta kemudian menyambar jaket bulu yang baru dipesannya dari sebuah butik ternama tengah kota kemarin siang. Mengenakannya dengan terburu-buru.“Tenanglah, Caritta. Kau masih punya peluang untuk pergi dari kediaman Botticelli yang aneh ini,” bisik Caritta pada pantulan dirinya di dalam cermin.Bayangan itu terlihat gugup dan penuh perhitungan. Rambut cokelatnya digulung ke atas dengan asal-asalan. Ekspresi wajah tanpa sentuhan make up-nya
“Mengapa tidak ada seorang pun dari kalian yang berani melaporkan kekacauan ini padaku?”Suara Marco seketika merobek keheningan yang ada di kediaman megah itu. Para pengawal yang biasa berjaga di beberapa titik hanya mampu diam tanpa berani menyahut atau menjelaskan insiden kemarin malam. Saling berpandangan satu sama lain.“Apa bunyi dari pistol-pistol yang ada di balik pakaian kalian sudah membuat telinga kalian semua tuli? Mengapa tidak ada yang menjawab?” bentak Marco yang warna wajahnya berubah menjadi merah karena amarah.“Kami tidak—”Emma mendadak maju dan meminta seorang pria berambut pirang dengan desain rajah tato yang sama di kedua pipinya itu untuk menutup mulut. Dia memberi kode lewat gerakan jemari, lantas menghadap Marco dengan sikap tenang. Mengatur ekspresinya agar tetap datar di depan sang tuan.“Ada peristiwa tidak terduga yang harus melibatkan kapak untuk membuka pintu kamar Anda dengan cepat. Kuncinya macet dan tidak bisa terbuka dari dalam. Jadi, Tuan Muda memu
“Tidak?”“Tidak,” ulang Rosetta dengan nada mantap.“Apa kau tidak suka dengan hadiahnya?”Senyum Rosetta mengembang. Sorot matanya memindai ekspresi bingung di wajah Marco, lantas mengulurkan salah satu tangannya ke sana. Menyentuh pipi kiri Marco dengan gerakan lembut.“Maksudku, tidak tanpamu. Jika kau bersedia menemaniku pergi, maka aku akan mengunjungi pulau itu dan kita menikmati setiap keindahannya bersama.”“Tentu saja, Rosetta. Apa yang kau pikirkan? Membiarkanmu seorang diri di pulau asing? Itu tidak akan pernah terjadi.”Marco meremas punggung tangan Rosetta yang sedang menyentuh wajahnya dan melanjutkan, “Kau boleh membuat cottage juga resort di sana.”“Aku tidak punya pengalaman tentang mengurus properti sebelumnya.”“Aku akan mengatur segala sesuatunya untukmu. Memanggil orang-orang yang siap untuk membantu kita membangun semua hal yang kau rancang dalam konsep nantinya.”Rosetta menurunkan jemarinya dari sana. Dia masih memandangi Marco dan bertanya, “Kejutanmu luar bia
Rosetta menyapu pandangan ke seantero sudut. Mencoba menemukan sosok Caritta, tetapi yang dia dapati di kamar tersebut justru kekosongan. Dalam hati, bertanya-tanya ke mana Caritta pergi sebab dia baru saja memeriksa beberapa titik lain yang mungkin didatangi oleh saudari kembarnya itu.Kekosongan kembali menyapa Rosetta saat dia membuka pintu-pintu yang ada di lantai atas. Perasaan ganjil mulai merayap di hatinya. Dia mencium sesuatu yang tidak beres dan satu-satunya orang yang akan tahu banyak mengenai itu hanya Ludovic.Jadi, Rosetta berbalik arah dan bergerak menuju kamar pria itu dengan langkah yang memburu sekarang. Namun, kamar yang pintunya terbuka lebar itu juga sama kosongnya seperti milik Caritta. Dia pun memutuskan untuk turun ke halaman belakang.Di sana, di taman labirin itu, Rosetta menemukan Ludovic yang sedang melamun sambil menikmati teh bunganya. Dia terlihat menyedihkan, seolah-olah seseorang sudah memukuli wajahnya dan meninggalkan jejak memar seperti bayangan di
“Apa aku boleh mengakui bahwa aku merasa cemburu? Aku selalu berharap akan terus diberi kesempatan untuk memelukmu begini. Membelai kulit halusmu. Merasakan embusan napasmu dari jarak sedekat ini. Menonton kau tidur atau mendengarmu meneriakkan namaku sewaktu tubuh kita menyatu.”“Berhentilah mengucapkan omong kosong,” geram Rosetta yang mencoba meloloskan diri, tetapi usahanya tetap sama dan sia-sia.“Aku jauh lebih suka teperdaya dalam omong kosong yang kubuat. Setidaknya, aku akan merasa sedikit bahagia dengan mimpi-mimpi yang kuciptakan. Tidak peduli itu fatamorgana atau keironisan hidup yang memang digariskan untukku,” bisiknya lagi dengan nada parau.“Simpan saja semua khayalanmu dan jauhi aku.”“Kau datang padaku atas inisiatifmu sendiri, Rosetta. Apa kau pikir aku akan membiarkanmu pergi dengan cepat? Aku pria yang obsesif dan kau juga tahu itu.”Tubuh Rosetta sontak menggigil di bawah tatapan penuh dominasi milik Ludovic. Dia kembali memalingkan wajah. Merasakan uap samar yan
“Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu
“Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni