[Apa yang sudah kau dapatkan dari hasil penyelidikanmu, kemarin?] Melalui ponsel, Bella menghubungi orang yang di bayarnya untuk mengikuti mobil Faris kemarin. Setelah sebelumnya ada kiriman share lokasi di aplikasi berwarna hijau.[Share lokasi sudah saya kirimkan Nona, dan bayi yang di gendong adalah bayi Ivana dengan Faris,] lapor orang itu.[Kamu yakin? Hahaha! ] Entah apa yang ada di pikiran Bella hingga tertawa sekeras kerasnya. Sepertinya ada yang menyenangkan di pikiran.[Yakin, Nona. Semua orang yang menyewa toko ke panti mengatakan hal yang sama,] jawab orang suruhan Bella yang tak mengerti kenapa Nona yang di laporinnya bisa tertawa keras seperti itu.[Bagus! Kalau begitu nanti malam culik bayi itu, tenang saja aku bayar dua kali lipat, dan langsung aku transfer uangmu, hari ini juga.] Tak perlu menunggu jawaban dari orang yang dia tanya, Bella melemparkan ponselnya kembali ke atas ranjang. "Siapa yang menyangka, uang yang kudapat dari Faris, kugunakan untuk menculik an
[Halo, Pak Parman] sapa Faris saat nada ponselnya tersambung dengan nomer yang dia tuju.[Ya ... halo, ada apa Ris, kenapa nelpon jam jam malam seperti ini, ada di mana kamu?] tanya orang yang Faris telpon.[Maaf, Pak kalau saya mengganggu waktunya, tapi karena kondisinya mendesak jadi saya terpaksa hubungi bapak malam malam begini. Saya mau minta tolong segera kirimkan empat pengawal malam ini dan empat lagi untuk besok ke lokasi yang sudah saya kirimkan ke anda baru saja] harap Faris.[Rumah siapa itu?] tanya Pak Parman yang merasa asing dengan lokasi yang dikirim Faris lewat aplikasi hijau.[Itu rumah mantan istri saya, Pak. Ghina, anak saya baru saja lolos dari percobaan penculikan tadi. Dan saya khawatir akan ada lagi yang ingin berbuat jahat pada anak kandung saya.] Faris menjelaskan ketakutannya kenapa hingga mengharuskan mendapatkan pengawalan di rumah.[Astaufirullah, baik Ris, akan segera aku kirimkan. Untuk sementara stand by laah kau dulu di dekat anakmu] saran Pak Parman
[Hallo, Assalamualaikum, Papa. Bagaimana?] Faris langsung menekan gambar ponsel, untuk menerima panggilan saat di lihatnya ada nama Papa tertera di layarnya.[Panti bagaimana? Orangnya Pak Parman sudah datang belum?] tanya Papa Adi, malah balik bertanya.[Panti aman, Papa. Alhamdulillah, orangnya Pak Parman sudah datang, dan nampaknya Beliau lebih mengerti apa yang kita butuhkan, satu di antara empat orang yang di kirimnya adalah perempuan, jadi bisa menjaga lebih dekat dengan si kembar.] Dengan panjang lebar Faris menceritakan situasi dan kondisi di panti.[Alhamdulillah kalau begitu, urusan di sini juga sudah mulai jelas, tentang siapa dan motif apa yang melatar belakangi semua kejadian di Panti. Namun, lebih baik di bicarakan nanti saja di panti, sebentar lagi kami semua balik, kok][Siap, Pa. Kami menunggu cerita Papa di sini!][Iya, selalu waspada, Ris!] Papa Adi langsung mengakhiri komunikasi telponnya dengan Faris secara sepihak.****Satu jam berselang setelah Papa Adi menel
"Mau ke mana kita, Pak?" tanya Rahmat, saat lirikan matanya yang melihat Pak Damar sedang memesan tiket pesawat secara on line."Ke singapura!" jawab Pak Damar singkat. "Malam ini juga, Pak?"Lagi Rahmat bertanya dengan wajah terkejut. "Ya, malam ini juga, aku harus menyelesaikan urusan yang terjadi dua puluh tiga tahun yang lalu." Sambil melangkah mendekati Papa Adi dan Mama Via, saat sudah berada di halaman Polres."Mau ke mana, Dam? Kita pulang dulu ke panti!" ujar Kakek saat melihat Pak Damar yang sudah berpamitan ke Papa Adi dan Mama Via."Aku harus menyelesaikan urusanku, Pa. Harusnya urusan ini selesai dua puluh tiga tahun yang lalu, tapi entah kenapa orang ini masih tidak lelah berurusan denganku," ujar Pak Damar sambil memeluk Kakek dan menciumi punggung tangannya."Kau mau ke Singapura malam ini, dan mau ketemu dengan si Dewi, bukan begitu, Dam?" tebak Kakek yang hafal dengan kelakuan putra tunggalnya."Iya! Aku harus bertanya langsung apa maunya hingga mengobrak abrik ke
Karena berhasil yakin atas ucapan si supir taksi, akhirnya Pak Damar dan Rahmat, melangkahkan kakinya untuk turun dari mobil dan segera menemui satpam agar bersedia membukakan pintu gerbangnya."Apakah bapak sudah apa janji sebelumnya dengan Nyonya saya?" tanya Pak Satpam yang sepertinya akan mempersulit keadaannya maka dengan segera, Pak Damar menelpon langsung Dewi.[Halo, Dewi, aku Damar, ada yang ingin kubicarakan padamu,] saat telponnya langsung di terima oleh Dewi.[Ok, aku akan katakan pada satpam yang jaga kalau kau adalah tamuku dan untuk mengantarmu ke sini,] jawab Dewi yang kaget dan bingung, kenapa Pak Damar tiba tiba saja menghampirinya di Singapura.[Terima kasih, aku tunggu!]Benar saja, setelah ponsel milik Pak Damar di matikan. Interkom di pos satpam berbunyi, dan terdengar suara Dewi yang menyuruh agar tamunya segera di antarkan masuk ke rumah.Mendengar perintah dari Nyonyanya, langsung saja sikap dari satpam yang tadi tampak mengerikan, berganti ramah dan penuh ke
Tiba tiba Damar berbalik dan melangkah kembali mendekati Dewi yang sudah kembali merubah ekspresinya dengan raut muka di bikin sedih."Kau harusnya juga minta maaf pada mereka yang kehilangan Ana karena kamu, selain aku," ucapnya dengan suara tegas dan mata yang fokus pada wajah Dewi seperti sedang mendakwa bersalah pada seseorang."Apa maksud perkataanmu tentang kehilangan Ana karena aku, bahkan aku tak pernah bertemu dengan wanita yang kau sebut itu, apalagi sampai menyentuhnya, bagaimana bisa aku yang jadi penyebab dia mati?" tanya Dewi dengan suara kembali lantang "Kamu sadar nggak sih, semuanya terjadi karena kamu!" tunjuk Dewi tepat di wajah Damar."Kamulaaah penyebab segalanya! Kalau dari awal kau bisa menjaga sikapmu untuk tidak berlebihan padaku, tentu aku tak mungkin berharap lebih padamu, lalu kau berbeda setelah bertemu dengan Ana, perempuan yang dengan murahnya menjual dirinya padamu demi uang untuk Via, dan sekarang kau menyalahkan segala sikapku yang menunjukkan kalau
Sore itu, di panti tampak ramai, selain karena Pak Damar yang sudah datang, juga karena kedatangan keluarga Naya lengkap."Bagaimana kabarnya Dewi, Dam. Dia sehat?" tanya Mama Via yang baru tahu kalau kemarin Pak Damar menemui Dewi di Sungapura. Saat mereka hanya berdua saja di teras."Dewi sehat badannya, Namun, entah dengan otaknya?" Ayah Damar menjawab setelah dirinya membuang nafas panjang, tadi. "Jangan mendoktrin dia seperti itu, bagaimana pun dia adalah teman kita juga, mungkin dia merasa kita yang menyakitinya, karena kita tidak tahu bagaimana cara dia memandang kita."Mama Via tampaknya berusaha untuk tidak membuat ayah Damar kembali kesal."Kita sudah tak pernah di pandangnya lagi sebagai teman, Vi. Kebencian sudah mendiami hatinya, hingga meski pun kita menjelaskan sedetail apa pun, dia tak akan pernah mau paham.""Apakah menurutmu aku perlu mendatanginya dan meminta maaf karena Ana?" tanya Mama Via sambil memandang Papa Adi yang terlihat mendekat menghampiri."Aku pikir
"Ivana ingin pulang ke rumah Ayahnya karena di sana ada kenangan bersama sang Ibu. Setidaknya bisa merasakan rumah keluarganya, itu kata Ivana.""Damar pasti bahagia banget, aku jadi iri." "Sabar, Ma. Kan nanti bisa giliran." Umi mencoba menenangkan hati Mama Via.Akhirnya setelah berbasa basi sebentar, Mama Via meninggalkan kamar kerja Umi.Di teras ternyata sudah berkumpul Ivana dan Naya serta Faris.Sambil tersenyum, semuanya menyambut kedatangan Mama Via yang heran dengan senyum mereka."Mama dari mana?" tanya Naya sambil memberikan tempat di sebelahnya untuk di duduki Mamanya."Dari Umi," jawab Mama Via dengan singkat."Ngapain ke Umi? Mau minta tolong buat ngomong ke Ivana biar si kembar nggak di sini dulu ya?" tanya Ayah Damar sambil tersenyum, alisnya turun naik meniru kebiasaan Mama Via, jika tengah mengganggunya. Mama Via yang sadar kalau sedang di goda, melempar bantal sofa ke Ayah Damar. Namun, untung Ayah Damar sempat menghindar sehingga tidak kena."Bukan gitu, Ma.