“Apa aku mengganggu kalian?”Suara bariton memasuki ruang makan, sontak membuat Kaivan, Krystal, dan Felicia langsung mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu.Seketika semua orang yang ada di sana terkejut melihat sosok pria yang melangkah masuk ke dalam. Tampak sorot mata Kaivan begitu dingin melihat sosok yang berada di hadapnnya.“Untuk apa kamu ke sini, Aryan?” Suara Kaivan terdengar dingin dan tatapan mata tajam.Ya, yang ada di hadapan Kaivan ini adalah Aryan. Entah apa yang membuat temannya ini datang ke rumahnya tiba-tiba seperti ini. Padahal Kaivan tidak mengundang Aryan untuk datang di weekend ini.“Aku kebetulan lewat rumahmu ini. Itu kenapa aku memutuskan mampir,” jawab Aryan dengan santai. Lalu dia menarik kursi dan duduk di samping Felicia tepat di hadapan Krystal. “Hi, Krys. Apa makanan ini kamu yang masak?” tanyanya yang menduga. Pasalnya Aryan hafal dengan aroma masakan Krystal.Krystal tersenyum hangat. “Hi, Aryan. Iya aku yang masak. Ayo makan bersama,” a
“Kai, apa kamu tidak sarapan dulu? Nanti kalau sudah di kantor pasti kamu lupa untuk sarapan karena terlalu sibuk dengan pekerjaanmu itu.”Suara Krystal menegur Kaivan yang sejak tadi sibuk dengan iPad yang ada di tangannya. Sejak tadi Krystal mengajak Kaivan untuk sarapan bersama, tapi malah sang suami mengatakan belum ingin makan. Well, ini yang membuat Krystal kesal. Bahkan saat baru saja mereka bangun tidur, ponsel Kaivan sudah berdering lebih dari sepuluh kali.“Krys, aku tidak bisa sarapan di rumah. Aku harus berangkat ke kantor sekarang. Nanti aku akan sarapan di kantor,” ucap Kaivan seraya mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja dan memberikan kecupan di kening Krystal.Krystal mendesah pelan. “Tunggu sebentar, aku akan merapikan dasimu,” jawabnya yang segera merapikan dasi Kaivan yang tadi sedikit berantakan. “Jangan lupa sarapan, Kai. Aku tidak mau kamu sakit,” lanjutnya mengingatkan sang suami.“Iya.” Kaivan mencium hidung Krystal. “Kamu jam berapa ke rumah sakit?” t
Krystal menoleh menatap ke luar jendela melihat cuaca siang ini begitu cerah. Tatapan Krystal menatap lembut banyaknya pejalan kaki di trotoar. Ya, kini Krystal tengah berada di jalan menuju ke rumah sakit—menjenguk Galen. Rasanya Krystal sudah tidak sabar untuk bertemu dengan adiknya itu. Pun Krystal ingin segera Galen keluar dari rumah sakit. Krystal tahu, adiknya itu pasti sangat jenuh berada di rumah sakit.Tak berselang lama, mobil yang membawa Krystal mulai memasuki lobby rumah sakit. Krystal segera turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit. Tentu sang sopir tidak akan pergi ke mana pun. Karena memang sang sopir akan menunggu Krystal sampai Krystal pulang nanti.Saat tiba di depan ruang rawat Galen; Krystal langsung memutar kenop pintu ruang rawat adiknya itu, dan melangkah masuk ke dalam.“Galen,” panggil Krystal pelan ketika masuk ke dalam ruang rawat adiknya. Senyum di wajahnya terukir melihat sang adik yang tengah duduk sambil menonton film.“Ka? Kamu
“Nyonya Krystal, kantung kandungan Anda sudah terlihat. Anda sedang mengandung, Nyonya. Usia kandungan Anda saat ini lima minggu.”Tubuh Krystal menegang. Wajahnya memucat mendengar apa yang diucapkan oleh sang dokter. Sepasang iris mata cokelat terangnya menatap sang dokter dengan tatapan tak percaya. Tatapan Krystal tersirat menuntut agar sang dokter menjelaskan. “Dok, Dokter bercanda, kan?” tanya Krystal memastikan. Meski tatapannya tersirat bahagia tapi dia takut apa yang dia dengar ini adalah salah. Dia takut ketika dirinya telah melambung tinggi dengan sebuah kebahagiaan dan harapan, nyatanya malah hanya mimpi.Sang dokter tersenyum. “Nyonya, dilihat dari USG memang Anda sedang mengandung. Anda lihat titik kecil di sana? Itu adalah kantung kandungan. Usia kandungan Anda saat ini lima minggu. Selamat atas kehamilan Anda, Nyonya,” ujarnya memberitahu.Mata Krystal berkaca-kaca mendengar apa yang diucapkan oleh sang dokter. Kini Krystal membawa tangannya, mengusap penuh kelembuta
Rumah mewah Kaivan tak luput dari pandangan Livia dan Dita. Tampak di belakang mobil Livia ada mobil para pengawal yang terparkir tetap menjaga jarak. Malam kian larut. Rumah mewah Kaivan itu begitu sepi, namun tetap banyak penjaga.“Nyonya Livia, Tuan Kaivan masih memiliki meeting dengan rekan bisnisnya. Saya rasa dia masih lama pulang, Nyonya,” ucap Dita seraya menatap Livia. Nada bicaranya terdengar begitu yakin.Livia tersenyum misterius. “Good, lakukan rencana yang aku bilang. Jangan lupa matikan CCTV di area rumah. Lakukan yang aku perintahkan dengan sempurna. Aku tidak mau meninggalkan bukti sedikit pun.”Dita menganggukan kepalanya. “Baik, Nyonya,” ucapnya seraya mengambil ponsel dan menginteruksi para pengawal untuk menjalankan rencana.Livia menyandarkan punggungnya di kursi, dia menatap anak buahnya yang sudah mulai memasuki rumah Kaivan. Anak buahnya itu memasuki lewat pintu belakang. Ya, entah bagaimana cara yang dilakukan anak buahnya. Yang Livia inginkan hanya rencanany
“Tuan Kaivan, apa Anda menyetujui pembukaan perusahaan games di Korea?” Suara Walt—rekan bisnis Kaivan dari Madrid.Ya, di ruangan meeting hanya ada Kaivan, Aryan, dan juga Walt. Baik Kaivan dan Aryan masih belum bisa menyudahi meeting karena masih banyak yang harus dibahas. Itu kenapa Kaivan dan Aryan sampai lupa waktu.Tampak di ujung sana ada Kaivan yang duduk di kursi kepemimpinan tengah membaca dokumen yang ada di tangannya. Pria itu membuka setiap isi dokumen dengan pelan. Menatap dengan terliti isi dari yang tertulis di sana.“Aku setuju. Bukan hanya Korea tapi aku juga menginginkan pembukaan cabang perusahaan video games di Jepang. Seperti kita tahu, Jepang memiliki minat yang tinggi dalam video games.” Kaivan menjawab dengan nada dingin dan raut wajah tanpa ekspresi.Walt menganggukan kepalanya. “Saya setuju dengan saran Anda, Tuan Kaivan,” jawabnya yang sependapat dengan Kaivan. Kemudian, pria yang bernama Walt menoleh pada Aryan yang duduk tak jauh darinya. “Bagaimna dengan
Kaivan meremas kuat rambutnya. Raut wajah panik dan cemas bercampur. Dia mondar-mandir gelisah di depan ruang unit gawat darurat. Ketakutan melanda diri Kaivan. Ya, kini Kaivan berada di depan ruang unit gawat darurat—menunggu dokter memeriksa keadaan Krystal. Kaivan sudah tidak lagi bisa sabar. Dia ingin segera tahu keadaan sang istri. Namun nyatanya sang dokter tetap masih melakukan pemeriksaan. Mau tidak mau Kaivan harus bersabar menunggu dokter selesai memeriksakan keadaan istrinya.Sesaat Kaivan memejamkan matanya. Merutuki kebodohanya karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan Kaivan tidak menghubungi Krystal satu harian ini. Sungguh, Kaivan menyesali ini semua. Jika waktu bisa diputar, dia akan memilih menemani istrinya.“Shit!” Kaivan mengumpat kasar. Dia memukul dinding rumah sakit dengan keras. Merutuki kebodohannya sendiri. Kaivan tak memedulikan punggung tangannya terluka. Amarah dalam dirinya meledak. Dia terus menyalahkan dirinya sendiri.“Menyesal tidak akan merub
Pelupuk mata Felicia bergerak. Perlahan wanita itu mulai membuka matanya. Mengerjapkan sedikit matanya kala bulu mata lentiknya bergera-gerak menghalangi matanya yang hendak terbuka. Tepat disaat mata Felicia sudah terbuka—dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tampak wajah Felicia yang sedikit terkejut dirinya berada di sebuah kamar rumah sakit. Ya, jelas Felicia tahu ini adalah kamar rumah sakit. Tatanan ruangan dan aroma khas rumah sakit membuat Felcia tak berlama-lama untuk menyandari keberadaannya. Didetik selanjutnya, Felicia melihat ke tangan kanannya—terdapat infus yang masih terpasang. Felicia terdiam sejenak, mengingat-ingat kenapa dirinya bisa berada di rumah sakit. Karena seingat Felicia dirinya tak memiliki sakit apa pun hingga harus berada di ruang rawar rumah sakit.Dan tiba-tiba … ingatan Felicia langsung mengingat kenapa dirinya berada di rumah sakit. Wajah Felicia menegang. Tampak Felicia begitu ketakutan. Panik, cemas, dan khawatir melanda diri Felicia saat ini. Waj