"Danisa," Panggil Daren, pria berusia 34 tahun yang tidak lain adalah bosnya. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya. "Menikah dengan saya. Dan lahirkan anak untuk saya." Sebuah kalimat yang membuat Danisa mematung di tempat. Tak ada angin dan hujan, tiba-tiba atasannya yang tidak pernah terlihat dekat dengan wanita memintanya untuk menikah dan melahirkan anak. Daren, pria yang tidak mau dekat dengan wanita manapun. Tiba-tiba meminta dirinya untuk menikah dan punya anak dari bosnya sendiri. Memang Danisa suka uang, tapi tidak dengan menjual diri sama pria kaya yang harus mengorbankan mahkota berharganya. Lebih baik Danisa mencari sampingan pekerjaan lain dari pada harus melahirkan anak untuk bosnya.
View MoreDanisa bungkam. Dia bingung harus menjawab apa pada Claudia. Anak yang berada dalam gendongannya memiliki harapan besar padanya. Dan dia tidak bisa membuat hati sucinya itu terluka begitu saja. Pandangan matanya pun teralih pada Restu yang tak jauh dari dirinya berada. Dia sedang menelisik, mencari sebab mengapa anak ini bisa berkata seperti itu kepadanya. Tentu dia ingin tahu dari mana kabar burung itu bisa terungkap oleh anak yang masih begitu polos ini. “Sayang, kamu bicara apa? Apa kamu sudah selesai dengan kegiatan bersama dengan teman-temanmu?” tanya Danisa. Dia sedang mengalihkan pembicaraan atas harapan besar yang dimiliki oleh anak kecil yang tersenyum Bahagia itu. Tidak sanggup bagi Danisa untuk menghancurkan harapan besar yang dimiliki oleh Claudia. Maka pengalihan adalah jalan yang dia tempuh. “Claudia sangat senang hari ini Bunda. Claudia dapat mengeksplor semuanya dengan bebas bersama kakak-kakak yang sangat baik padaku.” Dari senyum yang ditambahkan oleh oleh anak
Danisa sempat terdiam beberapa saat, dia mengerti ke mana arah pembicaraan yang dilakukan oleh Restu untuknya itu. Tidak ingin pembicaraan semakin jauh. Dia pun memilih untuk mengalihkan pembicaraan yang dilakukan oleh pria dewasa tersebut. “Sebaiknya kita tidak membicarakan ini, Restu. Ini bukan saat yang tepat untuk berbincang masalah privasi. Apa kata ibu-ibu yang lain jika kita bicara hanya saling berdua seperti ini. Nanti akan menimbulkan kesalah pahaman antara kita,” tutur Danisa tidak ingin terlalu jauh terlibat pembicaraan intim dengan Restu di depan banyak pasang mata yang saling mencuri pandang ke arah mereka itu. Restu mengangguk, dia melirik ke sekitar. Memang, beberapa ibu-ibu cantik yang sedang mengantar anaknya sedang curi-curi pandang ke arah mereka. “Ya, kamu benar.” Restu tidak banyak bicara lagi. Dia memilih diam, memperhatikan ponsel di tangannya setelah mencari tempat duduk yang nyaman baginya untuk menunggu Claudia melakukan kegiatannya. Tentu saja dia ti
Danisa menunggu di samping bus penjemputan dengan penuh kecemasan. Dia berulang kali menatap jam yang melingkar pada pergelangan tangannya dengan perasaan penuh khawatir.Tidak hanya itu, dia juga berusaha menghubungi nomor ponsel pria yang menjadi ayah dari anak didiknya itu berulang kali karena tidak mendapat jawaban.Hampir saja dia menyerah, dan memilih menunggu. Namun, akhirnya panggilan yang dia lakukan itu terhubung. “Syukurlah,” batin Danisa saat panggilan yang sejak tadi dia lakukan itu berhasil terangkat. “Restu. Claudia Apa sudah berangkat nggak di rumah,” tanya Danisa saat panggilan yang dia lakukan itu tersambung pada restu, ayah Claudia.“Iya, Danis. Saya minta maaf sama, jika kami terlambat tiba. Kami terjebak macet parah tadi karena ada kecelakaan sebelum masuk pintu tol. Jadi, saya baru bisa lancar beberapa menit lalu setelah berkata dalam kemacetan,” terang Restu menjelaskan keadaan yang terjadi pada dirinya kepada Danisa yang terdengar cemas dari suara panggilan y
“Kamu jangan terlalu memikirkan apa yang diminta oleh ibu tadi padamu,” ujar Restu saat Danisa mengantar pria itu pamit dan akan pergi meninggalkan rumahnya itu.Claudia sudah lebih dulu berada di dalam mobil, sedang Restu sebelumnya meminta Danisa untuk bisa berbicara sejenak sebab dia merasa Danisa menar tak nyaman atas permintaan yang dilakukan oleh ibunya di ruang tamu. “Jika kamu memang benar-benar mau menuruti permintaan ibu. Ibu mohon, kamu mau menikah dengan Nak Restu. Ibu yakin, jika Nak Restu tidak akan menolak jika harus menikah denganmu. Ibu tahu itu.” Dengan penuh keyakinan, wanita yang baru kembali dari rumah sakit itu meminta putri sulungnya untuk menikah langsung dengan Restu. Padahal, keduanya sama sekali tidak pernah memiliki niat untuk menikah. Danisa yang kembali menjawab bujukan padanya itu tidak langsung menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya tersebut. Dia memilih diam sejenak, sebelum akhirnya kembali menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya itu. “Bu. Ken
Sejak Danisa dan Restu di rumah sakit karena anak dan juga orang tua Danisa. Kedekatan di antara keduanya itu semakin intim terjadi. Bukan hanya Claudia yang semakin nyaman dengan kehadiran Danisa dalam hidupnya. Restu merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh putrinya. Empat hari sudah berlalu, dan Claudia yang sudah pulang lebih dulu daripada Ibu Danissa. Kini, anak itu menginginkan untuk ikut bersama menjemput ibu Danisa yang sudah mendapat izin untuk kembali dari rumah sakit dan bersama dengan Restu tentunya. “Saya jadi merepotkan kamu. Seharusnya kamu bisa kembali ke kantor, dan saya bisa jemput ibu sendiri,” ujar Danisa, saat mereka sudah melaju menuju ke rumah sakit yang pasti bersama dengan Claudia di dalam mobil itu. Lewat kaca kecil yang berada di atasnya, Restu melirik Danisa yang duduk berdua dengan putrinya di kursi penumpang di bagian belakangnya. Pria itu mengulas senyum tipisnya, melihat raut wajah tidak nyaman yang Danisa tunjukkan kepadanya itu. “K
Restu merasa lega karena saat Claudia akhirnya menyerah dan mau mendapatkan infusan. Bujukan yang dilakukan oleh Danisa berhasil membuat anak semata wayangnya itu menurut. Dia merasa berhutang Budi kepada wanita yang menjadi guru dari anaknya itu.“ saya sangat berterima kasih kepadamu. Berkat bujukan yang kamu lakukan untuk putriku, akhirnya Kalau dia mau menurut untuk diinfus itu.” Dengan penuh kelegaan, Restu mengucapkan kalimat terima kasihnya itu. Mungkin jika Danisa tidak berhasil membujuk Claudia, anaknya. Sudah dipastikan Restu akan mengalami kesulitan dan membawa Sang Putri kembali ke rumah.Danisa mengalihkan pandangan kepada Restu yang berbicara dengannya. Dia pun merasa tenang saat memastikan bahwa Claudia sudah berada pada keadaan yang benar-benar nyaman saat ini.“Tak masalah. Saya tidak keberatan melakukan itu sama sekali.” Danisa menjeda sejenak ucapannya dan beralih menatap kembali pada Claudia yang masih tergolek lemas di atas brankar pemeriksaan. Dia kembali menata
Dengan cemas Danisa menunggu pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter untuk ibunya di luar ruang tunggu seorang diri. Dia mendudukkan diri di kursi tunggu, selama dokter umum yang memeriksa ibunya itu melakukan tindakannya. Menunggu beberapa saat, pintu ruangan terbuka. Dengan cepat Danisa bangkit dari duduknya. Menghampiri dokter yang baru keluar dengan alat yang masih bertengger di lehernya itu. “Bagaimana dengan ibu saya, Dok?” tanya Danisa, sangat jelas kecemasan dari raut wajahnya. “Saya sudah menghubungi Dokter Prasetyo tentang kondisi yang saat ini dialami oleh ibu anda. Beliau bilang jika sebaiknya ibu anda dirawat terlebih dulu,” jelas sang dokter setelah pemeriksaan yang dilakukannya itu usai. Dia pun menyampaikan saran dari dokter jantung yang memang bertanggung jawab atas ibunya Danisa. Danisa yang mendengar kabar dari dokter ibunya itu pun menghembuskan nafas beratnya. “Baik, Dok. Jika begitu saya akan melakukan pendaftaran rawat inap terlebih dulu di depan,” ujar Da
Danisa yang tidak mendapati keberadaan ibunya di dapur membuat sarapan itu jadi penasaran. Danisa segera meminum air yang telah dia tuang. Setelahnya bangkit dari duduknya karena ingin membuatkan sesuatu untuk ibunya.“Mbak Danisa mau buat apa?” Tanya si Mbak yang sedang buat sarapan untuk keluarganya itu. “Aku mau buat teh hangat untuk ibu dulu, Mbak.” Danisa sudah membuka tempat penyimpanan di mana teh daun yang biasa dibuat oleh ibunya itu berada. “Biar aku buatin, Mbak Danisa. Mbak tunggu saja,” pinta si Mbak yang tidak ingin membuat Danisa kerepotan seorang diri. “Tidak. Biar aku saja. Mbak lanjutkan saja pekerjaan Mbak,” sergah Danisa menolak bantuan yang hendak dilakukan oleh ART-nya itu. Danisa membuatkan teh hangat dari daun teh langsung yang ia masak menggunakan air mendidih terlebih dulu di atas kompor. Menunggu beberapa saat, hingga akhirnya teh yang ia buat pun jadi. Setelah siap, dia mengantarkan langsung menuju kamar sang ibu berada. Setiba di depan kamar ibunya,
Setelah Safa keluar dari dalam kamarnya. Danisa memilih untuk mengistirahatkan dirinya. Mata sudah mulai mengantuk, badannya pun sangat lelah karena memang aktivitas hari ini yang begitu menguras tenaga dan juga akal pikirannya. Sebab, siang tadi dia yang sedang berada dalam kesulitan saat tahu jika transportasi nyaman yang menjadi langganan dan biasa digunakannya itu tidak bisa dia gunakan untuk mengantarkan anak-anak yang akan melakukan kegiatan sekolahnya tersebut. Dia merebahkan diri ke atas ranjang. Setelahnya Danisa berusaha memejamkan mata. Beberapa waktu dilaluinya, tetap saja mata yang terasa berat itu tak mampu terpejam sempurna. Pikirannya penuh, dengan berbagai persoalan yang tengah dia hadapi saat ini. Kedua mata yang semula terpejam itu pun akhirnya kembali terbuka. Danisa menghembuskan nafas beratnya. Danisa terdiam, dia pun membuka matanya. Dalam tenang, Danisa terlihat seperti orang yang sedang tidak memiliki beban pikiran. Permasalahan yang pernah terjadi dala
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.