"Nomor antrian dua puluh tiga. Poli ortopedi."Seorang ibu-ibu paruh baya dibantu anaknya masuk ke ruang periksa. Ibu itu memakai kursi roda. Sepertinya sakitnya sudah parah. Kakinya dibalut perban dan dia tidak bisa berjalan. Ada seorang perawat yang mendampingi."Kita nomor berapa?" tanya Andra."Dua puluh lima. Masih dua antrian lagi, Ndra," jawab Reisa."Lama juga," keluhnya."Kan udah dibilangin, periksa malam aja ke praktek. Gak antri panjang begini," kata Reisa.Kadang-kadanglelaki memang begitu, sulit sekali untuk diberi tahu sesuatu yang baik. Bagi mereka, pendapatnya lah yang paling benar. Kalau sudah di posisi seperti ini, perempuan memang harus banyak mengalah."Habisnya ngilu banget, nunggu malem kelamaan," keluh Andra."Kamu juga, udah tau lutut masih sakit. Gak usah aneh-aneh dulu kenapa, sih," omelnya.Andra tersenyum geli sambil melirik istrinya. "Kan enak, kalau main perang-perangan sama lu," cengirnya.Reisa menggelengkan kepala melihat kelakuan suaminya. Untuk yang
"Om sama tante ke dalam dulu, ya."Kedua orang itu berpamitan meninggalkan mereka. Reisa mengernyitkan dahi dan bertanta ini maksudnya apa. Kenapa Dimas tidak ikut ke dalam. Bukannya dia hendak mengantarkan papanya berobat?"Itu apaan?" tanya Dimas saat dia mengeluarkan sebuah tas dan botol-botol kaca.Dimas bingung harus memulai pembicaraan. Saat ini posisinya sedang berdiri di depan mobil Reisa, yang bersebelahan dengan mobilnya.Reisa sendiri sedang duduk di jok mobil dengan pintu terbuka. Tangannya sibuk mengeluarkan isi tas. Membongkar pasang semua peralatan yang ada di dalamnya."Aku mau pompa asi." Reisa menatap tajam. Rasanya dia tak perlu menjelaskan apa itu, Dimas pasti sudah mengerti."Di sini?"Dimas tampak terkejut. Tidak mungkin Reisa membuka bajunya dan melakukan itu di depannya."Iya. Tapi itu juga kayaknya gak bakalan jadi," jawab Reisq sewot."Loh kenapa?" tanya Dimas semakin bingung."Kalau kamu masih berdiri di situ dan ngeliatin aku terus. Gimana aku mau mompa?"
Reisa memarkir mobilnya masuk ke sebuah pekarangan rumah. Kebetulan pagarnya terbuka, dan ada mobil lain terparkir di situ bersebelahan dengan mobil papa.Hari ini Reisa datang untuk menjenguk papanya, setelah sekian lama dia tidak pulang ke rumah. Tak banyak yang berubah, semua masih sama seperti setahun lalu. Saat dia meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama Andra di rumah baru.Reisa memencet bel dan menunggu. Cukup lama sampai ada seorang yang membukakan pintu."Non Reisa." Seorang pelayan membukakan pintu.Ada beberapa pekerja yang mengurus rumah ini. Papanya yang super sibuk, tidak mungkin mengerjakannya sendirian. Apalagi sejak dia pindah, rumah pasti tidak terawat.Kalau Inah dan Tarno, mereka berdua pengurus rumah Andra yang lama, yang dibawa suaminya tinggal di kediaman mereka.Rumah peninggalan orang tua Andra sendiri dibiarkan kosong karena Reisa tidak mau menempatinya. Di rumah itulah, Andra merenggut kehormatannya. Sekalipun semua sudah berlalu, dia masih trauma jika b
Wisnu tertunduk lemas. Dia seperti seorang pesakitan yang sedang di-interogasi oleh penyidik untuk mengakui semua kesalahan.Reisa melipat tangannya di dada. Raut wajahnya dingin dan tatapan mata yang tajam. Kata-kata yang dia lontarkan seperti peluru yang terus saja ditembakkan. Menghantam dada sang papa tanpa ampun.Wisnu tak berkutik. Ibarat seorang narapidana dengan tangan yang diborgol dan tak dapat bergerak sedikitpun. "Sejak kapan, Pa?" tanya Reisa."Sejak kamu pacaran sama Dimas. Papa udah kenalan sama dia, Rei. Waktu itu papa ke kantornya mau bicara soal kerja sama proyek."Wisnu menatap putrinya dengan enggan. Lelaki paruh baya itu bahkan membuang pandangan sembari menarik napas panjang. "Bukan itu!""Lalu?""Sejak kapan papa nidurin dia?"Wisnu meremas rambutnya. Satu kesalahan paling fatal yang sudah dilakukannya, di usia yang sudah melewati setengah abad. Wisnu telah berbuat dosa dengan meniduri kekasihnya, Anita."Sejak ... kami resmi berpacaran," ucapnya terbata-bata
Masjid Baiturrahman, pukul sembilan lewat dua puluh lima menit.Hari ini merupakan momen bersejarah di mana Wisnu akan mengucapkan ijab kabul untuk mempersunting kekasih hatinya, Nita.Rencana pernikahan dua orang berbeda usia yang sangat kentara itu dilakukan tak lama setelah kedatangan Reisa ke rumah papanya. Mereka bertindak cepat dengan melamar langsung Nita kepada orang tuanya.Wisnu didampingi oleh Andra dan Reisa saat memasuki pelataran masjid. Sementara para keluarga sudah berkumpul di titik yang telah ditentukan.Awalnya, proses lamaran berlangsung alot karena orang tua pihak perempuan tidak setuju anaknya menikah dengan Wisnu. Apalagi calon menantu mereka seumuran dengan ayah mertuanya.Ditambah lagi dengan riwayat Reisa yang pernah membatalkan pernikahan dengan Dimas. Pihak Nita terang-terangan menolak.Sungguh rumit dan memakan waktu yang lama hingga dua bulan lamanya. Namun, dalam rentang waktu itu, semua orang memilih untuk bersabar menunggu.Mereka sampai mengadakan med
"Halo, Ndra?"Reisa yang sudah terlelap, harus terbangun ketika ponselnya berdering pukul dua pagi. Wanita itu sebenarnya enggan menerima telepon. Namun, Andra tak mungkin menghubunginya jika tak penting. Akhirnya Reisa mengangkat panggilan itu. Rasa khawatir lebih kuat daripada kantuknya. "Bisa jemput dia sekarang?" tanya seorang wanita di seberang sana. "Kamu siapa?"Suara Reisa terdengar emosi ketika mendengar wanita itu berbicara dengan santai melalui ponsel Andra, sahabatnya. "Tolong jemput aja dia. Teman kamu mabuk.""Andra mabuk?" tanya Reisa tak percaya. "Iya, udah teler nih.""Kalian dimana?""The Paradise." Wanita di telepon tadi menyebutkan sebuah kelab yang lokasinya terletak di pusat kota. Setelah mengetahui semua secara detail, Reisa bergegas mengambil sweater beserta dompetnya. Dia menyalakan mesin mobil tanpa berpikir dia kali bahwa ini sudah larut malam. "Astagfirullah."Sampai di sana, Reisa hanya bisa menggeleng saat melihat keadaan Andra. Lelaki itu sedang t
Pukul lima, subuh hari. "Non Rei!" Inah menutup mulut, setengah tak percaya melihat keadaan Reisa yang tak seperti biasanya."Bik. Tolong." Reisa melangkah tertatih-tatih. Rasa sakit di sekujur tubuhnya sudah tidak dapat ditahan. "Astagfirullah, Non. Kenapa?" Inah memapah dan membantu Reisa berjalan. Pakaian wanita itu sebagian robek dengan rambut acak-acakan. Ada bekas lebam di pergelangan tangannya. Dan ada bercak darah. "Panggilkan taksi, Bik. Aku mau pulang," lirih Reisa. Matanya bengkak dengan air matanya tak berhenti menetes. "Ada Tarno, Non. Sebentar bibik panggilkan di belakang. Tadi barusan dia datang." Inah berlari ketakutan. Dalam hati menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Wanita paruh baya itu tidak mau berprasangka. Namun, melihat kondisi Reisa seperti itu, dia mencurigai sesuatu. Tuannya tak keluar kamar sejak tadi. Pintu kamarnya setengah terbuka, walau tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Inah tidak berani mengintip karena itu tidak sopan."Nok, Nok.
Wisnu tergopoh-gopoh keluar dari kamar ketika salah satu pengurus rumah mengabari kondisi putrinya yang baru saja diantar pulang."Ada apa?""Non Rei, Pak. Kayaknya dirampok."Wisnu berlari ke ruang tamu dan mendapati putrinya terbaring di sofa. Dia mengucap istigfar berulang kali sembari memeriksa beberapa bagian tubuh Reisa yang lebam. "Pak Nok?" tanya laki-laki paruh baya itu kaget ketika melihat siapa yang mengantar putrinya pulang.Tarno sering ke rumah ini mengantar Reisa pulang. Putrinya memang sudah bersahabat sejak lama dengan Andra. Wisnu bahkan kenal siapa saja yang bekerja di rumah itu. Wisnu bahkan sudah menganggap Andra seperti anak sendiri. Anak itu baik dan sopan karena sudah terbiasa datang ke rumah. "Iya, Pak. Ini ... saya antar Non Rei pulang.""Sebenarnya ada apa ini?" Wisnu menarik kerah baju Tarno dengan penuh amarah. "Bukan saya, Pak. Saya cuma diminta nganterin Non Rei pulang.""Terus Reisa diapain sampai begini?"Dengan terbata, Tarno menceritakan apa y