"Lo mau ngomong apa, Ra? Ada masalah dengan si Azlan?" tanya Flora sembari duduk di dekatku."Kaga. Cuman coba lo liat ini," ujarku seraya menyodorkan ponselku."Apaan?""Liat aja sendiri."Sengaja aku rekam semua chat Elina tadi pagi, agar Flora cepat tanggap dan paham apa yang akan aku lakukan."Gila tuh ya wanita setan. Dia yang butuh lo, tapi kenapa dia yang ngerendahin lo? Emang kudu dikasih pelajaran tuh orang!" ucap Flora dengan penuh emosi, tangan kanannya mengepal dan memukul telapak tangan kirinya."So, gue ke sini karena butuh bantuan lo. Bantu gue kasih pelajaran ke tuh cewek."Sejenak Flora terdiam, dia mencoba berpikir dengan serius. Setelah beberapa saat berpikir, Flora menatapku. "Lo punya rencana apa?"Haissh ... setelah sekian purnama menanti dia berpikir, kenapa malah balik tanya? Emang dasar geblek nih teman kaga ada akhlak! umpatku dalam hati seraya tepuk jidat.Melihat sikapku, Flora malah tertawa. Tingkahnya justru membuat aku mendelik."Oke, kita serius sekaran
(POV Elina)Aku Elina, istri dari pewaris tunggal kekayaan keluarga Wijaya Pratama. Sebuah keberuntungan bagiku, bisa membuat seorang Azlan Pratama jatuh cinta. Azlan mencintaiku sejak kami sama-sama kuliah. Dia adalah kakak tingkat, dan aku dua tingkat di bawahnya.Selain tampan, Azlan terkenal sebagai anak konglomerat. Sudah pasti tajir parah. Meskipun dari golongan atas, Azlan bukanlah lelaki sombong yang sok jaga image. Dia begitu ramah dan baik ke siapa saja. sudah pasti, dia menjadi idola di kampus.Waktu itu, aku harus bersaing dengan ribuan gadis. Ya ... anggap saja ribuan, karena nyatanya memang begitu banyak fans Azlan. Apalagi Azlan adalah aktivis yang sering tampil di depan umum.Pertemuanku dengan Azlan bukan sebuah kebetulan, tepatnya memang sudah aku rencanakan. Sejak awal melihat dia ketika masa ospek, aku sudah menjadikan Azlan sebagai target. Tentu saja bukan sembarang menargetkan, aku memilihnya karena sudah pasti dia bisa menjamin masa depanku yang terang benderang
"Pak Derry, saya ingin wanita yang special dan tolong juga pastikan kesehatan dia. Tahu sendiri kan, wanita yang dipakai banyak orang tuh rentan penyakit." Begitu pesanku pada lelaki mucikari itu.Dia mengangguk paham, kemudian mengajakku ke sebuah tempat clubbing. Cukup berkelas, karena yang datang ke sana adalah manusia yang memiliki strata sosial tinggi. Bisa dibilang tempat itu pusatnya para sugar daddy mencari peliharaan.Dari kejauhan, Derry menunjukkan dua orang gadis yang sedang duduk menikmati minuman di sana. Katanya sih, dua orang gadis itu termasuk primadona di sini. Bayarannya cukup tinggi dan customernya bukan orang sembarangan."Mereka paling special di sini, Nyonya Luna. Tidak sembarang lelaki mereka terima, tarifnya pun tidak murah," ujar Derry.Sengaja aku memperkenalkan nama samaran, karena aku tidak ingin siapapun tahu apa yang kulakukan ini."Siapa yang memakai gaun biru itu, Pak?" tanyaku yang lebih tertarik dengan wajah kalem gadis bergaun biru."Dia Flora.""Ak
Hari ini adalah pemeriksaan kedua wanita itu. Aku sengaja tidak turut serta ke rumah sakit. Bagiku, berdekatan lama-lama dengan wanita seperti mereka bisa membuat martabatku turun. Jadi, hanya Mas Azlan saja yang mengurus semuanya.Cukup lama aku menanti. Hingga lewat tengah hari, barulah mobil Azlan datang. Bergegas aku keluar rumah, datang menghampiri dia yang baru saja turun dari mobil."Gimana hasilnya, Mas?" tanyaku tidak sabaran ingin tahu hasil pemeriksaan kedua wanita itu."Kita bicara di dalam, Sayang. Mas haus dan laper, jadi mau makan dulu, ya."Aku mendengkus. Sungguh tidak asyik suamiku ini. Lagi kepo kepo-nya malah dengan santai meninggalkan aku dengan rasa penasaran tingkat dewa.Aku berharap, Flora yang terpilih. Entah kenapa, aku merasa kurang cocok dengan wanita yang satunya. Wanita itu tampak terlalu menggoda bagi Azlan, aura sensual itu begitu kuat. Sebagai seorang istri, tentu saja aku takut jika Azlan benar-benar tergoda.Setengah berlari, aku susul Azlan. "Mas m
Benar kata Azlan, kepergian kami ke Bali justru membuat hati ini semakin sakit. Aku harus mengantarkan suamiku ke kamar wanita lain, hanya demi menikmati malam pertama mereka.Jujur, aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menikmati percintaan itu. Aku tidak mampu membayangkan bagaimana wanita itu mendesah keenakan, menikmati setiap sentuhan Azlan."Kamu yakin, El?" tanya Azlan saat aku hendak mengantarnya ke kamar Nara."Mas ... dari hati yang terdalam, aku memang belum bisa menerima semua ini. Tapi kalau aku tidak merelakan kamu dengan Nara, maka rumah tangga kita akan hancur. Saat ini aku berada di antara dua jurang, aku tidak memiliki pilihan lagi, Mas."Tangisku kembali pecah. Aku menangis tersedu di bahu Azlan, dia merengkuhku, memeluk dengan erat. Aku bisa merasakan bahwa dia pun sangat berat melakukan itu semua.Azlan memang laki-laki yang sangat berbeda. Kesetiaannya, rasa cintanya, kasih sayangnya, semua benar-benar telah teruji dan begitu besar padaku."Dengar, Elina.
Perginya Nara yang lebih dari tiga hari membuatku khawatir. Pasalnya, waktuku tersisa hanya tinggal dua bulan lagi. Rasanya tak akan mungkin terkejar jika aku terus mengulur waktu.Flora, dia juga terus menekanku dengan mengatakan bahwa kepergian Nara karena sikapku. Dia bilang, aku terlalu banyak membuang waktu.Seharian ini aku mengurung diri di kamar, mencoba merenungkan semua peristiwa yang terjadi. Kembali menimang apakah keputusanku sudah benar atau belum, hingga akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan rencana.Baiklah, jika permintaan wanita pengeretan dan tidak tahu diri itu mengharuskan aku merelakan berbagi suami. Aku tak ada pilihan. Hanya saja, aku tak ingin lepas kendali atas suamiku. Semua harus aku atur kembali, memilih strategi agar tetap aman dari insiden yang di luar perkiraan.Sore itu, aku putuskan untuk kembali ke Jakarta. Aku yakin, Nara dan Flora sudah bersekongkol untuk kembali ke Jakarta juga.Benar tebakanku, ternyata Nara sudah ada di Jakarta. Informasi itu
POV NaraSudah hampir tiga minggu sejak Azlan meninggalkan aku. Ya, waktu satu minggu telah berlalu dengan begitu cepat. Seperti apa kata Elina, aku dan Azlan hanya diberi waktu bulan madu selama satu minggu. Setelah itu, Azlan harus kembali ke rumah.Entah apa yang terjadi, sehingga Azlan hanya menuruti permintaan Elina. Hingga sekarang dia belum juga menemuiku. Terakhir chat, dia hanya menyampaikan jika dirinya dan Elina akan menunggu hingga tiga minggu sampai ada kepastian kabar kehamilanku.Drttt ... drtttt ....Ponselku bergetar, sebuah panggilan dari Azlan. Tanpa sadar aku tersenyum, dalam hati bersyukur akhirnya dia telepon."Hallo, Azlan," sapaku dengan suara riang.Namun, kebahagiaan itu seketika sirna ketika suara di seberang bukan suara Azlan. Melainkan suara Elina yang menyapa dengan begitu ramah. "Hai, Nara. Gimana kabarnya?" basa-basi yang basi menurutku, entah kenapa ada rasa kecewa yang menyelinap karena ternyata bukan Azlan."Baik," jawabku singkat."Nanti sore kamu
"Aku merindukanmu, Azlan." Kalimat itu yang meluncur begitu saja dari bibir ini.Kubenamkan wajah ke dada bidang lelaki itu, begitu masyuk. Entah sejak kapan aku begitu menyukai aroma tubuh Azlan, bahkan aku tak peduli ketika Azlan berusaha menjauhkan wajahku dari tubuhnya."Biarkan aku menikmati aroma tubuh yang kurindukan ini, Azlan."Azlan akhirnya hanya diam dan membiarkan diriku membaui dada hingga lehernya. Rasa mual yang kurasakan dari pagi pun mulai berkurang, begitu rileks dan menyenangkan."Nara, kita harus periksa ke dokter. Waktu kita nggak banyak."Aku menghentikan aksiku, lalu mendongak ke arah wajah Azlan. Begitu lekat tatapan ini, sehingga membuat Azlan salah tingkah. Dapat kutemukan perbedaan sikap Azlan sekarang dengan sebelumnya.Kembali aku tersadar, bahwa Azlan yang sekarang bukan Azlan yang sedang menjalani peran seperti tiga minggu lalu. Perlahan aku melepas pelukan, lalu menjauh. Bahkan ekspresi bahagiaku seketika sirna berganti ribuan luka akibat kecewa.Kehid