Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama.
Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka.
"Ma, Pa ...," sapa Carol.
Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan.
Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline.
Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?"
"Bener juga sih."
"Kami berteduh di pondok tadi," terang Carol.
"Oh …." Anita melirik Galih, mereka lalu tersenyum bersama.
Kedua orang tua itu senang, mungkin mereka juga membayangkan betapa romantisnya Carol dan Ben di pondok hanya berduaan saja.
"Oh iya, Om, Tante … Mama dan Papa di mana? Apa mereka belum bangun?" Alih Ben.
"Tadi sih belum, tapi entah kalo sekarang. Mereka belum keluar kamar, mungkin memang belum bangun." Anita menjawab.
"Gitu ya, kenapa tidur lama sekali." Ben berkata-kata pelan yang masih bisa didengar oleh yang lain.
"Mungkin Om dan Tante kelelahan," sambung Carol.
"Mungkin begitu,” tanggap Ben singkat.
"Ini sudah hampir jam 5 sore, lebih baik kalian berdua mandi sore dulu aja," saran Anita.
"Iya, bener. Sana mandi!" dukung Galih.
"Baik, Ma, Pa.” Caroline menanggapi.
Caroline melirik ke arah Ben, memberinya kode supaya dia segera memasuki rumah. Sedangkan pikiran Ben saat itu yang sedikit ngaco melototi Caroline.
"Ayo!" Caroline terpaksa bersuara karena Ben hanya terus melototinya tanpa bergerak.
Ben pun dengan ragu mengikuti langkah Caroline setelah mengangguk pada Galih dan Anita.***
Berada di dalam rumah, Ben bersuara.
"Hei … Kamu serius mau mengajakku mandi bareng?"
Caroline sontak membesarkan matanya ketika mendengar itu. Carol melirik kiri kanan, wajahnya tersipu malu, kalimat seperti itu sungguh membuat seorang gadis polos seperti Carol menjadi sangat malu. "Maksudmu apa?" Carol bertanya balik.
"Tadi waktu di depan, Kamu memaksaku ke dalam untuk apa? Mengajakku mandi, kan?"
“I-iya … memangnya kenapa?”
“Serius? Elu mau ngajak gue mandi bareng?”
Caroline reflek mengangkat salah satu tangan menutup mulutnya. Pastinya ia tak menyangka, pemikiran Ben bisa sejauh itu. " Ya ampun, soal itu ... ya maksudnya bukan mandi bareng, tapi bergantian,” jelas Caroline tergelak kecil.
"Oh … kirain ngajak mandi bareng, Hehe." Sesungguhnya Ben juga sedang mengejek gadis itu saja. Melihat ekspresi Carol yang demikian, Ben tiba-tiba melihat sisi lain dari gadis itu. Carol sangat manis. "Dia cantik juga," puji Ben dalam hati.
"Dasar MESUM!" tuding Caroline sejenak kemudian.
Pada saat mereka terlihat begitu akrab, tiba-tiba Tristan dan Ernanda muncul di belakang mereka.
Ehem ….
"Aaah!"
Breg!
Suara Ernanda yang berdehem berhasil membuat Caroline sedikit tersentak, dia langsung membalikkan badannya. Pada saat ia berbalik badan, ternyata ada air pada lantai di dekat tempatnya berdiri. Caroline menginjak air pada lantai, dan tergelincir seketika. Lalu Ben dengan sigap menangkap tubuh Caroline.
Ernanda dan Tristan yang sebelumnya hampir jantungan menyaksikan Caroline yang hampir terjatuh, memperlebar senyuman mereka ketika adegan kecelakaan itu kini justru berganti menjadi adegan romantis.
Bagaimana kedua orang tua itu tak bahagia? Saat itu, Ben dan Carol saling menatap sekian detik dengan posisi tubuh Carol yang terjatuh di lengan kekar Ben. Begitu romantis, seperti cerita di novel-novel saja.
Deg deg deg.
Detak jantung Carol berpacu cepat tak karuan.
"Ma-maaf!" ucap Caroline setelah memperbaiki posisinya. Wajahnya memerah menyerupai tomat, lebih-lebih saat dia menyadari kedua orang tua Ben menyaksikan kejadian memalukan itu.
Carol berusaha bersikap senormal mungkin dengan berusaha tersenyum pada kedua orang tua Ben, juga menyapa mereka.
"Katamu mau mandi, sana mandi! Aku juga mau mandi," alih Ben.
"Ah, iya. Aku permisi dulu ya." Carol menanggapi Ben. Lalu juga beralih pada kedua orang tua Ben. "Om, Tante ... Carol mandi dulu," pamit Carol, segera ngacir secepat kilat tanpa menunggu jawaban dari Tristan dan Ernanda lagi.
Fiuh!Kali ini Caroline benar-benar merasa beruntung, dia sangat berterima kasih pada Ben di dalam hatinya, merasa Ben telah menolongnya terbebas dari rasa malu.
***
Waktu berlalu cukup cepat. Siang berganti sore, dan kini malam pun tiba. Saat ini jarum jam menunjukkan pukul 19.00 waktu setempat. Mereka semua sedang duduk di meja makan, perjamuan makan malam akan berlangsung.
Di meja makan, terjadi banyak sekali percakapan. Suara ibu-ibu lebih mendominasi pastinya. Ernanda dan Anita saling bertukar ceritanya, lalu juga menceritakan banyak hal tentang masa kecil Carol dan Ben yang sewaktu masih berusia sekitar 5 tahunan, mereka berdua pernah bermain bersama.
Ben dan Caroline mendengarkan keseruan yang diceritakan oleh Ernanda dan Anita secara seksama. Sesekali mereka tertawa kecil, juga sangat ingin memungkiri ketika cerita memalukan terungkap di hadapan mereka.
Seperti sewaktu Ben dan keluarganya menginap di rumah keluarga Caroline di masa itu, Caroline memperkenalkan Ben pada teman mainnya, bahwa Ben adalah pacarnya. Begitupun dengan Ben yang setelah pulang ke Jakarta, ia juga bercerita pada teman-teman mainnya bahwa ia memiliki pacar di Bandung, namanya Carol. Dan karena hal ini jugalah kalimat candaan tentang perjodohan itu tercipta di antara orang tua mereka.
"Memangnya itu sungguhan terjadi, Ma? Jangan-jangan hanya karangan Mama saja," protes Ben.
"Ya iyalah, Ben. Itu beneran. Atau jangan-jangan Kamu masih ingat tentang itu? Dan Kamu berpura-pura melupakannya," sindir Ernanda.
"Ah, Mama … ada-ada saja. Ya, tidak mungkinlah. Ben bahkan ga yakin itu benar-benar terjadi. Kalau iya pun lagian itu hanya cerita masa kecil saja."
"Dasar Kamu ini. Cerita masa kecil itu justru sangat berharga."
Selanjutnya, mereka pun melanjutkan aktivitas makan mereka tanpa bersuara lagi. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang saling bertemu.
Semua orang tampak sangat menikmati jamuan makan malam itu, kecuali Carol. Jika yang lainnya hanya berkonsentrasi pada makanan mereka, menikmati berbagai cita rasa dari makanan yang mereka santap, Carol lebih kepada memikirkan tentang masalah perjodohan. Sesekali, Carol juga melirik mereka semua yang ada di meja makan satu per satu pada saat yang lain tidak menyadarinya.
Tatapan Carol terhenti pada Ben, sambil bergumam dalam hatinya, "apa lebih baik aku terima saja ya perjodohan itu?"
Bersambung ....
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan. “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Panggilan tersebut tak lain adalah dari Gaby. Ben masih marah pada kekasihnya itu, ia mengabaikan panggilan tersebut. Dia lebih memilih kembali menatap layar komputer di hadapannya. Kali ini Ben tak lagi melanjutkan pekerjaannya, sudah terlalu lama dirinya menatap layar, kedua matanya bahkan terasa perih. Ben sedang menyimpan data yang ia kerjakan, juga menyimpan beberapa file hasil tulisannya pada masing-masing folder tanpa lupa memberikan nama. Usai itu, Ben mematikan perangkat perangnya satu per satu. Dari LCD, berlanjut pada CPU. Drrrt … drrrt. Baru saja Ben menekan tombol on off pada CPU, benda persegi miliknya kembali bergetar. Tentu saja peneleponnya masih sama dengan yang tadi, yakni Gaby. Huuuh! “Mau apa sih dia?" Ben menatap layar yang menyala cukup lama kali ini. Dia sebenarnya sedikit merindukan Gaby, hanya saja dia juga sangat sakit hati pada Gaby. Tit! Ben mereject panggilan dari Gaby.
Sekitar setengah jam menempuh perjalanan dari bar menuju tempat mereka membooking kamar, akhirnya Ben dan Sandi beserta ketiga wanita malam yang mereka bawa serta tiba di sebuah hotel di kota Jakarta. Dua wanita yang merupakan pasangan satu malam Ben merengkuh manja pada sisi kiri dan kanan Ben. Sedangkan satu wanita lainnya adalah milik Sandi. Mereka berlima kemudian menuju ke arah kamar mereka masing-masing setelah selesai dari meja resepsionis. Tiba di depan kamar nomor 126, Ben dan kedua wanitanya menghentikan langkah mereka. Ben mengangkat salah satu tangannya, menempelkan tangannya itu pada gagang pintu, lalu menekannya ke bawah untuk membukakan pintu baginya, juga bagi kedua wanita di sisi kiri-kanannya itu. Tap tap tap! Langkah Ben Sander masih cukup mantap, dia belum begitu dipengaruhi oleh alkohol. Ben memang cukup kuat minum alkohol, hingga ia tak mudah tumbang. Bug! Ben mendorong salah satu wanitanya hingga terjatuh di temp
Jegrek! Langkah Ben tertuju pada kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ben ingin membersihkan dirinya lebih dulu sebelum melanjutkan tidurnya lagi. Badannya itu terlalu lengket, bau alkohol lagi. Ben tidak mungkin membiarkan tempat tidur pribadinya terkontaminasi oleh semua itu. Walau dia agak berandalan, tapi dia sangatlah bersih. Desiran air terdengar jelas dari kamar mandi, Ben melakukan kegiatannya itu cukup cepat. Sekitar 5 menit kemudian Ben sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang menutupi bagian bawah dari tubuhnya. Bug! Usai mengganti pakaian, Ben menjatuhkan dirinya di atas tempat tidurnya. Huuuh! "Nyamannya," gumam Ben. Zzttt …. Dalam sekejap saja, Ben telah terlelap kembali. Hanya membutuhkan waktu selama 3 menit, Ben telah memasuki dunia mimpi. Gaby hadir di dalam mimpinya. Ben yang baru saja keluar dari kamar mandi tersentak saat melihat Gaby tiba-tiba berada di kamarnya. "Hei, baga
"Heh, aku peringatkan ya sama Kamu. Bukan berarti setelah Kamu menerima perjodohan itu Kamu bisa berbuat seenaknya atas hidupku. Lagian Kau juga sudah tau kan, aku sudah punya pacar dan aku nggak akan pernah mau dijodohkan denganmu," kecam Ben. Pada saat bersamaan ketika ia mengucapkan kalimat ancaman tersebut, Ernanda hadir di hadapan mereka. "Apa maksudmu berkata sepeerti itu, Ben? Bukankah Kamu sudah berjanji sama mama akan menerima dinikahkan sama Carol?" "Mama ...," sebut Ben kaget bukan main. "Bu-bukan begitu, Ma. Tapi ...." "Tapi apa, Ben? Kamu mau membuat mama jatuh sakit lagi, begitukah?" Ben menggeleng-geleng tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Selalu cara ini yang digunakan Ernanda untuk menaklukan putranya itu dan sialnya selalu ampuh. "Mama kecewa sama Kamu, Ben. Awas saja kalau Kamu berani macam-macam. Pokoknya Kamu tidak boleh lari dari semua ini. Kamu dan Carol akan segera menikah minggu depan," tekan Ernand
"Baik, Tuan." Bi Ina menjawab sambil mengangguk sopan. Baru saja Bi Ina akan berbalik, Ben tiba-tiba bersuara membuat Bi Ina kaget. Tentu saja penyakit latahnya kumat. Jika Tristan dan Ernanda bersikap biasa saja, lain halnya dengan Carol yang baru pertama kali menyaksikan Bi Ina bersikap demikian. Pastinya Carol tertawa kecil dibuatnya. "Malam, Pa! Tumben jam segini sudah di rumah," ucap Ben basa-basi. "Papa sengaja pulang cepat supaya bisa makan malam bareng dengan Caroline," sahut Tristan. "Kamu mau kemana sudah rapi begitu?" Tristan memandang Ben dari atas ke bawah, begitupun sebaliknya. "Keluar, Pa. Mau ke …," terang Ben terjeda. "Ngumpul sama temen, Pa. Iya ngumpul sama Sandi dan yang lainnya," bohong Ben. Sebenarnya dia mau menemui Gaby. Tadi siang batal karena kehilangan mood. Tristan menatap tajam ke arah Ben sembari melengkungkan alis. "Tidak boleh!" ucapnya. "Kamu tidak boleh pergi kemanapun. Duduk, dan temani kami makan malam!" tit
“Tidak, Ma. Maafin Ben, Ben harus pergi sekarang!” Ben bergegas melangkah menuju ke arah pintu keluar.“BE ….” Tristan baru akan membuka suara menanggapi sikap Ben yang sangat buruk itu.“Sudahlah, Pa. Jangan marah-marah,” potong Ernanda cepat.“Kamu masih mau membela dia, hah? Lihat saja kelakuan anakmu itu. Betapa tidak sopannya dia,” cerocos Tristan.“Bukan begitu, Pa. Di sini ada Caroline. Papa mau membuat Caroline ketakutan dengan sikap kasar Papa?”Seakan baru tersadar akan kehadiran Caroline di sana. Sejak tadi, Trist