Share

Jalan bareng

“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben

“Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya.

Ben melirik Caroline sekilas, lalu bersuara, “tidak perlu, Om. Ben bisa sendiri kok.”

“Jangan, nanti Kamu tersesat. Biar Carol saja yang menemanimu, Nak Ben,” sambung Anita.

“Iya, bener. Kalian berdua juga bisa saling mengenal lebih dekat. Pergilah sama Carol, Ben.” Ernanda ikut bersuara.

Ben pun terdiam sekarang. Apalagi Carol juga sejak tadi hanya diam saja. Ben tak memiliki alasan untuk terus melakukan penolakan.

“Ben keluar dulu ya, Ma, Pa.” Ia memilih pamit segera, lalu berbalik secepat mungkin tanpa menjawab setuju atau tidak akan saran para orang tua itu.

Sementara pastinya Caroline masih terdiam di tempat, dia tidak tak tau harus melakukan apa sebab tak ada jawaban dari pria itu. Ernanda segera memberi kode padanya supaya gadis polos itu mengejar Ben yang mulai menjauh. Namun sebelum itu dia berbisik pelan di dekat telinganya, “maklumi Ben, ya. Dia memang sedikit dingin sama orang yang belum dia kenal. Aslinya dia baik kok.”

Caroline tersenyum tipis dan menanggapi ucapan Ernanda dengan anggukan. Setelahnya ia pun berlalu menyusul langkah Ben.

***

Caroline yang seharusnya memandu jalan justru berjalan di belakang Ben. sudah seperti seorang bodyguard yang sedang mengawasi majikannya saja.

Ben tampaknya sangat menikmati pemandangan indah di Ciwidey. Dia melirik kiri kanan seraya melangkah perlahan. Menghirup udara segar itu dalam-dalam, menikmati angin yang berhembus sepoi-sepoi menyentuh kulit sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Sangat sejuk dan damai, puji Ben dalam hati.

Apalagi melihat warna-warni buah Stroberi yang ada di perkebunan stroberi samping kiri dan kanannya. Menambah keindahan dan begitu memanjakan mata. Hanya ada satu hal yang Ben kurang suka. Yakni saat berpapasan dengan beberapa gadis desa, para gadis itu terus meliriknya sambil tersenyum tak jelas. Ben tak menyukai itu.

Sekitar ribuan meter mereka berjalan, Ben tiba-tiba menghentikan langkahnya di sisi kiri perkebunan stroberi, Carol yang terus melangkah sambil menunduk hampir menabraknya.

Deg deg deg.

Jantung Caroline sontak berpacu cepat.

“Hei, kalau jalan itu liat-liat,” omel Ben. 

“Maaf!” ucap Carol sambil mengangguk pelan.

Setelahnya mereka berdua kembali saling diam untuk beberapa detik. Ben mendongakkan kepalanya ke atas, cuaca agak mendung, tak ada sinar matahari yang menyilaukan matanya. Sungguh cuaca yang sangat pas untuk menikmati keindahan Ciwidey. Ben menghirup udara segar itu, lalu menghembuskannya secara perlahan.

“Di sini sangat sejuk ya. Aku suka tempat ini,” ungkap ben tiba-tiba.

“Hmm ....” Carol agak kaget mendengar ucapan Ben. Namun dia segera menanggapi Ben saat Ben menatapnya intens. “Ah, iya. Hehe … mungkin karena mendung juga, jadinya lebih sejuk dari biasanya.”

Siang itu, awan hitam memang memenuhi daerah tempat tinggal Caroline, sepertinya hujan akan segera turun.

“Kebun stroberi itu, apa boleh kita masuk ke sana?” tanya Ben.

“Tentu saja boleh. Ini adalah kebun yang diurus oleh Papaku," tanggap Carol antusias. "Ayo kita kesana!" ajaknya kemudian.

Caroline bergegas melangkah lebih dulu memasuki perkebunan stroberi tersebut setelah memberi jawaban pada Ben. Beberapa saat kemudian, Ben Sander ikut menyusulnya.

***

Caroline berjongkok di dekat salah satu pohon stroberi yang tampak paling banyak buahnya. Buah-buah stroberi itu juga kebanyakan sudah berwarna merah yang berarti telah matang.

Carol lalu memetik salah satu buah itu, dan memakannya. Carol menggigit sedikit ujung buah stroberi yang ia pegang, mengunyah dan merasakan sensasi asam manis buah Stroberi di dalam mulutnya sesekali ia memejamkan mata, membuat Ben menelan salivanya.

Carol tanpa sengaja melirik Ben, lalu berkata,” Kamu mau?”

“Hmm ...." Ben sedikit terlonjak. “Memangnya nggak masam apa?” tanya Ben mengerutkan dahi.

Carol tersenyum, lalu menjawab, “nggak kok. Ini sangat manis, cobain deh.” Caroline menyodorkan satu buah stroberi yang baru saja ia petik ke arah Ben.

“Benarkah?”

Ben meragukan perkataan Caroline, yang dia tahu buah Stroberi itu masam. Ben bahkan belum pernah memakan buah stroberi yang rasanya manis selama ini. Walaupun ragu, Ben tetap meraih buah stroberi yang disodorkan oleh Carol. Rasa penasarannya jauh lebih besar ketimbang rasa ragunya.

Perlahan Ben menggigit ujung dari buah stroberi itu, ia memiringkan kepalanya, dan berkomentar. “Ternyata memang manis,” ucapnya heran.

“Benarkan? Kalau warnanya sudah sangat merah seperti ini rasanya pasti sangat manis,” terang Carol. “Mau lagi?”

Ben menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini saja cukup.”

Tik tik tik

“Wah … hujan!” seru Carol.

Gadis itu segera beranjak dari posisi berjongkoknya. Ternyata hujan sungguh turun.

Ben melirik kesana kemari mencari tempat berteduh. “Ayo kita kesana!” ajak Ben kemudian sembari menunjuk ke arah sebuah pondok yang ada di kebun itu.

Mereka berdua pun berlari cepat menuju ke arah pondok itu.

***

Ben dan Carol duduk berduaan di pondok tersebut dengan kaki berjuntai ke bawah berteduh di sana. Pandangan mereka lurus ke depan, tertuju ke arah perkebunan stroberi tempat mereka berdiri tadi.

“Makasih, ya.” Ben tiba-tiba bersuara setelah sekian lama mereka berdua saling diam.

“Makasih buat apa?” Carol melirik Ben heran.

“Makasih untuk tidak menerima lamaran tadi.”

Carol sontak melengkungkan alisnya. Sesuai dengan perkiraannya ternyata Ben memang tidak setuju dengan perjodohan itu. Ia lalu mencoba memancing pembicaraan.

“Jadi Kamu memang tidak setuju untuk dijodohkan ya? Apakah Tante Nanda dan Om Tristan memaksakan hal itu?" selidiknya.

“Ya iyalah aku nggak setuju, sekarang jaman apa coba? Masa iya, masih main jodoh-jodohan?” Ben memberi sedikit jeda pada kalimat berikut yang hendak diucapkannya. “Lagian aku sudah punya pacar,” ungkapnya.

Carol membulatkan mulutnya membentuk huruf O. Usai itu mereka kembali saling diam untuk beberapa menit hingga hujan mulai mereda.

“Carol,” panggil Ben untuk pertama kalinya.”

“Iya, ada apa?”

“Tadi katamu, kebun ini milik Papamu?”

“Oh ... bukan. Kebun ini diurus oleh Papa, tapi bukan milik Papa lagi.”

“Maksud Kamu?”

“Dulunya kebun ini memang milik Papa. Suatu hari Mamaku sakit keras, Papa butuh uang ratusan juta untuk melunasi biaya rumah sakit. Lalu Papa meminjam uang sama Kang Dadang, rentenir di kampung ini. Karena bunganya sangat besar, Papa tidak mampu bayar. Jadilah kebun ini diambil alih oleh Kang Dadang. Dan itu pun belum juga berhasil melunasi semua hutang-hutang Papa. Sampai hari ini hutang itu sudah menumpuk kembali,” jelas Caroline panjang lebar. Pastinya Caroline menjadi sangat sedih saat teringat tentang ini.

“Kamu yang sabar, ya. Semoga hutang-hutang itu cepat lunas,” hibur Ben.

Caroline mengangguk kecil sambil berusaha tersenyum. Satu hal kini sedang terbesit di pikirannya. Dia sedang berpikir, mungkin saja jika ia menerima lamaran Ben, dan menikahi Ben, Ernanda dan Tristan bisa membantunya mengatasi ini. Carol tau, mereka berasal dari keluarga berada. Ibunya sering bercerita tentang hal itu.

“Carol … Carol …,” panggil Ben berulang.

“Ah, i-iya … kenapa lagi, Ben?

“Hujan udah berhenti, ayo kita pulang. Nanti orang-orang di rumah khawatir, sudah 3 jam kita keluar,” ucap Ben seraya melirik jam tangannya.

“Benar katamu, ayo!”

Mereka berdua lalu melompat turun dari atas pondok, keluar dari area perkebunan, menuju jalan pulang, kembali ke rumah Carol.

Setelah jalan-jalan singkat yang dilakukan oleh mereka berdua, pandangan Carol mulai berubah tentang pria itu. Ternyata Ben tak seburuk yang dia sangka. Entahlah, Carol juga merasa harus mempertimbangkan perihal perjodohan itu lebih-lebih saat ia mengingat tentang perkebunan stroberi serta hutang-hutang yang masih tersisa. "Haruskah aku terima saja perjodohan itu?"

Bersambung ….

***

Halo ... makasih sudah membaca cerita ini. Semoga pada suka ya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dorthie Msi Timika
Terima Carol
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status