Caroline terbengong sejenak di depan pintu. Dia baru saja tiba di rumah, dan tanpa sengaja mendengar ucapan Tristan yang menyebut kata perjodohan. Namun ia tidak langsung menanyakan perihal tersebut seolah-olah ia tidak mendengar apapun.
“Eh, Carol … kamu sudah pulang, Nak?” Anita beranjak dari tempat duduknya namun tak melangkah, melainkan Caroline yang menghampiri perkumpulan kecil itu. Keadaan sedikit menghening saat ini.
Tap tap tap.
Perlahan, Carol melangkah memasuki rumahnya, langkahnya langsung tertuju ke arah ruang tamu. Tiba di dekat meja tamu, Carol menatap Ben penuh arti, Ben melirik Carol kilas kemudian segera beralih pada layar pipih yang masih menyala.
"Yang bener saja, jadi dia cewek yang akan dijododin ke gue? Ya ampun, cewek kampungan begini akan dijodohkan ke gue? Apa kata dunia?" batinnya tak terima.
“Hai, Sayang, ternyata Kamu sudah bertumbuh jadi wanita cantik,” puji Ernanda yang membuat Ben mengernyitkan wajahnya sambil menunduk. Cantik dari Hongkong. Ingin sekali Ben menyahut demikian pada ibunya.
Caroline tersenyum ramah, lalu menarik salah satu kursi santai yang ada di dekat sana, dan merebahkan diri pada kursi itu. Carol duduk berhadapan dengan Ben dan Ernanda. Alhasil, pandangan Carol dan Ben pun kembali bertemu untuk sejenak ketika Ben mengangkat wajahnya yang menunduk.
“Sayang, itu Tante Nanda, dan yang di sana Om Tristan. Sahabat Mama dan Papa,” terang Anita. "Kamu masih ingat mereka?"
“Oh, ini Tante Nanda ya?” tanggap Caroline membentuk pertanyaan.
“Loh, Kamu masih kenal ya sama Tante? Hebat sekali ingatanmu, Sayang." Ernanda memuji.
“Tentu saja, Tan. Mama sering cerita tentang Tante,” ungkap Caroline.
“Oh ….” Ernanda tersenyum senang. “Kamu ini diam-diam sering gosipin aku ya, Nit? Dasar.”
Anita tertawa kecil lalu menjawab, “tepatnya, dia sering menguping saat kita ngobrol di telepon.”
“Ah, yang bener … bilang aja Kamu sering gosipin aku,” goda Ernanda.
Tawa kecil pun terlepas bersamaan dari mulut kedua wanita paruh baya ini. Carol juga ikut tersenyum kecil, ia senang melihat mamanya bahagia seperti ini.
Beberapa detik kedepan, keadaan hening sejenak. Caroline beralih menatap Ben yang berada di samping Ernanda. Menyadari itu, Anita dan Ernanda saling tatap untuk sesaat. Setelahnya, Anita bersuara.
“Oh iya, Carol. Mama lupa mengenalkan dia sama Kamu. Itu Ben Sander, anaknya Om Tristan dan Tante Nanda.”
Carol diam saja tetap pada sikapnya yang kalem, saat Ben menoleh padanya ia mengangguk sopan ke arah Ben. Namun Ben justru bergeming tak membalas sapaannya. Tentu saja Carol menganggap Ben pria yang sombong.
Menyaksikan kejadian ini Ernanda jadi kurang nyaman. Ia merutuki sikap putranya itu. "Memalukan!"
Sedetik kemudian, ia menyenggol bahu Ben. "Apaan sih, Ma?" jengkel Ben.
"Sapa dia," bisik Ernanda gemas kemudian tersenyum kaku pada yang lain.
Ben melirik kilas Ernanda menatap nanar ibunya itu ia sangat ingin menolak permintaan Ernanda tapi tak berkuasa. Apalagi melihat kedua retina Ernanda yang begitu besar melototinya, ia pun lalu segera membalas mengangguk malas pada Carol dengan wajah tak bersahabat.
“Maaf, tadi tentang perjodohan, maksudnya apa ya?” Alih Carol. Akhirnya ia mengungkit tentang itu juga.
Suasana menghening kembali. Mereka semua agak kaget. Awalnya mereka mengira Carol tidak mendengar tentang pembahasan tersebut mengingat ia tidak melempar protes tadi. Jelas mereka agak mendapatkan kejutan ternyata Carol mendengar semuanya. Beberapa detik berselang, Tristan yang bersuara menanggapi kalimat Carol.
“Carol, karena kamu sudah mendengarnya Om langsung saja ya. Om dan Tante Nanda ke sini mau melamar Kamu untuk Ben. Apa Kamu bersedia menjadi istri Ben?” lontar Tristan to the point
Carol nampak biasa saja, seharusnya dia memang sudah bisa menebak jadi hanya bersikap biasa saja. Namun juga tidak menjawab apapun. Ia hanya menatap Ben penuh arti yang nampak sibuk dengan ponselnya seolah tak tertarik sedikitpun dengan pembahasan tersebut. Lagi-lagi Ernanda perlu melakukan sesuatu agar Ben bisa bersikap lebih sopan lagi.
Beralih dari Ben, Carol juga melirik ke arah ibu dan ayahnya bergantian.
“Sayang, mama dan papa tidak memaksamu. Kalau Kamu keberatan, Kamu boleh kok meminta waktu untuk memikirkan semua ini dulu,” ujar Anita.
“Iya, bener kata mamamu, Carol. Keputusan ada di tanganmu. Papa dan mama tidak akan memaksamu,” sambung Galih.
Carol tersenyum awkward lalu menunduk sejenak sebelum mengangkat kembali wajahnya. “Makasih, Ma, Pa. Carol ….”
Tenggorokan Carol terasa tercekat sejenak, dia kembali menatap Ben. Carol seperti tidak tahu harus menjawab apa. "Bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan cowok sama pria sombong sepeerti dia?" pikirnya. "Lagian kelihatannya dia tidak suka dijodohkan sama aku."
Rasanya Carol ingin sekali menolak perjodohan itu, tapi tak mampu mengatakannya. Ia takut ayah dan ibunya merasa kecewa dan kehilangan muka di hadapan sahabat mereka. Carol gadis yang baik, dia sangat sayang sama kedua orang tuanya. Dia tidak ingin mengecewakan kedua orang tua yang sangat dia sayangi ini.
Beberapa detik menghening, Carol sepertinya baru akan bersuara, ia telah membuka mulutnya hendak berbicara. Namun belum sempat suara keluar dari mulutnya, Ernanda sudah memotong terlebih dulu.
“Tidak perlu dijawab sekarang, Sayang. Kamu boleh memikirkan ini dulu baik-baik,” sosor Ernanda. Dia takutnya ketika Carol berbicara perempuan itu akan menolak seperti Ben menolak perjodohan ini. Apalagi setelah menyaksikan sikap Ben yang seperti ini, sungguh ia meragukan keputusan Carol jika dijawab sekarang.
“Baiklah, Tan. Carol minta waktu untuk memikirkan ini,” jawab Carol beberapa detik kemudian.
“Iya, tidak apa-apa, Sayang. Sebuah pernikahan adalah hal yang sakral. Memang harus dipikirkan dengan matang."
“Makasih, Tan.” Carol berkata sambil mengangguk sopan.
Setelahnya, obrolan ringan pun terjadi. Mereka semua terlibat di dalam obrolan ringan yang cukup hangat. Hanya Ben yang terus diam, dan sibuk dengan alat komunikasinya.
“Oh iya, sudah waktunya makan siang. Ayo kita ke meja makan,” ajak Anita usai melirik jam yang tergantung di dinding ruang tamu.
“Bener, sudah siang. Kalian pasti kelaparan, apalagi sehabis menempuh perjalanan yang cukup jauh. Pasti juga sangat melelahkan,” timpal Galih. Anita mengangguk setuju.
“Yuk, makan siang dulu. Setelah ini kalian bisa istirahat. Kebetulan hari ini masak banyak karena Caroline ulang tahun," ungkap Anita melirik ke arah putri tercintanya, Caroline tersipu malu. Ia juga merutuki ibunya karena telah membeberkan hari ulang tahunnya. Entahlah gadis polos itu merasa malu sekali.
“Oya? Jadi Caroline ulang tahun?" tanggap Ernanda antusias. Selamat ya, Sayang. Kebetulan sekali. Tante tidak membawa kado lagi.”
“Tidak apa-apa, Tan. Lagian tidak dirayakan kok. Doa saja sudah cukup. Makasih untuk ucapannya," sahut Carol tersenyum manis.
“Selamat ulang tahun, Carol.” Tristan juga mengucapkan selamat pada Caroline.
“Makasih, Om, Tante."
Tristan dan Ernanda telah mengucapkan selamat pada Caroline. Seperti biasa, Ben tidak memberikan respon apapun. Hingga Ernanda pun semakin kesal pada Ben. Ingin rasanya dia memarahi putra satu-satunya itu.
“Ben, Kamu kok diam saja?” sindir Ernanda.
“Hmm … apa sih, Ma?”
“Kamu ini … dari tadi hanya sibuk dengan handphone aja. Carol ulang tahun, Kamu nggak ngucapin selamat padanya? Cepat ucapin selamat ulang tahun pada calon istrimu,” cecar Ernanda berbisik di dekat kuping Ben.
Rasanya Ben malas sekali harus melakukan hal itu. Namun tetap tak memiliki kesempatan untuk menolak. Setidaknya dia juga tidak ingin membuat ibunya itu merasa malu di hadapan Anita da Galih.
“Selamat ulang tahun,” ucapnya kemudian dengan ekspresi datar.
Caroline tak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya. Sedangkan Ernanda semakin kesal dengan sikap yang ditunjukkan oleh Ben. Menyadari suasana menjadi sedikit kurang nyaman, Galih pun mengambil tindakan.
“Ayo kita makan sekarang!” ajak Galih mengalihkan pembicaraan.
“Iya, yuk!” sambung Anita.
Mereka semua berlalu dari ruang tamu menuju ruang makan yang jaraknya cukup dekat. Bahasan yang tadi, tak lagi dibahas.
***
Usai makan siang, Ernanda dan Tristan memilih beristirahat sesuai dengan saran kedua sahabat mereka. Sementara Ben menolak untuk beristirahat.
“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben.
“Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya.
Bersambung ….
“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben “Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya. Ben melirik Caroline sekilas, lalu bersuara, “tidak perlu, Om. Ben bisa sendiri kok.” “Jangan, nanti Kamu tersesat. Biar Carol saja yang menemanimu, Nak Ben,” sambung Anita. “Iya, bener. Kalian berdua juga bisa saling mengenal lebih dekat. Pergilah sama Carol, Ben.” Ernanda ikut bersuara. Ben pun terdiam sekarang. Apalagi Carol juga sejak tadi hanya diam saja. Ben tak memiliki alasan untuk terus melakukan penolakan. “Ben keluar dulu ya, Ma, Pa.” Ia memilih pamit segera, lalu berbalik secepat mungkin tanpa menjawab setuju atau tidak akan saran para orang tua itu. Sementara pastinya Caroline masih terdiam di tempat, dia tidak tak tau harus melakukan apa sebab tak ada jawaban dari pria itu. Ernanda segera memberi kode padanya supaya gadis polos itu mengejar Ben yang
Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama. Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka. "Ma, Pa ...," sapa Carol. Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan. Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline. Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?" "B
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan. “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Panggilan tersebut tak lain adalah dari Gaby. Ben masih marah pada kekasihnya itu, ia mengabaikan panggilan tersebut. Dia lebih memilih kembali menatap layar komputer di hadapannya. Kali ini Ben tak lagi melanjutkan pekerjaannya, sudah terlalu lama dirinya menatap layar, kedua matanya bahkan terasa perih. Ben sedang menyimpan data yang ia kerjakan, juga menyimpan beberapa file hasil tulisannya pada masing-masing folder tanpa lupa memberikan nama. Usai itu, Ben mematikan perangkat perangnya satu per satu. Dari LCD, berlanjut pada CPU. Drrrt … drrrt. Baru saja Ben menekan tombol on off pada CPU, benda persegi miliknya kembali bergetar. Tentu saja peneleponnya masih sama dengan yang tadi, yakni Gaby. Huuuh! “Mau apa sih dia?" Ben menatap layar yang menyala cukup lama kali ini. Dia sebenarnya sedikit merindukan Gaby, hanya saja dia juga sangat sakit hati pada Gaby. Tit! Ben mereject panggilan dari Gaby.
Sekitar setengah jam menempuh perjalanan dari bar menuju tempat mereka membooking kamar, akhirnya Ben dan Sandi beserta ketiga wanita malam yang mereka bawa serta tiba di sebuah hotel di kota Jakarta. Dua wanita yang merupakan pasangan satu malam Ben merengkuh manja pada sisi kiri dan kanan Ben. Sedangkan satu wanita lainnya adalah milik Sandi. Mereka berlima kemudian menuju ke arah kamar mereka masing-masing setelah selesai dari meja resepsionis. Tiba di depan kamar nomor 126, Ben dan kedua wanitanya menghentikan langkah mereka. Ben mengangkat salah satu tangannya, menempelkan tangannya itu pada gagang pintu, lalu menekannya ke bawah untuk membukakan pintu baginya, juga bagi kedua wanita di sisi kiri-kanannya itu. Tap tap tap! Langkah Ben Sander masih cukup mantap, dia belum begitu dipengaruhi oleh alkohol. Ben memang cukup kuat minum alkohol, hingga ia tak mudah tumbang. Bug! Ben mendorong salah satu wanitanya hingga terjatuh di temp
Jegrek! Langkah Ben tertuju pada kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ben ingin membersihkan dirinya lebih dulu sebelum melanjutkan tidurnya lagi. Badannya itu terlalu lengket, bau alkohol lagi. Ben tidak mungkin membiarkan tempat tidur pribadinya terkontaminasi oleh semua itu. Walau dia agak berandalan, tapi dia sangatlah bersih. Desiran air terdengar jelas dari kamar mandi, Ben melakukan kegiatannya itu cukup cepat. Sekitar 5 menit kemudian Ben sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang menutupi bagian bawah dari tubuhnya. Bug! Usai mengganti pakaian, Ben menjatuhkan dirinya di atas tempat tidurnya. Huuuh! "Nyamannya," gumam Ben. Zzttt …. Dalam sekejap saja, Ben telah terlelap kembali. Hanya membutuhkan waktu selama 3 menit, Ben telah memasuki dunia mimpi. Gaby hadir di dalam mimpinya. Ben yang baru saja keluar dari kamar mandi tersentak saat melihat Gaby tiba-tiba berada di kamarnya. "Hei, baga
"Heh, aku peringatkan ya sama Kamu. Bukan berarti setelah Kamu menerima perjodohan itu Kamu bisa berbuat seenaknya atas hidupku. Lagian Kau juga sudah tau kan, aku sudah punya pacar dan aku nggak akan pernah mau dijodohkan denganmu," kecam Ben. Pada saat bersamaan ketika ia mengucapkan kalimat ancaman tersebut, Ernanda hadir di hadapan mereka. "Apa maksudmu berkata sepeerti itu, Ben? Bukankah Kamu sudah berjanji sama mama akan menerima dinikahkan sama Carol?" "Mama ...," sebut Ben kaget bukan main. "Bu-bukan begitu, Ma. Tapi ...." "Tapi apa, Ben? Kamu mau membuat mama jatuh sakit lagi, begitukah?" Ben menggeleng-geleng tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Selalu cara ini yang digunakan Ernanda untuk menaklukan putranya itu dan sialnya selalu ampuh. "Mama kecewa sama Kamu, Ben. Awas saja kalau Kamu berani macam-macam. Pokoknya Kamu tidak boleh lari dari semua ini. Kamu dan Carol akan segera menikah minggu depan," tekan Ernand