“Tidak, Ma. Maafin Ben, Ben harus pergi sekarang!” Ben bergegas melangkah menuju ke arah pintu keluar.
“BE ….” Tristan baru akan membuka suara menanggapi sikap Ben yang sangat buruk itu.
“Sudahlah, Pa. Jangan marah-marah,” potong Ernanda cepat.
“Kamu masih mau membela dia, hah? Lihat saja kelakuan anakmu itu. Betapa tidak sopannya dia,” cerocos Tristan.
“Bukan begitu, Pa. Di sini ada Caroline. Papa mau membuat Caroline ketakutan dengan sikap kasar Papa?”
Seakan baru tersadar akan kehadiran Caroline di sana. Sejak tadi, Trist
“Ben mau, setelah pernikahan nanti, kami berdua tinggal di apartemen!” ungkap Ben.“Apa? Apartemen? Kenapa tidak di sini saja? Apa rumah ini kurang nyaman? Apa perlu mama minta papa beli rumah yang lebih bagus?”“Tidak perlu, Ma. Setelah menikah, Ben ingin hidup mandiri. Tinggal berdua bersama istri Ben saja.”“Tapi ….”“Tidak masalah kok, Ma. Tinggal di apartemen juga bagus,” sambung Caroline.“Kamu serius, Sayang?”“Iya, Ma. Tidak apa-apa. Lagi
Selama 2 hari setelah hari pernikahan itu, Ben tidak pulang ke rumah, ia menemani Gaby di rumah sakit.Drrrt ….Ben tampak menatap layer ponselnya.“Siapa, Sayang?” tanya Gaby dengan suara manja.“Mama,”Gaby yang sedang meringkuk manja di pelukan Ben sontak melepaskan tangannya dari Ben.“Aku jawab dulu, ya.”“Tapi ….”Gaby berusaha menahan Ben, ia meraih tangan pria itu. Ben tersenyum kecil padanya.“Hanya sebentar kok,” jawabnya.Ben lalu menurunkan tangan Gaby dengan perlahan. Gaby tak terlihat merelakan kekasihnya ini menjawab telepon, ia menatap Ben yang menjauh darinya dengan tatapan tidak rela.“Halo, Ma ….”“Ben ….”Ben sontak menjauhkan handphone dari kupingnya karena suara Ernanda sangat keras, memekikkan telinga.“Akhirnya Kamu angkat juga telepon dari mama. Kamu keterlaluan tau nggak sih? Kemana aja Kamu selama 2 hari ini? Mama nelepon nomormu juga nggak aktif,”“Maafin Ben,
Ernanda menatap Ben dengan tatapan yang tidak bisa diartikan seraya memangku tangan.“Masih ingat jalan pulang ya, Kamu?”“Maafin Ben, Ma!” Ben menundukkan wajah sejenak. “Ben lelah banget, boleh Ben masuk?”“Lihat aja, wajahmu sampe pucat begini. Kamu pasti kurang tidur, kurang makan,” simpul Ernanda.“Namanya juga jagain orang di rumah sakit, Ma.”“Kamu ini ya … seharusnya yang Kamu jagain itu istrimu. Ini malah jagain perempuan lain.”“Dia ‘kan nggak sakit, Ma … buat apa dijagain?”“Alesan aja Kamu paling pinter.”
"I-iya, Ma. Carol akan ikut apapun keputusan Ben," sahut Carol agak gugup."Ben, apa tidak bisa tinggal sebentar lagi?""Nggak, Ma. Kami harus pindah sekarang,"“Kalian sungguh akan pindah sekarang? Kenapa tidak besok saja? Ini ‘kan udah malam,” cegah Ernanda.Saat itu waktu menunjukkan pukul 19.00. Ben ada kegiatan sepanjang hari ini, baru pada malam harinya dia menyempatkan diri ngajakin Carol pindah.“Nggak bisa, Ma. Kami harus pindah sekarang juga.”“Tapi kenapa, Ben? Kenapa terburu-buru begini?"“Terburu-buru gimana, Ma? Bukankah Ben sudah menunggu sampai 1 minggu seperti permintaan Mama?""Tapi ...." Ernanda belum rela rasanya melepaskan kepergian mereka. Sesungguhnya memang tidak akan pernah rela. "Atau seenggaknya, tunggu papamu pulang dulu, sekalian pamit padanya,” saran Ernanda mencari-cari alasan.“Nggak bisa, Ma. Mau nunggu sampai jam b
Ben sedang membuka bagasi mobil saat itu. Ia menurunkan barang bawaan mereka dari dalam mobil, tepatnya hanya koper dan barang-barang Carol saja yang diturunkan olehnya.Carol bergegas menghampiri Ben di belakang mobil, tempat bagasi berada.Usai menurunkan semua barang-barang milik Carol, Ben menutup kembali pintu bagasi. Carol mengerutkan dahi heran."Loh … kok hanya barang-barangku aja? Punya Kamu nggak diturunin sekalian?" Selidik Carol."Berisik. Itu bukan urusanmu."Ben lalu melangkah pergi menuju bangunan yang disebutnya sebagai apartemen. Sedangkan Carol masih terdiam di tempat."Heh, Cewek Matre … tunggu apalagi? Waktuku nggak banyak buat ngeladenin Kamu. At
Hari-hari berlalu dengan cepat, Carol mulai bersahabat dengan kondisinya saat ini. Bersahabat dengan hunian barunya, ketakutannya, dan beruntung semua tidak seburuk yang dipikirkannya.Bangunan tua itu memang banyak dihuni oleh para berandalan, akan tetapi mereka merasa segan terhadap Carol.Sebab Carol datang bersama Ben waktu itu. Para berandal itu mengenal Ben. Mereka berteman dengan Ben, otomatis mereka juga akan merasa segan terhadap Carol.Selama tinggal disana, Carol tidak pernah mendapatkan masalah apapun.Suatu malam, tepatnya hari Minggu siang, Carol mengomel kesal."Brengsek!! Lain kali kalau mereka kemari lagi, aku akan masukin sianida di dalam minum mereka! Aaargh!"
Ernanda menatap bangunan tinggi di hadapan mereka. Bangunan itu cukup mewah, seenggaknya dia bisa tenang Carol tinggal di tempat sebaik ini. Carol menunjukkan apartemen milik Ben yang sebenarnya pada Ernanda.“Carol turun dulu ya, Ma!” ucap Carol seraya membuka sabuk mengamannya.“Apa perlu mama antar sampai ke dalam?”“Nggak usah, Ma …,” jawab Carol cepat. “Ini udah malem, lebih baik Mama cepet pulang, nanti papa semakin khawatir.” Kebetulan papanya Ben sempat menghubungi Ernanda tadi.“Baiklah, Kamu hati-hati, Sayang!”“Iya, Ma!” tanggap Carol sambil mengangguk dan tersenyum kecil.Carol pun akh
Keesokan harinya, ternyata Ernanda tidak jadi datang mengunjungi Ben karena harus menemani suaminya melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Eropa. Namun, Ernanda meninggalkan pesan seabrek pada Ben agar lebih memperhatikan Carol.“Jangan biarkan Carol kerja. Kenapa dia harus kerja? Bukankah duit yang mama dan papa kirim untuk setiap bulan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian?”“Kalau butuh duit lebih pun seharusnya Kamu yang kerja, bukan istrimu. Kamu kepala keluarga, Ben.”“Pokoknya mama nggak mau tau, kalau Carol masih kerja disana, mama akan meminta kalian kembali kerumah!”Pagi-pagi sekali Ben harus mendengar ocehan mamanya melalui sambungan telepon.“Males banget. Bel