*Happy Reading*"Lepas!" Nissa menghentak cekalan Abyan sekali lagi dengan keras. Kemudian gegas melangkah mundur sambil menyembunyikan tangan di belakang tubuh, saat Abyan hendak meraih lengannya lagi. Sudah di bilang, Nissa alergi cowok murah."Maumu apa sebenarnya Abyan? Kita udah selesai! Kenapa masih menggangguku?" tandas Nissa kesal sekali. Bener-bener ya si Abyan ini. Gak jelas banget jadi cowok. Dulu waktu masih jadi status tunangan, dia mengabaikan Nissa terus. Sekarang udah jadi mantan malah sok ngurusin. Nggak bisa move on, kah?"Jangan sembarangan menuduh kamu, Nissa. Mana ada aku mengganggumu." Abyan membantah tak terima. "Lantas ini apa?" tukas Nissa geram."Aku hanya ingin menyapa saja awalnya. Tapi ternyata, mulutmu itu semakin kurang ajar."Menyapa, katanya? Ugh ... sungguh Nissa tak butuh."Mulutku yang kurang ajar, atau mulutmu? Coba ingat-ingat lagi, bagaimana cara menyapa kamu tadi?" Nissa menyeringai tipis. "Aku menyapamu seperti biasa. Kamu aja langsung sen
*Happy Reading*Sekitar dua puluh menit kemudian, Nissa pun sampai di rumah sakit yang di tuju. Sebenarnya bisa lebih cepat kalau saja tidak kena macet, mengingat tempat itu sebenarnya lumayan dekat. Sayangnya saat ini memasuki jam pulang kantor, jadi macetnya benar-benar menjengkelkan. Mengikuti info dari perawat yang berjaga, Nissa dengan tergesa menuju ruang UGD. Saat sampai, Nissa melihat Raid tengah duduk terpekur di kursi tunggu, dengan kepala tertunduk dalam. "Bang?" panggil Nissa seraya mendekat. Raid pun mengangkat wajahnya mendengar panggilan tersebut.Wajah bule itu lumayan sendu. Ada bercak darah yang mulai mengering pada beberapa bagian wajahnya. Mungkin masih banyak lagi yang akan terlihat, jika saja Raid tak mengenakan kemeja hitam saat ini. Sebenarnya apa yang terjadi. "Nissa, kamu ... kenapa di sini?"Pertanyaan macam apa itu? Jelas Nissa ada di sini karena khawatir pada Naira. Kenapa bule ini malah menatapnya seperti itu? Setidak ingin itukah melibatkan Nissa den
*Happy Reading*Seandainya Nissa tidak pergi. Seandainya Nissa tetap di sana saat menerima panggilan. Seandainya Nissa mematuhi titah Raid benar-benar. Dan banyak lagi seandainya-seandainya lain yang terus berputar di otak Nissa yang kini di liputi rasa bersalah yang teramat dalam. Sungguh, Nissa menyesal. Dia tidak menyangka jika aksi kecilnya ternyata berdampak besar pada kondisi Naira. Tuhan ... tolong selamatkan Naira. Jangan sampai terjadi sesuatu pada sahabatnya yang satu itu. Nissa mohon ... tolong Tuhan, tolong kabulkan doa Nissa yang satu ini. "Niss?""Nav ...."Nissa langsung menghambur memeluk Navisha yang baru saja tiba di sana. Hatinya sungguh kalut saat ini. Bingung harus bagaimana dan melakukan apa. Yang bisa Nissa lakukan hanya menangis, menangis dan menangis dalam pelukan Navisha.Bahkan saat akhirnya ibu dari Angel itu meminta penjelasan. Nissa cuma bisa menceritakan semuanya dengan tangis yang tak kunjung reda. "Nav, gue salah. Gue bodoh. Gue ceroboh. Huhuhu .
*Happy Reading*Kalau bukan karena bujukan Navisha. Mungkin Nissa sudah pergi dari sana saat itu juga. Tidak, bahkan dari hidup Naira seperti usul Raid. Kemana saja terserah, penting nggak akan muncul lagi di hadapan Naira. Akan tetapi, Navisha menahan. Mencoba menenangkan dan terus membujuk agar Nissa tidak mengambil keputusan secara impulsif karena itu tidak baik. "Udahlah Nis, abaikan aja ucapan Raid. Saat ini kondisi Naira lebih penting dari apa pun. Lagian, ya? Raid itu kan cuma orang baru dalam hidup kalian. Persahabatan elo sama Naira lebih lama terjalin sebelum kehadiran dia. Masa lo malah ngalah sama orang baru."Jika dipikir lagi. Ucapan Navisha benar juga. Persahabatannya dengan Naira sudah lama terjalin. Sebelum Naira pergi ke london dan bertemu Raid. Bahkan dibanding persahabatan dengan Navisha pun, Nissa sudah lebih dulu sahabatan sama Naira. Tetapi kan ...."Lebih dari itu. Coba lo pikirin jika di posisi Naira. Apa dia nggak akan sedih kalau tahu lo begini? Sahabat ya
*Happy Reading*"Seingatku kamu hanya ijin untuk membeli makanan untuk berbuka."Degh!Nissa seketika terkesiap kaget saat mendengar suara sedikit serak nan rendah dari balik tubuhnya, ketika baru saja menuruni tangga mushola yang ada di rumah sakit. Tubuhnya mendadak kaku. Menyadari suara siapa yang barusan menegurnya. Dengan takut-takut Nissa pun memutar kepalanya ke belakang. Lalu menelan salivanya kelat tanpa sadar saat mengetahui jika dugaannya benar. Itu benar suara Raid, yang kini keberadaannya ada dan bersandar angkuh di balik tiang mushola. Menatap dingin ke arah Nissa dengan kilatan yang kembali tajam. Sudah di bilang, kan, Raid hanya akan dalam mode baik jika bersama Naira seorang. "A-abang ..." Nissa memanggil takut, lalu kembali menunduk karena tak kuasa menerima tatapan dingin Raid. "Ma-maaf, Bang." Meski begitu, Nissa tetap mengucapkan maaf. Dia tahu maksud ucapan Raid barusan. Ini semua pasti karena ulahnya yang tak segera kembali ke ruang rawat Naira dan malah pe
*Happy Reading*Nissa menjalani hari-hari selanjutnya seperti orang linglung. Ia sudah tak bisa fokus lagi pada apa pun dalam hidupnya. Bayang dan ancaman Raid kala itu tak bisa Nissa lupakan sama sekali. Membuat hidup Nissa menjadi dilanda ketakutan setiap saat. Meski begitu, di depan Naira, Nissa berusaha bersikap senormal mungkin. Bercanda dan tertawa seperti biasanya. Ia berharap Naira tidak sampai tahu masalahnya dengan Raid. Bagaimana pun, Nissa tak ingin merusak hubungan dua sejoli itu. Nanti Raid semakin murka jika sampai Naira malah menjauhinya akibat aduan Nissa. Tidak, Nissa harus bisa menyembunyikan masalahnya serapat mungkin dari Naira. Hal itu berlaku juga untuk Navisha. Pokoknya, sebisa mungkin Nissa ingin memendam lukanya seorang diri."Nis, lo yakin nggak papa? Kok gue perhatiin lo beberapa hari ini beda?" Nissa mendesah berat, saat Navisha tiba-tiba bertanya demikian di suatu sore. Memang, ya, serapat dan serapi apa pun menyimpan bangkai. Suatu hari pasti akan ter
*Happy Reading*"Raid, kamu apa kan lagi Nissa?" tuduh Naira malam itu, saat Raid mengunjunginya di cafe. Nissa langsung buru-buru mencari kesibukan di lantai bawah ketika melihat kehadiran Raid. Dan tentu saja, itu membuat Naira semakin curiga pada bule yang terus membayanginya ini."Apa maksudmu? Aku bahkan baru datang," sahut Raid tanpa dosa. Naira menatap Raid lekat. Seolah mencari suatu kebohongan di netra sewarna zamrud itu. Sayangnya, meski sudah mengenal pria itu hampir tiga tahun, ternyata tak membuat Naira bisa dengan mudah membaca isi pikiran si bule lewat sorot mata. Raid terlalu pandai mengatur ekspresinya dan menutupi segala hal. Naira hanya bisa tipis-tipis saja mengerti bagaimana karakter seorang Raid. Meski begitu, Naira yakin Raid sudah melakukan sesuatu pada sahabatnya, Nissa. Entah itu apa?"Nissa memaksa pergi menangani cabang di Bandung yang hampir collapse. Padahal setahuku, dia paling malas kalau harus pergi-pergi jauh, apalagi ke tempat yang asing. Di mana,
*Happy Reading*"Terbaik untuk siapa?" Naira berbalik dan menatap Raid lekat-lekat. "Tentu saja untuk kita semua."Naira mendesah pelan dan menggelengkan kepala. Tak setuju dengan pernyataan Raid barusan. "Kurasa ini hanya terbaik untukmu seorang.""Nai--""Apa baiknya dari perpisahan dua sahabat yang sebenarnya tak punya masalah apa pun? Tidak ada, Raid. Tidak ada," sela Naira cepat. Raid memilih diam saja kali ini. "Sekalipun aku setuju melepaskan Nissa kali ini. Itu semata-mata karena aku ingin melihat, sejauh apa kamu bisa membohongi dirimu sendiri, Raid."Setelah itu Naira memutuskan pergi meninggalkan Raid seorang diri. Dia terlalu lelah berada di tengah-tengah dua manusia yang harusnya bisa bersatu, tapi terlalu gengsi untuk jujur. Ah, sudahlah. Bukankan kata Bang Rhoma 'Kalau sudah tiada, baru terasa bahwa kehadirannya sungguh berarti'. Nah, mengutip lagu lawas itu, Naira harap Raid akan sadar perasaannya sendiri terhadap Nissa. Sementara itu, sepeninggal Naira. Raid menghe