Bab 11A Main belakang
"Fan, aku masih mencintaimu, sungguh."Syila dikejutkan oleh suara lembut Sania yang menyebut nama adik iparnya."Refan? Mbak Sania? Benarkah mereka saling mencintai? Lalu Mas Zein? Ah, kenapa jadi rumit begini." Syila mengurungkan niatnya mencari krim jerawat B erl cosmetics. Gegas ia kembali ke ruang kerjanya sebelum kedua insan itu melihat dirinya."Dari toilet kok lama amat, kamu nggak ketiduran, kan?" Zein berkacak pinggang di ambang pintu. Sorot matanya tajam mengarah ke Syila yang berdiri gugup. Syila merasa apa yang dilihat di atap harus menjadi rahasia yang tidak boleh diketahui Zein."Kasian Mas Zein, Sania ternyata berbohong di belakangnya," guman Syila."Kamu barusan melihat apa, Syila? Kok pucat gitu?" Pertanyaan Zein seketika membuat Syila sadar bahwa wajahnya masih belum menggunakan make up."Astaga, aku lupa." Sontak saja Syila menunduk, lalu mendorang tubuh Zein untukBab 11B Main belakang "Sepertinya ada yang pengin juga seperti kita tadi, Zein," ucap Sania memprovokasi Zein maupun Syila. Namun, Syila tak acuh dengan sikap lembut Sania. Dia mulai siaga manatahu Sania wanita bermuka dua. Apa jadinya kalau Zein tahu Sania main belakang dengan saudara kembarnya. Zein pun tidak menanggapi ucapan Sania. Memilih beranjak dari kursi kebesarannya, ia hanya mengusap bibirnya yang masih berbekas akibat ulah Sania. "Ayo, berangkat!" ucapnya dingin dengan sorot mata tajam mengarah ke Syila. Mereka bertiga masuk lift turun ke lobby. Beberapa karyawan berlalu lalang, karena jam istirahat siang telah tiba. Sampai di lobby ketiganya bertemu Refan yang sedang berjalan sendirian dari arah luar. "Ayo ikut sekalian, Fan!" ajak Zein. Syila memperhatikan Refan dan Sania saling pandang penuh arti. "Nggak, Bang. Gue masih ada kerjaan. Abang nggak lupa kan, baru juga kemarin ngasih tugas ke gue. Meny
Bab 12A Rayuan 18+ Menjelang malam, Syila sudah mengguyur tubuhnya dengan sabun aroma terapi. Ia tidak mau kalah dengan Sania yang memiliki wajah cantik, pun body goal yang tidak diragukan. Bahkan kondisi hamil justru menambah aura kecantikannya terlihat dominan. Wanita itu memang pandai bersolek, berbeda dengan Syila yang asal-asalan, dapat aji mumpung dari teman. Siapa lagi kalau bukan Mery. Piyama yang disarankan sahabatnya sudah melekat di badan. Atasan berlengan pendek, serta bawahan berupa celana pants. Sebuah ketukan di pintu membuat gugup seketika menderanya. Syila hanya membuka sedikit pintu sambil mengintip sosok yang mengetuk. Tidak ada orang, kepalanya melongok keluar. "Eh, Umi. Ada apa? Maaf, Mi. Syila habis mandi." Syila belum terbiasa menanggalkan jilbabnya, karena ada sang ipar yang suka seenak jidat muncul di depannya. "Nggak papa sayang. Kamu belum makan malam, kan? Ayo makan dulu!" Hira masih setia berdiri di
Bab 12B Rayuan 18+ "Ini yang kamu mau, kan? Kamu sudah berhasil merayuku dengan pakaian seperti ini. Di kantor tadi kamu menginginkan apa yang aku lakukan dengan Sania, bukan?" Suara bariton itu mampu menggetarkan hati Syila. Ia sedikit lega, artinya pria yang bersamanya sekarang memang Zein, karena Refan tidak melihat kelakuan Sania dengan suaminya saat di kantor. Sentuhan dingin nan lembut terasa di keningnya. Sesaat mata Syila terpejam kembali mengerjap pelan. Kegamangan melanda hati saat ini. Ingin menolak, tetapi ia takut dilaknat malaikat sampai Subuh. "Fan." Satu kata yang meluncur tak terduga dari mulut Syila membuat jantungnya hampir copot. Bisa-bisanya ia salah menyebut nama adik ipar yang hobi membuatnya kesal. Namun, tidak terlihat kemarahan di wajah suaminya. "Maaf, Mas. Aku gugup," kilahnya. "Jangan menyebut nama laki-laki lain saat bersamaku, Syila!" Reflek tangan kanan Syila menutup mulutnya.
Bab 13 Prasangka"Mbak Sania?!" Syila segera menutup pintunya. Ia takut suaminya melihat hal yang tidak pantas dilihat."Ada apa?! Syila terpekik karena sang suami mengejutkannya dari belakang."Itu Mas, nggak ada apa-apa." Syila mencoba menutupi kelakuan Sania di depan Zein. Ia tidak mau disebut tukang fitnah karena tidak ada bukti yang jelas."Apa yang kamu lihat?" "Mas, wajahmu?" Syila mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Jangan dipegang, biar aku obati nanti setelah dari masjid." Syila merasa lega suaminya tidak menanyai lebih lanjut. Apa jadinya kalau pria itu mengetahui bahwa wanita yang dicintai keluar dari kamar adiknya.Selesai salat, Syila turun menuju dapur. Ia membantu Hira yang sudah lebih dulu berada di sana."Mau masak apa, Mi? Syila bantu, ya."Hira mengulas senyum, tangannya memegang sayuran untuk dicuci di wastafel. Wanita berusia lewat setengah abad itu menyodorkan keranjang berisi sayuran daun bawang, wortel dan sawi hijau pada Syila."Kita masak nasi goreng s
"Wajahmu kenapa, Zein?" tanya Ilyas dengan raut heran. Ada plester yang menempel di pelipis putranya.Zein tersenyum tipis sambil melempar tatapan ke arah Syila yang tertunduk malu."Nggak papa, Bi. Hanya kecelakaan sedikit semalam," ungkapnya dengan irit senyum seperti biasa. Ilyas dan Hira yang tanggap pun hanya terkekeh. Apalagi tatapan mereka tak lepas dari Syila yang salah tingkah."Sepertinya kita mau tambah cucu lagi, Bi," canda Hira kepada suaminya. Ilyas pun menanggapi dengan tak kalah senangnya. Sementara itu, Syila jangan ditanya, wajahnya sudah seperti buah cherry matang. Memilih menunduk, Syila tidak berani menatap wajah suaminya."Wajah Mas Zein sudah kembali ke semula. Berbeda dengan semalam, hufh," guman Syila.Sania yang mendengar canda tawa mertuanya, hanya bisa tersenyum masam. Apalagi kalau melihat tatapan Zein yang sedari tadi mengarah ke Syila membuatnya tersaingi."Sania, bagaimana tidurmu semalam, apa lebih nyenyak?" seru Hira. Ia menyapa menantunya yang terliha
Bab 14A Kebablasan 18+"Refan!""Naik, buruan!" Baru mau menanyakan alasan munculnya sang adik ipar seperti jailangkung, Syila terkejut bukan main."Fan. Wajahmu?" Reflek tangan Syila mau menyentuh pelipis Refan yang tertempel sebuah plester. Wajah Refan tiba-tiba berubah tegang."Ini kenapa?" tunjuk Syila seraya menatap Refan lekat."Oh, tadi pagi kepleset di kamar mandi," ucapnya dengan wajah sudah berubah menjadi santai."Kok bisa sama dengan Mas Zein?" Refan terkesiap."Bang Zein kenapa? Hmm, itu sininya juga sakit," ucap Syila ragu sambil menunjuk pelipis. Ia khawatir Refan mencecarnya. Sungguh memalukan jika adik iparnya bertanya dan ia dengan sendirinya curhat tentang tadi malam dia sekamar dengan suaminya."Ya pokoknya kalian sama-sama sakit di wajah." Syila tersipu malu. Refan hanya mendecis."Bang Zein main kasar ya semalam?" Refan bertanya to the point membuat Syila memalingkan wajah karena pasti sudah memerah."Hmm?" "Sudah, ayo naik! Ada kerjaan penting di kantor. Nanti
Bab 14B Kebablasan 18+"Maksudnya?" Syila mendengarkan penjelasan yang lebih tepatnya seperti curhatan dari Refan. Mereka bercerita sambil menanti lift mencapai lantai 20."Sejak kecil umi lebih sayang sama bang Zein. Apa-apa gue disuruh ngalah. Mainan, makanan, atau barang lainnya. Bahkan saat ingin jalan-jalan kemana yang ditanya pasti abang. Baru kalau abang tanya gue, umi mau mendengarkan gue. Dulu waktu SD, Bang Zein sering masuk RS. Alat-alat kesehatan menempel di badannya. Gue miris melihatnya. Meski umi sama abi tidak pernah mengetahui kalau gue sebenarnya mengikuti mereka karena diantar Pak Alex."Syila melihat ada kristal bening di sudut mata Refan. Ia merasa terharu, Refan memiliki hati lembut dibalik sifat playboy dan slengekan."Gue selalu merasa sesak di dada begitu menghimpit setiap melihat abang kesakitan saat ditempel benda-benda di sekujur tubuhnya, entah apa namanya alat itu. Gue selalu tanya apa abang kesakitan, jawabnya tidak. Tapi gue tahu dia pasti berbohong. Aba
Bab 15A Curiga "Sini aku bantu!" Lidah Syila mendadak kelu. Sapuan lembut di bibirnya, membuat jantungnya berdesir. "Sudah, Fan!" tegur Syila meminta Refan berhenti memoleskan lipcream. Namun, logika pria itu seolah tidak berjalan. Sepersekian detik, Syila terbelalak. Bukan brush lip cream yang terasa di bibir. "Ini sudah gila. Aku yang gila atau kami sama-sama tidak waras." "Refan," lirih Syila. Wajahnya kaku, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ia menikmati juga. Bahkan Syila membalasnya membuat Refan tersenyum penuh arti. Setelah dirasa keduanya membutuhkan pasokan oksigen, Refan melepas pagutan.Ia pergi begitu saja menuju ke meja Zein. Syila terpaku di tempat duduknya. Otaknya belum sepenuhnya sadar. Kejadian barusan membuat memorinya memutar ulang kejadian semalam. "Kenapa gaya ciuman mereka sama. Apa saudara kembar memang seperti itu?" Tangan kanan Syila mengusap bibir. "Astaga, aku benar-benar sudah g