Bab 17A Kelewat Batas 18+
"Lu mau kasih imbalan apa ke gue?" Dengan berkacak pinggang, Refan sedikit merendahkan badannya hingga wajahnya tepat di depan wajah Syila."Imbalan? Aku pasti sangat berterima kasih padamu, Fan.""Hanya ucapan terima kasih?" Lagi, Refan mendesak Syila dengan memajukan wajahnya."Lalu apa maumu?" ucap Syila terbata."Gue mau kita ulangi yang tadi siang."Refan sudah mengedikkan alisnya menggoda Syila. Ia berharap wanita di depannya mundur dan kembali ke kamarnya. Melihat Syila yang datang dengan piyama kimono dan jilbab instan menutup sebatas leher membuat jantung Refan berdebar kencang. Wanita di depannya ini mampu membangunkan singa yang sedang tidur."Fan! Aku kakak iparmu, istri abangmu. Jangan kelewat batas." Syila menaikkan ucapannya. Ia berharap Refan memahami permintaannya."Istri yang diabaikan," ledek Refan membuat Syila semakin muntab."Kamu mau membantukuBab 17B Kelewat Batas 18+ "Fan!" Syila mengoyangkan lebih keras tubuh Refan agar bangun dari tidurnya. "Apa sih? Gue masih ngantuk. Lu sih bikin badan gue capek." "Hah. Apa benar kita melakukannya semalam?" Penyesalan selalu datang terlambat. Semalam Syila dikuasai amarah akibat ulah suaminya melenyapkan rasa kenikmatan yang hampir di ubun-ubun. Ia justru tergantikan oleh kenyamanan yang diberikan Refan hingga tertidur pulas dan bangun masih berada di kamar ini. "Lu nggak amnesia, kan? Lu juga menikmatinya," terang Refan seraya bangun dan duduk di sebelah Syila yang masih menutupi tubuhnya dengan selimut. "Ini benar-benar gila, Fan. Tidak mungkin. Aku sudah menghianati Mas Zein." Syila dilanda kekalutan. Alih-alih mencari bukti untuk menjelaskan suaminya. Ia justru terlena oleh perlakuan manis Refan hingga berujung melakukan hal gila. Syila amat menyesal. Kekhawatirannya hidup seatap dengan ipar terjawab sudah. Ia pun terg
Bab 18A Gugup "Sejauh mana mereka menyusup?" Zein balik bertanya. "Sampai ke data penting perusahaan, Bos." "Apa?!" Terlihat wajah gusar Zein setelah menerima panggilan. "Ada apa, Bang?" Refan menelisik raut wajah abangnya. Tak lama kemudian, Zein menyerahkan kembali nampannya ke tangan adiknya. "Nih, kamu aja yang anter. Abang ada urusan mendadak ke kantor. Penyusup mulai beraksi." "Apa?!" Refan mendadak rautnya tegang. Perusahaan ini turun temurun dari keluarga abinya. Menjadi besar seperti sekarang karena perjuangan abinya. Sekarang perusahaan itu mampu disusupi pihak yang mau berniat jahat. "Apa saja kerjaan intel yang abang rekrut?" protes Refan. Namun abangnya abai. Fokusnya hanya ingin sampai di kantor secepatnya. "Urus Syila! Setelah beres, segera ke kantor. Kamu paham?!" "Ya, Bang." Refan menurut saja. Apapun yang dikatakan abangnya, ia tahu itu yang terbaik untuk keluargan
Bab 18B Gugup Sepanjang hari, Syila merasa tubuhnya lemas. Ia hanya berbaring di kamar. Ingin keluar mencari makan di dapur pun tidak ada tenaga. Seharusnya, pagi ini ia membantu Hira di dapur, tetapi sendi-sendinya minta diistirahatkan sejenak "Syila, umi boleh masuk?" Terdengar seruan Hira sambil mengetuk pintu. Hira masuk setelah Syila menyilakannya. "Ada apa, Mi?" "Kata Refan kamu nggak enak badan? Ayo sarapannya dimakan dulu! Biar ada tenaga dan kamu segera sembuh." "Iya, Mi. Ini Syila mau sarapan." Kedatangan Hira ke kamar membuat Syila tidak enak hati menolak permintaan mertuanya. "Apa kamu sakit gara-gara Zein?" Jantung Syila berdegup kencang daat nama Zein yang disebut. Syila mencoba tersenyum, meski dalam hati ia menahan kesal teramat sangat akibat ulah Refan. "Berarti umi sudah mau nambah cucu, nih." Penyesalannya bertambah saat mertuanya sangat mengharapkan dirinya bisa m
Bab 19A Dilema"Kamu yakin?" Merry menegakkan kepalanya. Pandangannya ke arah Zein. Keduanya saling bersitatap membuat jantung Merry berdebar kencang. "Maaf, Pak. Saya...." Belum selesai Merry mengucapkan, kalimatnya sudah dipotong. "Ya, saya tahu kamu tidak mungkin menghianati perusahaan, bukan?" "Ya, Pak." Merry menunduk. Masih dengan sisa keberaniannya ia mulai sedikit menatap wajah bosnya. "Merry! Kepada siapa kamu biasanya melaporkan data keuangan?" Zein mencoba menginterogasi Merry secara halus. "Saya hanya melaporkan datanya ke Pak Zein. Seperti biasa laporan saya serahkan melalui Syila, Pak." "Apa ada orang lain selain Syila yang meminta laporan itu?" "Tidak, Pak. Saya tidak berani memberikan data laporan tanpa seizin Bapak." "Baiklah. Kamu boleh pergi." "Baik, terima kasih, Pak." Merry bergegas meninggalkan ruangan Zein. Ada perasaan lega saat bosnya tidak sampai menanyakan lebih jauh tentang data apa saja yang diminta Syila sahabatnya. Ia sendiri tidak paham kenap
Bab 19B Dilema"Kenapa Abang nggak curiga sama Sania? Bisa saja dia kembali untuk menghancurkan perusahaan." "Awalnya abang pikir begitu. Tapi staf IT menemukan bukti data terkirim melalui komputer di ruang ini, Fan. Tidak ada yang memakai komputer selain Syila." "Abang, yakin?" Refan masih menolak percaya Syila berani menghianati perusahaan keluarga suaminya sendiri. "Ya. Setidaknya dugaan sekarang begitu. Lebih parahnya mereka memakai sistem canggih untuk meretas data kita." "Gila! Gue nggak habis pikir kenapa wanita polos seperti Syila sanggup melakukannya. Gue akan cari bukti yang menguatkan, Bang. Tenang saja!" "Apa yang mau kamu lakukan, Fan? Ingat jangan bertindak lebih jauh dengan melibatkan perasaan!" "Ya, gue tahu, Bang." Refan menghela napas panjang. Ia merasa bersalah pada saudara kembarnya. Sejak awal dirinya hanya diminta mengawasi Syila, tetapi perasaannya tidak bisa dibohongi. Ia memang jatuh hati pada calon istri abangnya. Meskipun uminya tidak merestui, Refan
Bab 20A Ketahuan"Hah? Siapa orangnya?" "Suamimu. Lebih tepatnya keluarga suamimu." Syila tercengang mendengarnya. Ia tidak heran jika kakaknya sampai menyelidiki lebih jauh, karena Arka lulusan Magister Teknologi Informasi. Pastinya banyak teman-temannya yang mau membantu menyelidiki masalah perusahaan ayahnya. Sampai-sampai Arka kini mengorbankan profesinya sbeagai pengajar untuk fokus ke perusahaan ayahnya. Kala itu, keluarga Zein datang berniat membantu perusahaan ayahnya karena mereka merupakan kolega bisnis. Siapa sangka kalau perusahaan keluarga Zein justru yang menjatuhkan perusahaan ayahnya. Bisa jadi mereka melakukannya karena persaingan bisnis. "Bagaimana Mas bisa tahu?" "Mas sudah menyelidikinya. Sistem yang dipakai perusahaan suamimu sama dengan yang meretas perusahaan ayah." "Jadi, kita sedang balas dendam?" Arka mengangguk, sedangkan Syila masih terbengong. Ia tidak menyangka telah dijadikan tumbal kakaknya untuk membalas dendam. Lebih parahnya, ia tidak tahu kel
"Hah, gila ya? Masak iya, istri Pak Zein sendiri yang mau menghancurkan perusahaan suaminya!" "Mer!" Syila sedikit beranjak dari duduk untuk menutup mulut sahabatnya yang mengumbar suara. "Ups, maaf." Merry menaikkan dua jari menyadari kesalahannya. Saat ini, Syila justru penasaran dengan niat kembali Sania ke kehidupan suaminya. Bukan tidak mungkin Sania juga turut menghancurkan perusahaan ayahnya. Wanita itu dulunya menjabat sebagai sekretaris Zein sebelum dirinya menggantikan. "Sudah, pokoknya tugasmu itu, Mer. Bantu aku, ya!""Baiklah." Merry mengucapkannya seolah tidak ikhlas. Ia juga sebenarnya takut dengan sanksi yang akan diterima. Syila pulang ke rumah dengan hati was-was. Pikirannya terombang-ambing. Bagaimana caranya ia melarikan diri dari rumah suaminya dengan cara halus, sebelum dirinya didepak dengan cara kasar. "Syila, gimana hasil periksanya?" Hira menyapa saat melihat Syila sampai di rumah. Sontak saja Syila terkejut karena ia sebenarnya tidak pergi untuk periksa
Bab 21 Ponsel"Sudah dibereskan semuanya?""Ya. Sepertinya langkah selanjutnya akan lebih mulus."Merry tidak bisa mendengar pembicaraan dua orang yang ada di dalam sampai selesai. Begitu mendengar ponsel di sakunya berdering, ia segera menjauh dari pantry. Ternyata ia mendapat panggilan dari bosnya. Zein memintanya mengirimkan beberapa data yang dibutuhkan. Mau tidak mau, Merry bergegas kembali ke ruang divisi keuangan."Ishh, Mbak Sania tadi ngobrol sama siapa, ya? Gagal deh misiku sama Syila." Merry menghentakkan kakinya saat berada di depan ruang kerjanya. Karyawan lain yang satu ruang dengannya menatap heran."Kenapa mukamu kesel gitu, Mer?" seloroh temannya."Nggak apa-apa? Udah kerja sana, nggak usah ngurusin orang lain!" sahut Merry sewot. Kedua teman Merry hanya berbisik menanggapi tingkahnya yang tidak biasa. Semenjak kena sidang bosnya, mereka beranggapan Merry suka marah dan kesel. "Hai, udah dibilangin nggak usah bisik-bisik nggosipin orang lain!" tegur Merry pada dua t