Bab 18B "Ze, Alea tadi main ke rumah. Karena tidak ada yang menjaga. Dokter Syifa sedang ke rumah sakit pusat bersama Irsyad. Lalu May terburu masuk shift siang. Jadi Alea dititipkan kemari." "Kenapa harus titip kemari? Anak ini kan sekolah sampai sore." Ema menatap heran Zein yang tahu jadwal sekolah Alea. "Maksudku, sekolahnya pasti fullday, Ma." "Iya, fullday, Ze. Tapi hari ini ustadzahnya rapat jadi pulang awal. Kamu nggak suka Alea di sini?" "Ma, aku bukannya nggak suka. Aku malah seneng banget. Tuhan seolah tahu keinginanku dekat dengan putriku. Tapi kalau kamu tahu yang sebenarnya, apa kamu akan mengizinkannya lagi, Ma?" guman Zein. "Ze! Kamu nggak suka ada anak kecil di rumah ini?" "Eh nggak, Ma. Aku senang kok. Melihatmu ceria dan bersemangat, lelahku seharian jadi hilang." "Syukurlah. Al, biar Om mandi dulu, ya!" "Tante, apa boleh Al memanggilnya ayah?" tunjuk Al pada Adam. "Boleh, Al juga boleh panggil Tante dengan sebutan bunda." "Ma, kamu nggak berlebihan?" bis
Bab 19A"Ini dosa, Ze. Tolong hentikan!"Syifa pasrah, ia hanya mengeluarkan air mata sebagai perlawanan. "Maafkan aku, Fa! Aku mau kamu dan Alea bersabar. Aku akan menjemput kalian berdua. Aku mau kita bersama lagi" Syifa memalingkan muka, tidak sanggup menatap wajah Zeun. Tidak dipungkiri, ia juga menginginkan hal yang dilarang itu. Ia menginginkan mantan suaminya kembali. "Ze, aku mengaku kalah. Tapi aku tidak ingin membiarkan kamu melukai banyak orang. Mbak Ema butuh support suaminya. Sudahi permainan ini, Ze, Mbak Ema sedang sakit. Aku nggak mau menambah dosa." "Tapi, Fa. Kita saling mencintai," protes Zein. Namun, Syifa menggelengkan kepala. "Mencintai tidak harus memiliki, Ze. Kita sudah memilih jalan masing-masing. Allah pasti memberikan yang terbaik untuk kita." "Fa, aku melepasmu bukan karena inginku. Aku mencoba mempertahankan apa yang jadi cita-citamu. Aku nggak nyangka semua akan jadi berantakan." Zein membantu menghapus jejak bulir bening di pipi Syifa. Wanita itu
Bab 19B"Nggak, Ze. Aku bahagia hari ini. Entah kenapa kedatangan Alea bisa menghibur rasa kesepianku." "Syukurlah. Maaf kalau aku sibuk dengan pekerjaan kantor. Sampai-sampai aku tidak sempat di rumah menemanimu siang hari." "Tidak masalah, Ze. Oya, di rumah ini ternyata ramai juga kalau ada anak kecil. Bagaimana kalau kita program hamil, Ze?"Zein tersentak mendengar ucapan Ema. Ia tidak sempat berpikir Ema mau memiliki anak dengan dirinya. Sebab selama ini pernikahan mereka sebatas hitam di atas putih. Ema masih mencintai suaminya yang pertama meski sudah di alam berbeda. "Ze, kamu keberatan?" tanya Ema dengan tatapan sedikit kecewa. "Ah, tidak, Ma. Aku hanya kaget kenapa tiba-tiba kamu menginginkan anak." Zein mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan Ema. "Aku tahu kamu pasti merindukan putrimu, kan, Ze? Dia sudah sebesar apa sekarang? Kamu berpisah dengan istri dan anakmu. Apa kamu tidak ada keinginan memiliki keluarga yang utuh dan ramai lag
Bab 20ASebulan berlalu, Ema merasakan mual-mual yang tidak kunjung berhenti. Ia teringat tamu bulanannya yang sudah terlewat seminggu belum datang. "Apa aku benar-benar bisa hamil? Kenapa aku jadi takut mengandung anak Ze?" Ema bukannya senang, justru hatinya dilanda khawatir. Sebulan ini ia berusaha membangun hubungan baik dengan Zein. Saat memberikan pertanyaan pada Zein tentang mantan istri dan putrinya, jawaban yang diterima pun melegakan. Malam itu. "Kemarilah, Ma. Terima kasih kamu sudah percaya padaku." "Ya, Ze. Apa kamu juga percaya padaku?" "Tentu saja, Ma." "Apa yang akan kamu lakukan jika kamu bertemu putrimu dan mantan istrimu, Ze?" Wajah Zein yang tadinya tersenyum seketika redup. "Ma, jangan tanyakan masa lalu saat kita baru mulai merangkai masa depan. Di dunia ini ada mantan istri, tapi tidak ada mantan anak. Suatu saat jika aku bertemu putriku. Kuharap kamu mau menerimanya juga. Gimana?" "Kamu benar nggak akan meninggalkan aku dan kembali bersama mantan istr
Bab 20BSyifa memberikan cawan kecil dan juga benda pipih untuk tes kehamilan. Ema tersenyum simpul di depan Syifa yang wajahnya sedikit kaku. "Ini, Dok." Ema menyodorkan tespek yang sudah dicelupakn ke cawan berisi urin. Ia tidak melirik hasilnya karena takut kecewa. Berbeda dengan Ema, Syifa berdiri tercengang mengamati tespek di tangan kanannya. Tiba-tiba tangan yang memegang tespek tremor. Badai seolah menghantam dirinya. Ia menganggap ucapan Zein sudah berlalu seperti debu diterpa angin. "Apa yang terjadi, Dokter?" Syifa masih bergeming karena terlarut dalam lamunan. "Dokter Syifa," ulang Ema penasaran. "Eh, maaf. Selamat Mbak Ema. Mbak positif hamil." "Benarkah?" tanya Ema dengan perasaan haru. Senang sekaligus takut secara bersamaan menyergap hatinya. Ia melihat perubahan sikap Syifa yang mendadak tersenyum kaku. "Apa yang harus saya lakukan, Dok. Saya masih perawatan pasca operasi tahun lalu. Apa ini aman untuk saya hamil?" Syifa berusaha mengembailkan sikap profesiona
Bab 21A"Mbak sudah tidak ada yang dibutuhkan lagi, kan? Saya harus segera kembali ke klinik." "Saya tahu Dokter Syifa single parent. Dokter tidak berniat merebut kembali Ze, kan?" "Astaghfirullah, apa Mbak Ema sudah tahu yang sebenarnya?" guman Syifa. "Apa maksud Mbak Ema?" "Dokter Syifa mantan istrinya Ze, kan? Alea Aurora Zein, nama Zein yang sama dengan nama suami saya." "Maaf Mbak Ema, saya...." Syifa terlihat gugup seperti seorang yang ketahuan bermain belakang dengan suami Ema. "Saya sudah tahu semuanya. Dokter tidak perlu mengelak." "Maafkan saya, Mbak. Saya tidak pernah terbesit niat begitu. Saya juga tidak menyangka akan bertemu papa Al di kota ini." Ema menyilakan Syifa duduk di sampingnya. Dua perempuan seperti kakak adik itu berbicara dari hati ke hati. "Saya akan pindah rumah, jika keberadaan saya mengganggu rumah tangga Mbak Ema. Saya...." "Sttt, jangan bicara seperti itu, Dokter. Saya percaya Dokter Syifa tidak akan melakukan hal licik semacam itu. Sudahlah,
Bab 21BHari demi hari, Ema melalui kehamilannya dengan senang hati meski kenyataan berat dirasakannya. Tubuhnya semakin hari semakin terlihat mudah lelah. Usia kehamilannya masuk tiga bulan. "Bunda ayo main lagi sama Al. Nanti kalau dedeknya sudah lahir, Al mau ajak main, ya." Lamunan Ema buyar mendengar celotehan Alea. Gadis kecil itu kerap bermain ke rumah menemaninya. Ia merasa tidak kesepian. Beruntung Syifa mengizinkan Alea main ke rumah Ema. Terkadang anak itu juga menginap di rumahnya. Tentu saja Zein dengan senang hati menerima keputusan Ema. "Al, Sayang. Bunda mau ke kamar dulu ya. Kepala bunda agak berat. Kamu cari Bi Sumi dulu minta disiapkan makan siang, ya!" Hari libur biasanya Alea main dari pagi di rumah Ema. "Iya, Bunda." Begitu Alea berlari menuju belakang rumah mencari Bi Sumi, Ema merasakan dadanya sesak. Ia terbatuk hingga beberapa kali. Merasakan ada yang keluar dari mulutnya, Ema melihat telapak tangannya. "Darah apa ini?" Ema semakin kalut. Pikiran buruk
Bab 22A"Apa maksud, Dokter?" Syifa tidak ingin menerka-nerka hal buruk. Ia lebih memilih penjelasan langsung dari dokter. "Kita harus melakukan observasi tumor yang sudah diangkat. Dikhawatirkan tumornya muncul lagi dan menyebar ke organ lain." Tubuh Syifa merosot. Ia menundukkan kepalanya ke meja. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai dokter, ia menyesal jika sampai orang terdekatnya tidak mampu ia tangani masalah kesehatannya. Ia susah menganggap Ema seperti kakaknya. Sebab ia hanya anak tunggal di keluarganya. "Mbak Ema harus sehat. Ya, aku harus membantu merawatnya." ***** Hari-hari berlalu tergerus oleh minggu, Syifa rutin memantau kesehatan Ema. "Fa, kamu serius menjadi dokter pribadi istri dari mantan suamimu?" tanya Irsyad sembari menyodorkan segelas coklat. Tumben Syifa duduk merenung di teras belakang tanpa membawa minuman favorit itu. "Ya, Syad. Tidak ada yang salah, kan?" Syifa membalas sambil menatap pepohonan yang mengisi ruang kosong halaman kecil di belakang