Bab 21BHari demi hari, Ema melalui kehamilannya dengan senang hati meski kenyataan berat dirasakannya. Tubuhnya semakin hari semakin terlihat mudah lelah. Usia kehamilannya masuk tiga bulan. "Bunda ayo main lagi sama Al. Nanti kalau dedeknya sudah lahir, Al mau ajak main, ya." Lamunan Ema buyar mendengar celotehan Alea. Gadis kecil itu kerap bermain ke rumah menemaninya. Ia merasa tidak kesepian. Beruntung Syifa mengizinkan Alea main ke rumah Ema. Terkadang anak itu juga menginap di rumahnya. Tentu saja Zein dengan senang hati menerima keputusan Ema. "Al, Sayang. Bunda mau ke kamar dulu ya. Kepala bunda agak berat. Kamu cari Bi Sumi dulu minta disiapkan makan siang, ya!" Hari libur biasanya Alea main dari pagi di rumah Ema. "Iya, Bunda." Begitu Alea berlari menuju belakang rumah mencari Bi Sumi, Ema merasakan dadanya sesak. Ia terbatuk hingga beberapa kali. Merasakan ada yang keluar dari mulutnya, Ema melihat telapak tangannya. "Darah apa ini?" Ema semakin kalut. Pikiran buruk
Bab 22A"Apa maksud, Dokter?" Syifa tidak ingin menerka-nerka hal buruk. Ia lebih memilih penjelasan langsung dari dokter. "Kita harus melakukan observasi tumor yang sudah diangkat. Dikhawatirkan tumornya muncul lagi dan menyebar ke organ lain." Tubuh Syifa merosot. Ia menundukkan kepalanya ke meja. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai dokter, ia menyesal jika sampai orang terdekatnya tidak mampu ia tangani masalah kesehatannya. Ia susah menganggap Ema seperti kakaknya. Sebab ia hanya anak tunggal di keluarganya. "Mbak Ema harus sehat. Ya, aku harus membantu merawatnya." ***** Hari-hari berlalu tergerus oleh minggu, Syifa rutin memantau kesehatan Ema. "Fa, kamu serius menjadi dokter pribadi istri dari mantan suamimu?" tanya Irsyad sembari menyodorkan segelas coklat. Tumben Syifa duduk merenung di teras belakang tanpa membawa minuman favorit itu. "Ya, Syad. Tidak ada yang salah, kan?" Syifa membalas sambil menatap pepohonan yang mengisi ruang kosong halaman kecil di belakang
Bab 22B"Aku lebih tertarik sama yang usianya lebih matang, Fa," canda Irsyad. "Ishh, dasar brondong." Irsyad tergelak mendengar suara nyaring Syifa. Wanita lemah di depannya kini bisa bersendau gurau melupakan mantannya sejenak. Entah di kemudian hari apakah Syifa bisa bersikap begitu. Irsyad hanya bersiaga menjadi tempat curhatnya. "Ya sudah, ayo istirahat udah kemalaman! Besok ke rumah sakit pusat untuk mengisi pelatihan pembekalan relawan." "Yup, semoga kegiatannya lancar." "Amin. Makasih ya, Syad." "Aku yang makasih. Aku sama May sudah dilibatkan kegiatan sosial ini, Fa." ***** Waktu berlalu, Syifa terlihat sibuk di kegiatan sosial untuk persiapan para relawan. Ia memberikan pelatihan tentang kesehatan dan pelayanan prima bagi tenaga medis. Ia merasa senang bisa mendedikasikan ilmu dan tenaganya. Meski sebenarnya ia ingin sesekali terjun bersama para relawan. Mengingat ia harus menemani Alea, kesempatan menjadi relawan ia lewatkan beberapa tahun belakangan. Kalaupun ikut,
Bab 23A***** "Mbak Ema duduk aja, biar aku bantu Bi Sumi. Nanti kalau sudah selesai kita cek kandungannya, ya." "Oke." "Ya Rabb, ucapan Irsyad benar adanya. Ini berat dijalani. Tapi aku harus bisa melewatinya dengan kepala tegak." Hubungan Syifa dan Ema terlihat baik-baik saja. Syifa bersyukur akan hal itu. Pun Zein tidak pernah mengusiknya lagi. Laki-laki itu terlihat bahagia karena Alea akan punya teman. "Kamu pintar masak juga, Fa?" "Nggak, Mbak. Saya terpaksa harus belajar, karena...." Ucapan Syifa menggantung. Ia tidak mau mengingatkan masa lalunya di depan Ema. "Karena itu makanan kesukaan Ze, ya?" sahut Ema benar adanya sesuai isi pikiran Syifa. Namun, Syifa segera mengalihkan topik. Ema hanya mengulum senyum dalam hati ada rasa tidak rela, tapi segera dienyahkannya. "Bunda, Al beli es krim enak," seru Alea yang baru datang bersama Zein. "Eh, Mama juga di sini." "Iya, Al. Mama mau memeriksa Bunda." "Wah, sepertinya ayah mencium bau wangi masakan enak, Al. Bi Sumi ma
Bab 23B"Tunggu! Alea sayang! Jangan bersedih, meski papamu belum datang kan ada ayah." Syifa dan Zein memang sepakat untuk tidak memberitahu dulu kalau Zein adalah ayah Alea. Pun Ema menyetujui hal itu. "Tapi ayah sudah sama bunda. Mama sendirian nggak ada temannya. Mama sering nangis kalau malam." Syifa terbelalak mendengar pengakuan putrinya. Pun Zein yang merasakan sesuatu menusuk tepat di dadanya. Nyeri dan menyesakkan. "Alea!" Syifa sedikit membentak membuat gadis kecil itu terisak sambil menunduk. "Fa. Jangan membuatnya menangis!" Zein mendekat sambil menghibur Alea. "Ze, masuklah! Mb Ema membutuhkanmu. Ingat kesehatannya!" "Tapi Fa?" Syifa segera memeluk anaknya sambil satu tangan memegang tas medis. "Maafkan Mama, Sayang. Mama nggak marah. Ayo kita pulang! Nanti kita beli es krim sama Om Irsyad dan Tante May!" "Beneran, Ma?" Alea berhenti terisak. Menatap sang mama yang berkaca-kaca. "Mama menangis?" "Mama terharu, Sayang." Syifa lalu beranjak menggendong Alea dan
Bab 24 "Dok, jangan katakan hal buruk menimpa istri saya!" tolak Zein "Maaf, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, Allah berkehendak lain. Istri Bapak nyawanya tidak tertolong." Bagaikan sebuah mimpi, Zein ingin segera bangun dari mimpi buruknya. Ia butuh seseorang menyadarkannya dari mimpi buruk itu. Untuk ketiga kali dalam hidupnya ia kehilangan wanita yang berstatus istri baginya. Pertama, Sania yang berjuang melahirkan anak. Kedua, Syifa yang berusaha diperjuangkan profesinya dan terakhir Ema yang sedang mengandung anaknya. Ia merasa wanita yang didekatnya selalu mendapat kemalangan. Memilukan. "Tidak mungkin. Ema tidak mungkin pergi. Bayi kami tidak mungkin meninggal." Zein mengerang frustasi sambil meremas rambutnya. Ia terduduk pilu di kursi di lorong rumah sakit. Bi Sumi hanya bisa menatap sedih suami majikannya. Saatnya kembali telah tiba. Bagi orang yang pergi, bahagia telah menanti. Namun, bagi yang ditinggalkan sedihnya tidak akan terganti. Yakinlah, Allah se
Bab 24B*****Suasana duka menyelimuti rumah besar milik Ema. Kabar duka itu akhirnya sampai juga ke telinga Umi Hira dan Abi Ilyas. Syifa meminta izin pada Zein untuk mengabari mertuanya. Kedua orang tua yang kehilangan kontak itu pun merasa bahagia sekaligus sedih bersamaan. Senang karena mereka bisa menemukan anak kebanggaan mereka. Sedih karena putranya kehilangan istri untuk kesekian kali. Alhasil, Umi Hira segera terbang ke Yogyakarta. Selain itu, ada saudara kembar Zein---Refan yang sedang berkunjung di rumah mertuanya. Begitu tahu berita tentang kakaknya di Yogya, ia bergegas mencari alamat Zein bersama Syila istrinya yang sedang hamil besar. "Terima kasih Syifa sudah menemani Zein di saat hatinya sedang terpuruk. Meskipun kalian sudah berpisah, kamu tetap putri kami." "Iya, Mi. Syifa di Yogya baru beberapa bulan. Takdir yang mempertemukan kami, Alea bisa bertemu dengan papanya. Meski keadaan kami berbeda sari sebelumnya. Ze sudah menikah dengan Mbak Ema. Saya bersyukur bisa
Bab 25AHidup ini bisa berubah hanya dalam sekejap mata. Jika Allah berkehendak, maka tidak ada yang bisa menentangnya. Sudah sepantasnya sebagai manusia bertawakal dan pasrah pada ketentuan dan ketetapanNya. Namun, Adam masih terpaku pada musibah yang menimpanya tidak cukup sekali. Ia lupa Allah memberikan cobaan pastilah tidak melebihi kemampuan hambaNya. Syifa meneguk ludahnya. Setitik nyeri hadir karena teringat ucapan Irsyad. "Bisa saja Zein menyalahkanmu, Fa. Jika sesuatu hal buruk menimpa istrinya." "Sudahlah, Bi. Sekarang kita siapkan saja, ya. Bibi nggak usah khawatir, Pak Zein masih berkabung." Syifa mengabaikan sikap Zein yang menurut Bi Sumi bisa menyakitinya. Ia fokus dengan tanggung jawabnya tentang permintaan Ema. Hampir empat puluh menit masakan sudah tersaji di meja. Syifa bernapas lega seolah hutangnya terlunasi. "Mama! Baunya harum." Tiba-tiba ada Alea yang datang masih dengan seragam sekolah. Gadis kecil itu diantar Irsyad. "Fa, Alea minta ke sini." "Ya, Sy