Bab 19B"Nggak, Ze. Aku bahagia hari ini. Entah kenapa kedatangan Alea bisa menghibur rasa kesepianku." "Syukurlah. Maaf kalau aku sibuk dengan pekerjaan kantor. Sampai-sampai aku tidak sempat di rumah menemanimu siang hari." "Tidak masalah, Ze. Oya, di rumah ini ternyata ramai juga kalau ada anak kecil. Bagaimana kalau kita program hamil, Ze?"Zein tersentak mendengar ucapan Ema. Ia tidak sempat berpikir Ema mau memiliki anak dengan dirinya. Sebab selama ini pernikahan mereka sebatas hitam di atas putih. Ema masih mencintai suaminya yang pertama meski sudah di alam berbeda. "Ze, kamu keberatan?" tanya Ema dengan tatapan sedikit kecewa. "Ah, tidak, Ma. Aku hanya kaget kenapa tiba-tiba kamu menginginkan anak." Zein mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan Ema. "Aku tahu kamu pasti merindukan putrimu, kan, Ze? Dia sudah sebesar apa sekarang? Kamu berpisah dengan istri dan anakmu. Apa kamu tidak ada keinginan memiliki keluarga yang utuh dan ramai lag
Bab 20ASebulan berlalu, Ema merasakan mual-mual yang tidak kunjung berhenti. Ia teringat tamu bulanannya yang sudah terlewat seminggu belum datang. "Apa aku benar-benar bisa hamil? Kenapa aku jadi takut mengandung anak Ze?" Ema bukannya senang, justru hatinya dilanda khawatir. Sebulan ini ia berusaha membangun hubungan baik dengan Zein. Saat memberikan pertanyaan pada Zein tentang mantan istri dan putrinya, jawaban yang diterima pun melegakan. Malam itu. "Kemarilah, Ma. Terima kasih kamu sudah percaya padaku." "Ya, Ze. Apa kamu juga percaya padaku?" "Tentu saja, Ma." "Apa yang akan kamu lakukan jika kamu bertemu putrimu dan mantan istrimu, Ze?" Wajah Zein yang tadinya tersenyum seketika redup. "Ma, jangan tanyakan masa lalu saat kita baru mulai merangkai masa depan. Di dunia ini ada mantan istri, tapi tidak ada mantan anak. Suatu saat jika aku bertemu putriku. Kuharap kamu mau menerimanya juga. Gimana?" "Kamu benar nggak akan meninggalkan aku dan kembali bersama mantan istr
Bab 20BSyifa memberikan cawan kecil dan juga benda pipih untuk tes kehamilan. Ema tersenyum simpul di depan Syifa yang wajahnya sedikit kaku. "Ini, Dok." Ema menyodorkan tespek yang sudah dicelupakn ke cawan berisi urin. Ia tidak melirik hasilnya karena takut kecewa. Berbeda dengan Ema, Syifa berdiri tercengang mengamati tespek di tangan kanannya. Tiba-tiba tangan yang memegang tespek tremor. Badai seolah menghantam dirinya. Ia menganggap ucapan Zein sudah berlalu seperti debu diterpa angin. "Apa yang terjadi, Dokter?" Syifa masih bergeming karena terlarut dalam lamunan. "Dokter Syifa," ulang Ema penasaran. "Eh, maaf. Selamat Mbak Ema. Mbak positif hamil." "Benarkah?" tanya Ema dengan perasaan haru. Senang sekaligus takut secara bersamaan menyergap hatinya. Ia melihat perubahan sikap Syifa yang mendadak tersenyum kaku. "Apa yang harus saya lakukan, Dok. Saya masih perawatan pasca operasi tahun lalu. Apa ini aman untuk saya hamil?" Syifa berusaha mengembailkan sikap profesiona
Bab 21A"Mbak sudah tidak ada yang dibutuhkan lagi, kan? Saya harus segera kembali ke klinik." "Saya tahu Dokter Syifa single parent. Dokter tidak berniat merebut kembali Ze, kan?" "Astaghfirullah, apa Mbak Ema sudah tahu yang sebenarnya?" guman Syifa. "Apa maksud Mbak Ema?" "Dokter Syifa mantan istrinya Ze, kan? Alea Aurora Zein, nama Zein yang sama dengan nama suami saya." "Maaf Mbak Ema, saya...." Syifa terlihat gugup seperti seorang yang ketahuan bermain belakang dengan suami Ema. "Saya sudah tahu semuanya. Dokter tidak perlu mengelak." "Maafkan saya, Mbak. Saya tidak pernah terbesit niat begitu. Saya juga tidak menyangka akan bertemu papa Al di kota ini." Ema menyilakan Syifa duduk di sampingnya. Dua perempuan seperti kakak adik itu berbicara dari hati ke hati. "Saya akan pindah rumah, jika keberadaan saya mengganggu rumah tangga Mbak Ema. Saya...." "Sttt, jangan bicara seperti itu, Dokter. Saya percaya Dokter Syifa tidak akan melakukan hal licik semacam itu. Sudahlah,
Bab 21BHari demi hari, Ema melalui kehamilannya dengan senang hati meski kenyataan berat dirasakannya. Tubuhnya semakin hari semakin terlihat mudah lelah. Usia kehamilannya masuk tiga bulan. "Bunda ayo main lagi sama Al. Nanti kalau dedeknya sudah lahir, Al mau ajak main, ya." Lamunan Ema buyar mendengar celotehan Alea. Gadis kecil itu kerap bermain ke rumah menemaninya. Ia merasa tidak kesepian. Beruntung Syifa mengizinkan Alea main ke rumah Ema. Terkadang anak itu juga menginap di rumahnya. Tentu saja Zein dengan senang hati menerima keputusan Ema. "Al, Sayang. Bunda mau ke kamar dulu ya. Kepala bunda agak berat. Kamu cari Bi Sumi dulu minta disiapkan makan siang, ya!" Hari libur biasanya Alea main dari pagi di rumah Ema. "Iya, Bunda." Begitu Alea berlari menuju belakang rumah mencari Bi Sumi, Ema merasakan dadanya sesak. Ia terbatuk hingga beberapa kali. Merasakan ada yang keluar dari mulutnya, Ema melihat telapak tangannya. "Darah apa ini?" Ema semakin kalut. Pikiran buruk
Bab 22A"Apa maksud, Dokter?" Syifa tidak ingin menerka-nerka hal buruk. Ia lebih memilih penjelasan langsung dari dokter. "Kita harus melakukan observasi tumor yang sudah diangkat. Dikhawatirkan tumornya muncul lagi dan menyebar ke organ lain." Tubuh Syifa merosot. Ia menundukkan kepalanya ke meja. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai dokter, ia menyesal jika sampai orang terdekatnya tidak mampu ia tangani masalah kesehatannya. Ia susah menganggap Ema seperti kakaknya. Sebab ia hanya anak tunggal di keluarganya. "Mbak Ema harus sehat. Ya, aku harus membantu merawatnya." ***** Hari-hari berlalu tergerus oleh minggu, Syifa rutin memantau kesehatan Ema. "Fa, kamu serius menjadi dokter pribadi istri dari mantan suamimu?" tanya Irsyad sembari menyodorkan segelas coklat. Tumben Syifa duduk merenung di teras belakang tanpa membawa minuman favorit itu. "Ya, Syad. Tidak ada yang salah, kan?" Syifa membalas sambil menatap pepohonan yang mengisi ruang kosong halaman kecil di belakang
Bab 22B"Aku lebih tertarik sama yang usianya lebih matang, Fa," canda Irsyad. "Ishh, dasar brondong." Irsyad tergelak mendengar suara nyaring Syifa. Wanita lemah di depannya kini bisa bersendau gurau melupakan mantannya sejenak. Entah di kemudian hari apakah Syifa bisa bersikap begitu. Irsyad hanya bersiaga menjadi tempat curhatnya. "Ya sudah, ayo istirahat udah kemalaman! Besok ke rumah sakit pusat untuk mengisi pelatihan pembekalan relawan." "Yup, semoga kegiatannya lancar." "Amin. Makasih ya, Syad." "Aku yang makasih. Aku sama May sudah dilibatkan kegiatan sosial ini, Fa." ***** Waktu berlalu, Syifa terlihat sibuk di kegiatan sosial untuk persiapan para relawan. Ia memberikan pelatihan tentang kesehatan dan pelayanan prima bagi tenaga medis. Ia merasa senang bisa mendedikasikan ilmu dan tenaganya. Meski sebenarnya ia ingin sesekali terjun bersama para relawan. Mengingat ia harus menemani Alea, kesempatan menjadi relawan ia lewatkan beberapa tahun belakangan. Kalaupun ikut,
Bab 23A***** "Mbak Ema duduk aja, biar aku bantu Bi Sumi. Nanti kalau sudah selesai kita cek kandungannya, ya." "Oke." "Ya Rabb, ucapan Irsyad benar adanya. Ini berat dijalani. Tapi aku harus bisa melewatinya dengan kepala tegak." Hubungan Syifa dan Ema terlihat baik-baik saja. Syifa bersyukur akan hal itu. Pun Zein tidak pernah mengusiknya lagi. Laki-laki itu terlihat bahagia karena Alea akan punya teman. "Kamu pintar masak juga, Fa?" "Nggak, Mbak. Saya terpaksa harus belajar, karena...." Ucapan Syifa menggantung. Ia tidak mau mengingatkan masa lalunya di depan Ema. "Karena itu makanan kesukaan Ze, ya?" sahut Ema benar adanya sesuai isi pikiran Syifa. Namun, Syifa segera mengalihkan topik. Ema hanya mengulum senyum dalam hati ada rasa tidak rela, tapi segera dienyahkannya. "Bunda, Al beli es krim enak," seru Alea yang baru datang bersama Zein. "Eh, Mama juga di sini." "Iya, Al. Mama mau memeriksa Bunda." "Wah, sepertinya ayah mencium bau wangi masakan enak, Al. Bi Sumi ma