*Flashback* "Mungkin suatu saat kamu bakal tau dan kamu bakal ngerti gimana rasanya ada di posisi aku saat ini, La" “Aku milih kamu, La. Inget kamu gak berjuang sendirian.” “Aku bener-bener gak bisa tanpa kamu. Aku mohon. Jangan pernah tinggalin aku, ya. Tetep sama aku apapun yang terjadi.” “I love u more then u know, Laila.” "Kenapa? Kamu selingkuh?" "La, biasanya orang kalo nanya kaya gini biasanya dia ngelakuin hal itu, tapi merefleksikannya ke orang lain. Aku bukan anak kuliahan yang masih ga paham akan hal ini loh. Jujur ya." "Nggak. Aku yang salah. Kalo aku punya banyak waktu untuk kamu, pasti kamu gak akan selingkuh." "Sekarang kita mulai lagi dari awal ya. Kita lupain masalah ini. Aku kasi kamu kesempatan karna aku gak bisa lepas dan jauh dari kamu, La. Aku udah terlanjur nyaman dan cinta sama kamu. Aku sayang dan cinta banget sama kamu" Aku minta maaf ya udah marah-marah. Aku minta kamu sabar dulu, ya, sayang. Kita udah janji kan untuk memperjuangkan hubungan ini dar
Dari dulu aku merasa bahwa aku adalah orang yang tidak mudah untuk membuka hati dengan pria lain. Tetapi mengapa sekalinya membuka hati kepada pria seketika itu juga dia gampang menyakiti? Mengapa sekalinya mencoba untuk percaya dengan seseorang seketika itu juga kepercayaan itu dikhianati? Mengapa aku bisa sebegitu gampangnya membuka hati dengan orang yang salah lagi? Akan tetapi aku harus bagaimana? Disesali pun tidak dapat mengubah semuanya. Sekarang sudah waktunya bagiku untuk melupakan masalalu, tidak terjebak dengan masalalu dan melanjutkan hidup untuk masa depan. Karena jika aku selalu mengingat dia, aku benar-benar berat untuk melangkah ke depan. Hubunganku dengan Rafael benar-benar pelajaran yang sangat berharga sekali untukku. Ya, hubungan itu perlahan membuatku menjadi lebih berpikir realistis dan tidak berpikir seperti anak remaja lagi. Dan, tidak gampang pula di bodohi dengan lelaki. Akupun belajar untuk tidak percaya dengan kata-kata lelaki yang tidak dapat memberikan
“Guys… Hari ini kita jadi ke acara Grand Opening coffee shop Diego, kan?” Tanya April memastikan kepada aku, Aurora, dan Dina. Ya, Diego yang seringkali menjadi pengisi acara di salah satu coffee shop favorit kami pada akhirnya sedikit demi sedikit dapat mewujudkan mimpinya untuk membuka coffee shop. Pada akhirnya semesta memberikan hadiah yang sangat dia nanti-nantikan berkat kegigihan serta kerja keras dia sampai saat ini. Jujur, aku ingin sekali mengunjungi grand opening coffee shop milik Diego yang berlangsung pada hari ini. Tetapi aku masih sangat lemah untuk sekedar melangkahkan kaki untuk keluar dari apartemen. Perandai-andaian akan Rafael yang menemaniku untuk mengunjungi grand opening pun seketika bermunculan untuk mengganggu pikiranku. Sampai kapan aku harus mengingat dia di setiap hari-hari yang aku jalani? “Kalian pergi aja, ya. Gue lagi pengen sendiri.” Ucapku mencoba meyakinkan teman-temanku.
Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bertahan di restaurant sushi sampai aku melihat Rafael dan Mbak Tika melewati meja kami seolah-olah kami tak saling kenal. Melihat hal itu teman-temanku yang sudah pernah bertemu dengan Rafael benar-benar kecewa atas sikap dia saat ini. “Oh jadi ini pacar Rafael? Laila lo harus percaya kalo lo bener-bener lebih cantik dan lebih menarik dari perempuan ini!” Celetuk April kesal saat melihat Mbak Tika melewatinya. Aku memelototi April untuk tidak membahas hal itu di depan Mbak Tika karena aku tahu dan kita semua pun tahu sesuatu yang menyinggung masalah perbandingan fisik pasti akan sangat menyakitkan. Mbak Tika seketika menghentikan langkahnya tepat di hadapan April. Sementara aku melihat Rafael seakan memberikan kode kepada Mbak Tika. Rafael pun terlihat meninggalkan Mbak Tika seorang diri di hadapan kami. Entahlah sepertinya Mbak Tika memang ingin menyampaikan sesuatu atas perkataan April sementara Rafael tidak ingin terlibat dan langsung p
Aku berlari kecil menuju ke parkiran kampus. Hari itu ada tugas presentasi yang harus aku presentasikan bersama teman-temanku. Namun sialnya, aku dan temanku lupa membawa file untuk kami presentasikan nanti pada pukul setengah sebelas tepat. Aku pun melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh lewat beberapa menit. Itu artinya aku masih memiliki waktu lebih kurang satu jam. Brak! Tanpa sadar dan tanpa memerhatikan sekelilingku, aku pun menabrak Michellea, salah satu teman kelasku di dekat parkiran mobil. “Ehhh… Laila? Ya ampun sorry banget gue tadi buru-buru.” Ucap Michellea sembari merapikan buku-bukunya yang sudah bertebaran sembari sesekali menatapku yang ikut membantunya untuk merapikan buku-bukunya. “It’s okay. Gue juga minta maaf karena buru-buru juga.” Ucapku menjelaskan. Kami berdua pun bergegas berdiri dan aku memberikan beberapa kertas yang sudah aku rapikan kepada Michellea. “Cieee buru-buru kemana lo? Pasti lo mau pacaran kan sama pacar lo yang kaya Bu
(WazzApp Notification - Mbak Tika) “Pagi, Laila. Maaf ganggu. Aku mau nanya nih ke kamu. Kamu masih berhubungan dengan Rafael gak? Dan tau Rafael ada dimana sekarang?” "Wah, sorry. Semenjak aku tau kebenaran itu. Aku gak berhubungan lagi dengan dia. Jadi, aku sama sekali gak tau apa-apa lagi tentang dia dan gak tau keberadaan dia sekarang ada dimana. -Laila Aku tiba-tiba meneteskan air mata. Bisa-bisanya Mbak Tika dengan gampangnya bertanya akan Rafael kepadaku. Padahal sudah hampir tiga bulan, aku benar-benar terpuruk dan berusaha keras untuk melupakan Rafael. “Lo kenapa tiba-tiba nangis?” Tanya April dan langsung merebut ponselku. Dia melihat balasan pesan yang aku lakukan bersama Mbak Tika. “Sampah! Dia pikir lo cewe apaan! Udah di sakitin tapi tetep mikir lo masih mau berhubungan dengan Rafael.” Ucap April ketus. Aurora dan Dina pun spontan melihat balasan pesan yang ada di ponselku. Aurora, April, dan Dina memang tengah berada di apartemenku. Terlebih lagi sejak aku di tingg
"Laila... Lo masih belum siap buat cerita ya?" Tanya April sembari berjalan mendekatiku yang tengah duduk di sofa dengan tatapan kosong. Aku menoleh kehadapan April dan melihat tatapan April yang seakan ragu untuk bertanya kepadaku. Aku memang meminta mereka untuk mengantarkanku ke apartemen saat aku keluar dari ruangan praktek Mbak Regina dengan tergesa-gesa dan cemas. Saat itu mereka tampak bertanya-tanya dengan apa yang terjadi di ruangan Mbak Regina. Akan tetapi aku masih belum bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut mereka detik itu juga. "Iya. Gue gak siap sama sekali. Kalo gue cerita gue gak sanggup. Rasanya kepala gue kaya mau pecah kalo inget lagi tentang kejadian itu." Ucapku datar sembari menghela napas kasar. Aku merasa pada saat itu aku sudah berada di titik terlelah dalam hidupku. Jiwa dan fisikku sudah tak mampu dan tak bisa lagi memikul semua rasa pahit yang aku rasakan ketika aku mengingat kembali kenangan yang aku ciptakan bersama Rafael
Beberapa hari kemudian... "Gimana kalau lo membuka hati dengan orang baru?" Ucap April memberikan saran sembari duduk di sofa apartemenku. "Gak gampang." Ucapku tertawa sinis. Lagipula, bagaimana bisa aku membuka hati kembali dengan orang lain? Yang aku pikirkan pada saat itu aku tidak akan pernah jatuh cinta kembali atas apa yang sudah terjadi. Aku sadar bahwa aku adalah seseorang yang 'terlalu mencintai' jika aku berada dalam suatu hubungan. Aku takut jika aku jatuh cinta lagi aku akan mencintai orang yang salah sehingga aku akan terjebak dengan keadaan depresi itu. "Alternatif lain, La. Mungkin orang baru ini bisa ngebuat lo lupa dengan Rafael." Sambung Aurora menyetujui saran April. "Siapa? Gue gak kenal dengan siapa-siapa saat ini. Paling yang gue kenal Diego. Yakali gue pacaran sama Diego." Ucapku tertawa sinis sembari menggelengkan kepala. Lagipula aku pun bukan tipe orang yang bisa menjalin hubungan asmara dengan teman atau sahabat sendiri. "Gue punya temen. Actually dia