Eithan replied your story "Welcome to Jakarta." -Eithan Aku mengunggah salah satu foto yang menunjukkan suasana di Bandara Soekarno-Hatta di story Anstagram-ku. Itulah mengapa Eithan bisa tahu bahwa saat itu aku sudah berada di Jakarta. Semenjak pertemuan malam itu, aku dan Eithan saling berbagi username social media yang cukup sering kami gunakan. "Hi Eithan! Thanks!" -Laila "Wanna go out tonight?" -Eithan "Where?" -Laila "Hawaian Restaurant." -Eithan "Sounds good!!! See you!" -Laila Aku tidak tahu apakah caraku salah menerima ajakan Eithan secara terang-terangan hanya karena ingin menghilangkan kekesalanku atas kebenaran yang ku ketahui di Yogyakarta, tetapi setidaknya aku butuh seseorang waktu itu. Bertemu dengan Eithan merupakan salah satu hal yang membuat jiwa dan pikiranku sedikit tenang namun juga selalu terbayang akan hadirnya Rafael. Aku bertemu dengan Eithan sebanyak tiga kali namun aku selalu tersiksa dan merasa bersalah setiap kali menemuinya. Pertama, aku tersik
"Tapi lo gak nerima Eithan, kan?" Tanya April memastikan sembari membelalakkan matanya kearahku saat aku selesai menceritakan mengenai hubunganku yang sudah terjalin cukup dekat beberapa minggu bersama Eithan. "Nggak lah." Jawabku yakin "Tapi kalau di pikir-pikir Eithan baik banget ya." Ucap Dina yang sedikit terlihat menaruh harap atas hubunganku dengan Eithan. "Iya. Tapi sayang beda agama." Sambung Aurora menghela napas sembari menggeleng-gelengkan kepalanya "Kenapa ya gue itu selalu terjebak dengan perbedaan agama gini? Dan kenapa gue selalu narik orang yang agamanya berbeda dengan gue ke dalam hidup gue?" Ucapku yang akhirnya melontarkan isi pikiranku selama ini kepada teman-temanku. "Yah jangan nanya kita, La. Kita juga gak bisa jawab kalo hal begitu. Rahasia alam semesta itu mah." Jelas April sembari tertawa kecil. "Iya sih bener... Tapi sekarang gue udah memutuskan untuk berteman baik dengan Eithan, kok." Jelasku meyakinkan April, Dina, dan Aurora. *** Berjalan di pinggi
Aku seringkali menunjukkan tingkah konyol kepada Eithan seperti melewati zebra cross yang hanya menginjak garis-garis putihnya saja dan berteriak saat ada pesawat yang lewat. Dan ya, Eithan terlihat sangat bahagia dengan kekonyolan yang ku ciptakan. Namun tanpa aku sadari, kekonyolan itu adalah kekonyolan yang pernah aku ciptakan bersama Rafael. "Kamu serius ngelakuin hal kaya gini tiap hari? La, itu pilotnya gak akan denger kalau kamu say Hi." Ucap Eithan sembari tertawa lepas "Of course. Aku selalu ngelakuin hal ini juga dengan Rafael waktu itu kalau pesawat lagi lewat. Dan kita berdua gak bisa lihat zebra cross, kalau kita lihat, fix harus taruhan." Ucapku bersemangat dan tak sengaja menyebut nama Rafael. Seketika raut wajah Eithan berubah drastis saat aku mengucap nama pria itu. "Oh--- Okay." Ucap Eithan datar "So-sorry, Eithan. Aku--" "It's okay, La. Anyway, habis ini kita langsung balik, yuk. Ada yang harus aku kerjain buat besok." "Kamu marah ya?" Tanyaku dengan susah pa
Satu minggu kemudian… Aku duduk di hadapan Mbak Regina. Mencoba untuk menceritakan semua hal mengenai Rafael. Waktu itu, aku siap untuk menceritakan segalanya setelah aku mulai membuka hatiku untuk Eithan yang tanpa sadar aku malah menyia-nyiakan kesempatan itu dengan masih terpaku kepada Rafael. Aku sadar, saat itu aku butuh pertolongan dari orang yang profesional seperti Mbak Regina. "Mbak memang benar, aku pernah gagal sebelum menjalin hubungan dengan Rafael. Justru aku bingung, aku pernah gagal sebelum kenal dia. Tapi saat ini aku kenapa gak bisa melupakannya dan menyembuhkan diri sendiri?" Tanyaku kesal. Sudah hampir satu tahun, aku kembali membuka luka itu dan akhirnya siap untuk menceritakan hal yang pernah aku tunda sebelumnya. Ya, sesuatu yang seharusnya aku ceritakan saat pertama kali mengunjungi tempat praktek Mbak Regina. “Yeah I know. Karna dia terlalu menjanjikan dan ngasi harapan terus ke kamu. Kamu udah ngejawab itu sendiri, Laila.” Jelas Mbak Regina "That’s it! M
WazzApp Group Notification "Laila, kita jalan-jalan yuk!" Aku terbangun dan melihat layar ponselku yang berisikan ajakan oleh Aurora, April, dan Dina. Aku melirik jam yang masih menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya ketika weekend seperti ini, aku lebih memilih untuk bangun lebih siang dari biasanya "Kemana?" Balasku dengan mata yang masih melekat "Dufan aja." -April Aku rasa aku ingin menikmati suasana dufan dan memacu sedikit adrenalineku. Semenjak di tinggal oleh Rafael, setengah jiwaku sudah tak merasakan hidup. Dan saat itu Eithan pun sudah pergi meninggalkan Indonesia. Aku pun akhirnya menyetujui ajakan mereka. Aku membereskan apartemenku dan bersiap-siap merapikan diri sebelum teman-temanku datang. Biasanya jika aku dan teman-temanku pergi, mereka selalu berkumpul di apartemen ini. Tok… tok… tok… Tak di ragukan lagi, pasti itu teman-temanku. Aku pun bergegas membuka pintu "Hei, La. Gue numpang make up disini ya. Takut telat tadi." Ucap Dina yang langsung bergegas masu
Izinkan akuUntuk terakhir kalinyaSemalam saja bersamamuMengenang asmara kitaDan aku pun berharapSemoga kita tak berpisahDan kau maafkan kesalahanYang pernah ku buat Suasana café menjadi ramai seketika saat orang-orang yang berada disana mengikuti lirik lagu Berharap Tak Berpisah. "Lirik lagu ini gak kaya lo kan, La?" April mengolok sembari bernyanyi "Ya nggak lah. Males banget. Duh andai aja ya gue terlepas dari dia dari jauh-jauh hari, pasti hidup gue gak sengsara." Teriakku "Udah ah gak usah bahas lagi. Kita kesini mah mau seneng-seneng!” Seru Dina "Alright. Jadi setelah lagu Berharap Tak Berpisah, gimana kalo kita bawain lagu Glenn Fredly - Akhir Cerita Cinta." Ucap Diego sekaligus penyanyi yang berada di café itu. Ya, Diego masih sering menjadi bintang tamu di café yang memiliki live music karena coffee shop yang dia miliki masih belum memberikan fasilitas itu. Bagi Diego musik itu adalah passion bagi dirinya. "Wew, bagus juga tuh." Teriak April bersemangat "Well. Ada
(WazzApp Notification - Mas Daffin) "La, udah di apartemen kamu? Aku baru sampe nih." -Mas Daffin "Udah, Mas." -Laila "Jadi gak? Yuk." – Mas Daffin "Oke boleh-boleh. Aku siap-siap dulu, ya, Mas. Langsung ketemu di tempat aja?" -Laila "Bareng aja, ya, La. Aku juga mau mandi dulu. Lagian aku gak tau tempatnya juga." -Mas Daffin "Oh iya. Okedeh." -Laila Aku dan Mas Daffin akhirnya menuju coffee shop apartemen dan berbincang mengenai hal-hal pada umumnya. Seperti kegiatan kami sehari-hari dan juga asal-usul aku dan Mas Daffin. Sebagai seseorang yang memang baru dikenal, aku memang selalu menanyakan asal-usul lawan bicaraku untuk sekedar memastikan bahwa mereka benar-benar orang baik. Ditambah lagi dengan zaman yang sangat maju seperti saat ini, kita pun bisa langsung memastikan dari social media mengenai kehidupan lawan bicara kita. Ya, sebelum memutuskan untuk pergi dengan Mas Daffin, aku pun langsung melihat social media miliknya dan beberapa foto yang dia unggah, sama halnya sep
Sudah hampir satu bulan, aku seringkali menjalani hari-hariku bersama Mas Daffin. Selama satu bulan itu aku merasa bahagia dengan Mas Daffin yang masuk ke dalam kehidupanku. (WazzApp Notification - Mas Daffin) "La, kamu pulang jam berapa? Aku jemput ya." "Aku pulang jam tiga, Mas. Emang kamu udah pulang?" -Laila "Hmm. Belum sih. Rencananya aku mau ngajak kamu ke rooftop buat nongkrong. Tapi kayanya kelamaan ya?" -Mas Daffin "Iya sih. Lagian aku juga bawa mobil, Mas. Kalo gitu kita ketemu di Rooftop aja." -Laila "Yakin gapapa?" -Mas Daffin "Iya gapapa." -Laila Aku mengikuti Aurora menuju ke apartemennya sembari menunggu Mas Daffin selesai bekerja. Setelah itu, aku dan Mas Daffin pun langsung bergegas ke rooftop tempat kami mengobrol seperti biasa. *** Mas Daffin sudah beberapa kali tertangkap basah memperhatikan aku sedari tadi sehingga membuatku menjadi tidak nyaman. Tak biasanya dia memperhatikanku seperti itu. Akan tetapi dari tatapannya aku bisa mengerti maksud dari tatapa