Pagi-pagi sekali, Liam dan Samuel terjaga bersama. Samuel merentangkan tubuhnya untuk merelaksasikan otot-otot diselingi dengan mulutnya yang menguap.
“Ah, segarnya tubuh ini!” Samuel beranjak dari kasur. Ia menyatukan kedua telapak tangannya, kemudian merentangkan lengannya sejurus dengan dada.“Bagaimana tidurmu, nyenyak?” tanya Liam. Matanya menerawang kedua mata Samuel saat pandangan mereka bertemu.“Tentu saja. Bagaimana denganmu?”“Semalam terbangun dan sempat keluar untuk buang air.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Liam mengawasi dan memperhatikan ekspresi yang muncul dari wajah Samuel.“Benarkah? Saya tidak tahu sama sekali. Apa kau tidak nyaman karena satu kamar dengan orang asing?”“Mungkin,” jawab Liam sambil menampilkan seutas senyum tipis pada bibirnya.“Saya harap kita bisa menjadi rekan kerja dan teman yang baik,&rRange Rover Evoque keluaran terbaru terhenti di garasi depan rumah Adimas. Mobil kelas premium yang tak pernah bisa dimiliki oleh kalangan menengah ke bawah dapat dengan mudah dibeli oleh mereka yang memiliki segalanya termasuk Adimas.“Mobil siapakah itu?” ucap Tama kepada Liam, Dave, dan Hendri. Kebetulan mereka berempat sedang berkumpul di bangku taman depan halaman. Hendri yang biasanya membuntuti kemana saja Samuel berada, kali ini tak melakukan kegiatannya tersebut.“Yang pasti bukan mobil kita,” jelas Dave dengan tatapan terpesona. Kilau dari badan mobil tersebut membuatnya ingin cepat-cepat menjadi kaya seperti mencuri uang negara atau menjual narkoba. “Kapan ya kita bisa memiliki mobil seperti itu?”“Kalau mau berusaha, pasti kita bisa memilikinya,” kata Hendri. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Beberapa tahun kemudian, aku pasti akan memilikinya!”“Jelas, itu sudah terba
Setelah beristirahat beberapa jam, Lukman terbangun dari tidurnya. Rasa kantuk belum sepenuhnya hilang. Lebih dari dua puluh empat jam dirinya terjaga dan tak sempat untuk terlelap walau sebentar saja.Kedua tangannya direntangkan semaksimal mungkin. Otot-otot pada tubuhnya masih terasa kaku. Perjalanan yang ia lakukan selama di Jambi dan rute perjalananan yang tak bersahabat membuat seluruh tubuhnya menjadi tegang.Kepalanya pun masih terasa sakit. Berada di medan yang asing baginya adalah pekerjaan yang cukup melelahkan. Namun, semua kerja kerasnya itu terbayar saat ia berhasil mencari lahan ganja milik Bara dan memperluas usaha Adimas.“Bagaimana istirahatmu?” tanya Adimas seraya memberikan gelas champagne berisi wine kepada Lukman.“Lumayan mengembalikan tenaga, Bang. Terlebih kalau ditambah ini,” Lukman mengangkat gelas champagne yang baru saja diterimanya sejajar dengan matanya. Ia menyesap wine itu dengan sek
Liam menghela napasnya dalam-dalam. Ia akhirnya bisa kembali pulang ke indekosnya. Setelah lebih dari sebulan seperti berada di penjara, ia bebas juga. Kondisi di tubuhnya telah membaik. Selain itu, bobot tubuhnya pun bertambah cukup banyak.Apa yang bisa dilakukan oleh mereka yang mengalami cidera selain berbaring dan bersantai-santai? Tak ada. Oleh karena itu, bersantai sebulan lebih membuatnya naik hingga enam kilogram.Liam yang dulu kurus, sekarang nyaris tak terlihat lagi. Perutnya yang semula cekung, kini telah rata dan siap untuk ditempa dengan olahraga.“Liam, saya harap kamu jangan dulu melakukan kegiatan yang memerlukan banyak tenaga. Meski hasil rontgen membuktikan keadaan rusukmu telah membaik, tolong tetap beri waktu lebih untuk tubuhmu melakukan recovery,” ucap dr. Anthony.“Baik, Dok. Saya mengucapkan terima kasih karena telah bersedia untuk mengobati saya sampai tuntas.”“Sama-sama,
Hari ini adalah hari pertama Andini berangkat kuliah. Setelah melalui pertengkaran yang hebat dengan Lukman, akhirnya ia bersedia untuk kembali belajar dan memulai semuanya dari nol.Karena kejadian waktu itu, suasana di mobil menjadi hening. Andini tak berniat untuk membuka suaranya. Ia membuang pandangannya ke luar jendela. Hal serupa juga dilakukan oleh Liam. Ia tak peduli jika Andini marah karena keteguhannya.Bagi Liam, perasaan adalah penghalang baginya untuk membalas dendam. Lagipula, di sana ia tidak bisa melakukan apa pun. Tak ada kartu akses ke pabrik sabu yang dipikirnya bisa dicapainya dengan mudah. Ia juga tak bisa sembarang menggunakan jaringan publik karena segala isi di ponselnya bisa diretas kapan saja oleh orang-orang Adimas. Ia butuh jeda untuk berpikir dan melancarkan sebuah rencana.Setibanya mobil mereka terparkir di lapangan, tanpa basa-basi, Andini langsung bergegas keluar dan menutup pintu mobil dengan sedikit bantingan.
“Andini!” Michelle berhasil menghentikan langkah Andini yang tergesa-gesa meninggalkan kelas. Tiga kali ia menyebut nama itu, hingga akhirnya pemilik nama itu mau menghentikan langkahnya dan diam di tempat untuk beberapa saat.Michelle segera menghampirinya. Perempuan itu berkulit putih, rambutnya lurus sepinggang dengan poni menyamping ke sebelah kiri. Badannya sangat ramping seperti model-model yang sering wara-wiri di televisi.“An.. Bisa kita bicara sebentar?” tanya Michelle lembut.Andini masih diam di tempat. Tubuhnya seketika tak memiliki nyali untuk melakukan tepat seperti apa yang dikatakan Liam sebelumnya. Sebuah genggaman lembut dirasakan Andini saat ia masih gamang untuk menjawab suara Michelle dan menghadapi kenyataan yang ada.“Michelle yang sekarang bukan Michelle yang dulu kamu kenal dan menghancurkan masa sekolahmu, An.” Michelle mengucapkannya dengan suara terpatah-patah. Dari suara itu, Andini harusny
Andini tak mampu menutupi kegirangan yang nampak pada wajahnya. Berjalan di atas hamparan pasir yang luas dengan bertelanjak kaki, membuat dirinya seolah bebas dan tidak terikat dengan apa pun.Ia berlarian tanpa malu-malu. Pasir-pasir yang menjadi alas kakinya seakan menggelitik dan membuatnya kembali menjadi anak kecil. Anak kecil yang mudah bahagia dan tertawa karena hal sederhana.Setelah puas berlarian, ia memejamkan kedua matanya. Kemudian, kedua tangannya direntangkan dan tubuhnya berputar-putar sambil merasakan hembusan angin yang berbisik di telinga.“Mama, aku seperti kembali ke masa lalu,” katanya dalam hati. Euforia yang ia rasakan saat ini, membuatnya seperti menjadi Andini yang lama. Andini yang begitu hangat dengan rasa antusias dan optimis akan hidup yang tidak pasti.Liam memperhatikan apa yang Andini lakukan. Ia senang karena anak kecil yang telah lama tidur di dalam diri Andini, mulai bangun dan timbul bagai
Seorang pria bertubuh tegap dan berambut gondrong muncul dari basemen parkir A&B Guard, memasuki lift dan menekan tombol nomor 6 pada dinding lift. Sambil menunggu lift tersebut ke lantai yang diinginkannya, kakinya berketak-ketuk membentuk sebuah irama. Kebetulan di dalam lift itu hanya ada ia seorang diri.Selain itu, terdapat bekas sayatan sepanjang lima sentimeter di pipi kirinya. Sehingga makin membuat lelaki itu terkesan menyeramkan.Ketika pintu lift itu terbuka, orang kepercayaan Hasan telah bersiap untuk menyambut kedatangannya. “Pak Hasan sudah menunggu Anda.”“Apa kabar, Herman?” tanya Hasan ketika pria itu masuk ke ruangannya dan mengajaknya untuk berjabat tangan.“Baik, Bang Hasan.”“Bagaimana perjalanan dari Jambi? Apakah anak buahku melayanimu dengan baik sewaktu menjemput di bandara?"“Sangat baik, Bang. Bahkan saya tadi dibelikan sarapan terlebih dahulu sebelum tiba di sini
“Andini!” Michelle berhasil menghentikan langkah Andini yang tergesa-gesa meninggalkan kelas. Tiga kali ia menyebut nama itu, hingga akhirnya pemilik nama itu mau menghentikan langkahnya dan diam di tempat untuk beberapa saat.Michelle segera menghampirinya. Perempuan itu berkulit putih, rambutnya lurus sepinggang dengan poni menyamping ke sebelah kiri. Badannya sangat ramping seperti model-model yang sering wara-wiri di televisi.“An.. Bisa kita bicara sebentar?” tanya Michelle lembut.Andini masih diam di tempat. Tubuhnya seketika tak memiliki nyali untuk melakukan tepat seperti apa yang dikatakan Liam sebelumnya. Sebuah genggaman lembut dirasakan Andini saat ia masih gamang untuk menjawab suara Michelle dan menghadapi kenyataan yang ada.“Michelle yang sekarang bukan Michelle yang dulu kamu kenal dan menghancurkan masa sekolahmu, An.” Michelle mengucapkannya dengan suara terpatah-patah. Dari suara itu, Andini harusny