Seorang pria bertubuh tegap dan berambut gondrong muncul dari basemen parkir A&B Guard, memasuki lift dan menekan tombol nomor 6 pada dinding lift. Sambil menunggu lift tersebut ke lantai yang diinginkannya, kakinya berketak-ketuk membentuk sebuah irama. Kebetulan di dalam lift itu hanya ada ia seorang diri.
Selain itu, terdapat bekas sayatan sepanjang lima sentimeter di pipi kirinya. Sehingga makin membuat lelaki itu terkesan menyeramkan.
Ketika pintu lift itu terbuka, orang kepercayaan Hasan telah bersiap untuk menyambut kedatangannya. “Pak Hasan sudah menunggu Anda.”
“Apa kabar, Herman?” tanya Hasan ketika pria itu masuk ke ruangannya dan mengajaknya untuk berjabat tangan.
“Baik, Bang Hasan.”
“Bagaimana perjalanan dari Jambi? Apakah anak buahku melayanimu dengan baik sewaktu menjemput di bandara?"
“Sangat baik, Bang. Bahkan saya tadi dibelikan sarapan terlebih dahulu sebelum tiba di sini
“Andini!” Michelle berhasil menghentikan langkah Andini yang tergesa-gesa meninggalkan kelas. Tiga kali ia menyebut nama itu, hingga akhirnya pemilik nama itu mau menghentikan langkahnya dan diam di tempat untuk beberapa saat.Michelle segera menghampirinya. Perempuan itu berkulit putih, rambutnya lurus sepinggang dengan poni menyamping ke sebelah kiri. Badannya sangat ramping seperti model-model yang sering wara-wiri di televisi.“An.. Bisa kita bicara sebentar?” tanya Michelle lembut.Andini masih diam di tempat. Tubuhnya seketika tak memiliki nyali untuk melakukan tepat seperti apa yang dikatakan Liam sebelumnya. Sebuah genggaman lembut dirasakan Andini saat ia masih gamang untuk menjawab suara Michelle dan menghadapi kenyataan yang ada.“Michelle yang sekarang bukan Michelle yang dulu kamu kenal dan menghancurkan masa sekolahmu, An.” Michelle mengucapkannya dengan suara terpatah-patah. Dari suara itu, Andini harusny
Selama beberapa waktu menghabiskan waktu untuk membuntuti Hendri, Ali akhirnya diperintahkan oleh Adimas untuk membawa Hendri ke pabrik sabu miliknya.Hujan turun rintik-rintik. Sepulangnya dari kerja, Hendri pamit kepada Ibu dan dua adiknya untuk membeli makanan di depan gang kontrakan mereka. Sambil memayungi diri sendiri dengan payung reyot yang tipnya sudah lepas di beberapa strechernya, ia dengan semangat menelusuri gang setapak yang sudah dibasahi air hujan.Langkahnya tegas ketika melihat seseorang berpakaian serba hitam menunggunya tak jauh dari kontrakan. Tangannya mulai menggenggam erat handle payung, otot-otot pada tubuhnya mulai dilemaskan.Pria itu menghampiri dengan langkah seolah ingin menyerang. Hendri dengan sigap langsung memasang kuda-kuda dan menyerang lebih dulu. Ia meletakkan payungnya di sisi gang dan bersiap. Beberapa saat kemudian, ia melepaskan tendangan lurus ke depan dengan mengandalkan telapak kakinya sebagai senjata utama. Pria berp
Saat Andini turun dari mobil yang dikemudikan Liam, tanpa disadari, Michelle telah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Andini,” sapa Michelle sambil sesekali mencuri pandang ke dalam mobil. Sepasang matanya berusaha keras untuk menembus gelapnya kaca film yang melapisi Marcedez Bens S-Class itu agar bisa melihat pria yang sedang duduk di kursi sopir.“Selamat pagi, Micelle,” balas Andini sekenanya. Ia berusaha menyimpan tanda tanya besar di kepala akan kedatangan Michelle.Andini mulai berjalan untuk memasuki kelas. Ia sempat berbalik badan dan memandang kaca depan mobil tersebut sambil melambaikan tangan. Tak lama lambaian tangan itu tersampaikan, terdengar klakson tipis dari mobil tersebut.“Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini, An?” tanya Michelle yang berupaya menyamakan langkah.“Sebentar,” jawabnya seraya merogoh ponsel di resleting paling depan tas miliknya. Ia membuka jadwal kuliahnya
“Apa yang kamu cari?” tanya Samuel. Ia menarik Michelle ke ruang garasi saat perempuan itu turun ke bawah. Amarah dan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Michelle dalam kehidupan Andini benar-benar ditunjukkannya saat mereka berdua.“Aku tidak mencari apa-apa! Bisakah kamu percaya sekali lagi saja padaku tanpa ada rasa curiga yang tersirat?!”“Bagaimana aku tidak mencurigaimu setelah apa yang kamu lakukan kepadanya?!” tangan kanan Samuel terangkat dan mengarah ke pintu hubung garasi tersebut dengan ruang tengah Adimas seolah-seolah menunjuk kepada Andini.“Itu terjadi 8 tahun yang lalu. Kamu tidak tahu betapa aku sangat menyesalinya, Sam! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu lagi. Apa itu salah?”“Salah,” jawabnya lantang, “kaca yang telah retak tidak bisa kembali seperti semula.”Michelle lemas akan kekerasan hati Samuel. Ia kembali mengingat kejadian itu. Sehari setelah
Michelle tak mampu mengedipkan matanya saat ia melihat Liam yang sedang bertelanjang dada. Ia menelan ludah. Ia menyesal mengapa tak mengikuti saran dari Samuel dan malah berusaha mengikuti Samuel yang masuk ke pintu terhubung menuju garasi.Saat ia masuk melalui pintu penghubung itu, ia tak menemukan seorang pun berada di dalam sana. Semua terjadi begitu cepat. Seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar mandi dari dalam dan dialah orangnya. Dialah yang menjadi alasan Michelle ingin menghabiskan waktu bersama Andini. Dialah yang diam-diam disukai Michelle setelah delapan tahun mengosongkan hatinya dari pria mana pun.Sorot mata itu justru yang membuat dadanya berdegub tak karuan. Sorot mata itu yang membuatnya penasaran bnkan main.“Maaf. Aku tidak tahu kalau kamu ada di sini.” Secepat kilat Michelle menundukkan kepala dan memalingkan pandangannya ke bawah.“Maaf untuk?” tanya Liam sambil mengeringkan tubuhnya yang basah dengan handuk
Liam tiba di kamar indekosnya tak kurang dari tiga puluh setelah mengantar Michelle pulang. Ia bergegas meletakkan perlengkapannya dan membiarkan sepatunya tergeletak begitu saja demi bisa membalas pesan Andini.“Saya sudah sampai,” balasnya cepat. “Cepat sekali,” balas Andini tak sampai lima menit kemudian. Ia memang menunggu balasan pesan meski tahu kalau Liam tak akan membalas pesan panjang seperti yang didapatkannya dari teman pria yang pernah dekat dengannya selama di Singapura.“Kamu sudah makan?”Kamu sudah makan. Andini mengeja ulang pesan yang dikirimkan Liam untuk memastikan kalau balasan yang diterimanya adalah sebuah kebenaran bukan mimpi yang sering terjadi dalam tidurnya. Sejurus kemudian, ia melompat kegirangan. Bukan main bahagianya. “Sudah. Kamu?” balas Andini sambil senyum-senyum sendiri.“Belum. Saya baru ingin merebus mie,” balasnya.
“Tidur kamu nyenyak?” tanya Andini.“Hmm..”“Tadi pagi bangun jam berapa?”“4.30”“Pagi sekali..”“Ya. Saya harus lari pagi untuk menjaga stamina.”“Saya?”“Oh ya. Aku harus lari pagi untuk menjaga stamina dan melindungi kamu.”Andini memalingkan wajahnya ke jendela. Ia mengulum bibirnya berkali-kali. Keinginan itu tiba-tiba ada dan semakin besar. Dengan cepat, tangannya meraih tangan Liam dan memberanikan diri untuk menggenggamnya.Liam terkejut dan menoleh kepada Andini dengan sorot tanda tanya besar.“Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menyukaimu, Liam.” Tangan Andini semakin erat menggenggam seolah takut kehilangan.Liam bergeming. Ia membiarkan tangan kirinya digenggam Andini. Kali ini, jantungnya dibuat berdegub hebat. Di satu sisi, ia tersanjung dan
Setelah Andini masuk ke kelasnya, Liam melamun di dalam mobil. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah tindakannya yang membiarkan perasaannya sendiri bertumbuh tidak akan membuat dirinya makin jatuh ke dalam? Apakah perasaan yang seharusnya tidak pernah ada itu justru akan membahayakan dirinya dan Andini?Sekali-sekali ia tidak akan membiarkan Andini terluka. Ia mencintai gadis itu tulus adanya. Ia mencintainya karena memang mencintainya. Tanpa syarat. Tanpa niat untuk mengambil apa-apa.Ia memandang cakrawala yang terik padahal waktu belum menunjukkan pukul delapan pagi. Sinar yang menyengat dan kebetulan memarkirkan mobilnya di tempat yang berhadapan langsung, membuatnya tak betah menunggu Andini menyelesaikan kelasnya hari ini. Bergegas ia keluar dari mobil dan berniat untuk mencari udara segar akan rumitnya pikiran saat ini.“Liam…,” panggil Michelle yang tiba-tiba ada tak jauh dari posisinya.“Ya?&rdqu