Saat Andini turun dari mobil yang dikemudikan Liam, tanpa disadari, Michelle telah menunggu kedatangannya.
“Selamat pagi, Andini,” sapa Michelle sambil sesekali mencuri pandang ke dalam mobil. Sepasang matanya berusaha keras untuk menembus gelapnya kaca film yang melapisi Marcedez Bens S-Class itu agar bisa melihat pria yang sedang duduk di kursi sopir.
“Selamat pagi, Micelle,” balas Andini sekenanya. Ia berusaha menyimpan tanda tanya besar di kepala akan kedatangan Michelle.
Andini mulai berjalan untuk memasuki kelas. Ia sempat berbalik badan dan memandang kaca depan mobil tersebut sambil melambaikan tangan. Tak lama lambaian tangan itu tersampaikan, terdengar klakson tipis dari mobil tersebut.
“Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini, An?” tanya Michelle yang berupaya menyamakan langkah.
“Sebentar,” jawabnya seraya merogoh ponsel di resleting paling depan tas miliknya. Ia membuka jadwal kuliahnya
“Apa yang kamu cari?” tanya Samuel. Ia menarik Michelle ke ruang garasi saat perempuan itu turun ke bawah. Amarah dan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Michelle dalam kehidupan Andini benar-benar ditunjukkannya saat mereka berdua.“Aku tidak mencari apa-apa! Bisakah kamu percaya sekali lagi saja padaku tanpa ada rasa curiga yang tersirat?!”“Bagaimana aku tidak mencurigaimu setelah apa yang kamu lakukan kepadanya?!” tangan kanan Samuel terangkat dan mengarah ke pintu hubung garasi tersebut dengan ruang tengah Adimas seolah-seolah menunjuk kepada Andini.“Itu terjadi 8 tahun yang lalu. Kamu tidak tahu betapa aku sangat menyesalinya, Sam! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu lagi. Apa itu salah?”“Salah,” jawabnya lantang, “kaca yang telah retak tidak bisa kembali seperti semula.”Michelle lemas akan kekerasan hati Samuel. Ia kembali mengingat kejadian itu. Sehari setelah
Michelle tak mampu mengedipkan matanya saat ia melihat Liam yang sedang bertelanjang dada. Ia menelan ludah. Ia menyesal mengapa tak mengikuti saran dari Samuel dan malah berusaha mengikuti Samuel yang masuk ke pintu terhubung menuju garasi.Saat ia masuk melalui pintu penghubung itu, ia tak menemukan seorang pun berada di dalam sana. Semua terjadi begitu cepat. Seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar mandi dari dalam dan dialah orangnya. Dialah yang menjadi alasan Michelle ingin menghabiskan waktu bersama Andini. Dialah yang diam-diam disukai Michelle setelah delapan tahun mengosongkan hatinya dari pria mana pun.Sorot mata itu justru yang membuat dadanya berdegub tak karuan. Sorot mata itu yang membuatnya penasaran bnkan main.“Maaf. Aku tidak tahu kalau kamu ada di sini.” Secepat kilat Michelle menundukkan kepala dan memalingkan pandangannya ke bawah.“Maaf untuk?” tanya Liam sambil mengeringkan tubuhnya yang basah dengan handuk
Liam tiba di kamar indekosnya tak kurang dari tiga puluh setelah mengantar Michelle pulang. Ia bergegas meletakkan perlengkapannya dan membiarkan sepatunya tergeletak begitu saja demi bisa membalas pesan Andini.“Saya sudah sampai,” balasnya cepat. “Cepat sekali,” balas Andini tak sampai lima menit kemudian. Ia memang menunggu balasan pesan meski tahu kalau Liam tak akan membalas pesan panjang seperti yang didapatkannya dari teman pria yang pernah dekat dengannya selama di Singapura.“Kamu sudah makan?”Kamu sudah makan. Andini mengeja ulang pesan yang dikirimkan Liam untuk memastikan kalau balasan yang diterimanya adalah sebuah kebenaran bukan mimpi yang sering terjadi dalam tidurnya. Sejurus kemudian, ia melompat kegirangan. Bukan main bahagianya. “Sudah. Kamu?” balas Andini sambil senyum-senyum sendiri.“Belum. Saya baru ingin merebus mie,” balasnya.
“Tidur kamu nyenyak?” tanya Andini.“Hmm..”“Tadi pagi bangun jam berapa?”“4.30”“Pagi sekali..”“Ya. Saya harus lari pagi untuk menjaga stamina.”“Saya?”“Oh ya. Aku harus lari pagi untuk menjaga stamina dan melindungi kamu.”Andini memalingkan wajahnya ke jendela. Ia mengulum bibirnya berkali-kali. Keinginan itu tiba-tiba ada dan semakin besar. Dengan cepat, tangannya meraih tangan Liam dan memberanikan diri untuk menggenggamnya.Liam terkejut dan menoleh kepada Andini dengan sorot tanda tanya besar.“Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menyukaimu, Liam.” Tangan Andini semakin erat menggenggam seolah takut kehilangan.Liam bergeming. Ia membiarkan tangan kirinya digenggam Andini. Kali ini, jantungnya dibuat berdegub hebat. Di satu sisi, ia tersanjung dan
Setelah Andini masuk ke kelasnya, Liam melamun di dalam mobil. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah tindakannya yang membiarkan perasaannya sendiri bertumbuh tidak akan membuat dirinya makin jatuh ke dalam? Apakah perasaan yang seharusnya tidak pernah ada itu justru akan membahayakan dirinya dan Andini?Sekali-sekali ia tidak akan membiarkan Andini terluka. Ia mencintai gadis itu tulus adanya. Ia mencintainya karena memang mencintainya. Tanpa syarat. Tanpa niat untuk mengambil apa-apa.Ia memandang cakrawala yang terik padahal waktu belum menunjukkan pukul delapan pagi. Sinar yang menyengat dan kebetulan memarkirkan mobilnya di tempat yang berhadapan langsung, membuatnya tak betah menunggu Andini menyelesaikan kelasnya hari ini. Bergegas ia keluar dari mobil dan berniat untuk mencari udara segar akan rumitnya pikiran saat ini.“Liam…,” panggil Michelle yang tiba-tiba ada tak jauh dari posisinya.“Ya?&rdqu
Di kedai kopi yang ukurannya tak terlalu besar, berpengunjung sedikit serta jauh dari keramaian, Adimas duduk sendirian menunggu Ali membawakan informasi untuknya. Sambil menunggu, ia membuka galeri ponselnya dan melihat foto-foto Andini kecil yang lucu nan menggemaskan.“Kamu tumbuh menjadi putri yang sangat cantik, Nak. Papa tidak bisa melupakan betapa bahagianya Papa memilikimu.” Adimas mengusap-usap wajah Andini yang diperbesar pada layar ponselnya.Ingatannya akan putrinya terekam jelas. Waktu boleh memudarnya akan kenangan masa muda, tapi tidak dengan setiap detik pertumbuhan Andini yang sangat menggemaskan. Andini tidak berubah, wajahnya seperti Melisa. Melihat Andini dewasa, Adimas seperti melihat mendiang isterinya sendiri.“Melisa, andai kamu tahu, aku sangat merindukanmu. Jika waktuku sudah tiba, Andini telah bertemu dengan pasangan yang mampu menjaganya, kita akan bertemu lagi, Sayang..” Adimas membelai foto Melisa yang menjadi wall
Ali akhirnya tahu di mana indekos Liam berada. Liam menyadarinya. Padahal jarak indekos itu sudah diperhitungkan agar tak dekat dengan jangkauan Adimas dan para pengikutnya. Akan tetapi, Ali yang merupakan mantan anggota, mampu menemukan indekos Liam lebih cepat dari yang Liam kira.“Ali sudah tahu lokasi saya, Kapten.” Liam memberitahukannya langsung kepada Pak Leo melalui sambungan telepon.Di seberang sana, Pak Leo mengepal tangannya kuat-kuat sambil memandang ke luar jendela. “Apakah dia menghalangimu untuk mendapatkan informasi? Hampir 6 bulan kamu berada di sana dan tidak memberikan informasi baru.”Liam merasa tersinggung mendengarnya. Dia hampir mati karena misi ini. Karena misi yang diberikan Pak Leo juga menyebabkan Liam jatuh cinta dan tenggelam pada rasa yang terlarang. “Liam. Apa dia menghalangimu? Jawab saya.“ Pak Leo mengulang pertanyaannya sekali lagi karena Liam hanya terdiam dan membia
Motor hitam Ali berkelok-kelok dari jalan satu ke jalan yang lain. Pak Leo dengan beraninya membuntuti Ali tanpa sedikitpun rasa takut. Mengandalkan alat pelacak yang telah dipasang Liam di bawah tangki motor besarnya, Pak Leo bisa mengetahui di mana saja Ali bertandang.Di sebuah perempatan jalan yang sepi, Pak Leo menjalankan misinya. Sepuluh anak buah yang lain telah mempersiapkan diri untuk mengepung Ali. Tak ada jalan kembali, misi ini harus berhasil sebab nyawa Liam yang menjadi taruhannya.“Ingat, apapun yang terjadi, misi ini tidak boleh gagal!” perintah Pak Leo kepada semua anak buahnya.Ketika Ali berbelok ke arah Selatan dan melintasi deretan pepohonan yang sunyi dan sepi, lima pemotor dari arah berlawanan menuju ke arahnya. Menyadari ada yang tidak beres, Ali mencoba untuk melarikan diri dan memutar balik. Akan tetapi, ia terlambat, Pak Leo dan lima anak buahnya sudah berada di belakangnya.DorSuara temb