Kami mencari penginapan terdekat. Karena hari sudah sore. Kami tak lupa mencari hotel yang bagus karena tidak setiap hari kami tidur di hotel."Mas, bayar dong," kataku."Kamu aja yang bayar," kata Mas Arfan.Dalam hati aku dongkol tapi mau gimana lagi dari pada berantem lebih baik aku mengalah saja.Sehabis isyak, kami makan direstauran hotel. Mas Arfan memesan banyak makanan untuk kami bertiga."Banyak amat, Mas. Apa akan habis?" tanyaku."Kita makan aja, lagian kapan lagi kita bisa jalan bertiga begini," jawab Mas Arfan.Aku menurut saja karena tak mau ribut di depan Kiara. Selesai makan kami kembali ke kamar dan istirahat. Besok baru kami jalan-jalan.***Kami sampai di tempat kami jalan-jalan, ku lihat Mas Arfan memegangi ponselnya."Mas, ini waktu kita bersama. Aku harap Mas jangan hubungi Ana," kataku."Tapi...ya sudah biar aku matikan saja ponselku," kata Mas Arfan lalu menonaktifkan ponselnya san menyimpannya di tas kecil yang dia bawa.Kami menemani Kiara bermain, setelah it
Sehabis salat isyak aku berhias, aku memoles wajahku dengan bedak dan lipstik. Entah mengapa aku ingin tampil maksimal padahal Pak Willi hanya mengajakku makan malam bersama."Kinan, kamu mau ke mana?" tanya Mas Arfan."Oh itu, Pak Willi mengajakku makan malam di rumah Putra," jawabku."Hanya kamu sendiri yang diundang?" tanya Mas Arfan. Dia terlihat tidak suka dengan adanya makan malam ini."Kalau tidak aku sendiri siapa lagi, Mas. Masa iya ngajak kamu," ucapku."Siapa tahu Kiara juga disuruh ikut," kata Mas Arfan."Tidak, mungkin mau bicara masalah pekerjaan jadi hanya aku yang diundang," kataku.Mas Arfan terdiam, aku pamit padanya. Setelah itu aku pamit pada Kiara.***Sampai di rumah Putra, aku melihat mobil Pak Willi sudah parkir di sana. Aku langsung saja memencet bel. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu."Sudah di tunggu tuan, Non," kata wanita itu.Aku di bawa ke ruang keluarga. Di sana ada Pak Willi, Bu Kamila istri Pak Willi dan Putra."Selamat malam," sapaku."Malam
Hari kedua Putra memaksa untuk menjemputku. Aku sudah menolak tapi kata Putra dia tidak menerima menolakan."Bu, ada Pak Putra jemput ibu," kata Bibik saat kami tengah sarapan."Kamu di jemput?" tanya Mas Arfan. "Kenapa Putra harus jemput segala, lalu gimana dengan Kiara?" tanya Mas Arfan."Dia tetap berangkat denganku, sebenarnya aku sudah menolak tapi nyatanya Putra tetap jemput aku," jawabku."Mama, Om Putra ke sini? Asyik bisa bareng Om Putra," sahut Kiara."Kiara jangan dekat sama Putra. Dia itu orang lain," tegur Mas Arfan.Aku dan Kiara berpamitan, Mas Arfan mengantar kami sampai depan."Putra, awas saja kamu macam-macam dengan Kinan," ucap Mas Arfan."Jangan khawatir, Pak Arfan! Saya bukan tipe pebinor," balas Putra.Kami berangkat mengantar Kiara dulu, Kiara terlihat senang bisa bersama Putra. Entah, Putra punya pesona apa sehingga Kiara nempel padanya."Sepertinya kamu sayang dengan anak kecil. Kenapa gak menikah aja?" tanyaku."Belum ada yang cocok, kan gak harus menikah ju
"Eh Kinan, belum tidur ya," kata Mas Arfan mengalihkan pembicaraan."Siapa Mas yang dimanfaatkan?" tanyaku."Oh itu temanku, bisa aja di manfaatnya," jawabnya. "Sudah malam, ayo kita tidur!" ajak Mas Arfan merangkulku.Mas Arfan mendadak aneh dan bersikap sok manis. Apa karena aku sudah meminjami dia uang? Mungkin saja.Kami tidur bersama, Mas Arfan mencoba menggodaku. Tapi aku malah memutuskan untuk tidur terlebih dulu.Esoknya, aku berangkat di jemput Putra. Aku melewati kantor Mas Arfan. Aku ingin coba mendatanginya sebentar."Putra, boleh aku mampir ke tempat kerja Mas Arfan?" tanyaku pada Putra yang tengah menyetir."Boleh, di mana kantornya?" tanya Putra."Itu depan sana," jawabku."Oh dia perusahaan Adijaya?" tanya Putra."Iya, kamu tahu perusahaan itu?" tanyaku."Iya, dia teman baik papa," jawab Putra. "Sudah sampai, silahkan kalau mau ketemu Arfan!" perintah Putra.Aku ke luar dari mobil sementara Putra masih menunggu di parkiran. Aku mencari Mas Arfan, ku lihat dia sedang m
"Kinan...Kinan...," panggil Mas Arfan.Aku berjalan menyeret koperku dan koper Kiara ke luar rumah."Maksud kamu apa? Kamu mau minggat?" tanya Mas Arfan marah."Kenapa tidak? Untuk apa bertahan dengan suami pelit dan tukang poligami? Di tambah lagi tukang nipu istri. Anggap saja uang hasil jual mobil adalah untuk biaya hidup Kiara nanti," ucapku. "Sebenarnya tak cukup sih, tapi dari pada aku dimanfaatkan terus," kataku."Siapa yang memanfaatkan kamu, Kinan?" tanya Mas Arfan mengikuti aku yang sudah ke luar rumah. Ana mengikuti Mas Arfan."Aku dengar sendiri saat kamu berbicara dengan temanmu. Kamu memanfaatkan aku agar bisa mendapatkan uangku. Apalagi kamu tahu aku sudah naik jabatan," jawabku."Kamu salah faham," sanggah Mas Arfan."Mbak Kinan, tolong dibicarakan baik-baik. Jangan ambil keputusan dalam keadaan emosi," kata Ana."Aku tidak emosi, Ana. Tapi aku kesal karena aku ditipu suamiku sendiri. Sekarang aku serahkan Mas Arfan padamu, Ana," ucapku."Sekarang kamu jujur, Mas. Apa
Pagi sekali Mas Arfan datang ke rumah mama. Dia membujukku agar mau pulang lagi. Alasannya karena dia tidak mau Kiara tidak punya papa dan jadi korban broken home."Ayolah Kinan! Kita rujuk kembali!" ajak Mas Arfan. "Jangan kamu pentingkan perasaan kamu saja. Pikirkan Kiara juga," kata Mas Arfan.Mama hanya diam, tapi aku malas sekali rujuk dengan pria pelit seperti Mas Arfan."Maaf, Mas. Lima tahun rasanya udah cukup buat aku hidup sama kamu. Aku yakin bisa membahagiakan Kiara meskipun tanpa kamu," ucapku."Kinan, kamu jangan egois. Itu menurut kamu, tapi pada kenyataannya Kiara tetap butuh aku sebagai papanya," bantah Mas Arfan."Kalau dia butuh kamu, tinggal datang dan menginap di rumah kamu. Tapi maaf untuk kembali aku tak bisa," kataku tegas."Mbak, Tolong kembali pada Mas Arfan!" pinta Ana."Apa kalau aku kembali pada Mas Arfan, kamu mau meninggalkan Mas Arfan? Tidak, kan?" tanyaku sinis. "Harusnya kamu senang karena bisa menjadi istri satu-satunya Mas Arfan," ucapku."Kinan, ka
Aku pagi ini sengaja izin untuk masuk setengah hari pada Putra. Aku akan mengurus pengajuan cerai ke pengadilan.Aku bingung saat menyiapkan berkasnya, ternyata buku nikah yang sudah aku siapkan tidak ada. Padahal saat aku pergi dari rumah Mas Arfan aku sudah menaruhnya di dalam tas baju."Kinan, kamu kenapa bingung?" tanya Mama."Buku nikahku hilang, Ma," jawabku. "Padahal aku udah taruh di tas baju," sambungku."Mungkin udah kamu ambil, tapi kamu lupa naruh," kata mama.Seingat aku, buku nikah itu belum aku ambil dari tas. Aku menjadi takut jika aku gagal ngajuin cerai karena buku nikah hilang.Aku tetap berangkat ke pengadilan agama. Dan mereka memintaku untuk mengurus duplikat akta perkawinan ke kantor KUA. Jadi aku segera ke kantor KUA.Setelah mendapatka duplikat akta perkawinan dari KUA, aku kembali ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan.Aku bahkan sudah menyenangkan hasil visum, ya aku pernah melakukan visum secara diam-diam saat Mas Arfan melakukan KDRT."Syarat penga
Seterah hinaan mama pada Mas Arfan di rumah sakit. Dia tak lagi berani menampakkan batang hidungnya lagi. Bahkan Anapun tak menghubungiku lagi.Surat mediasi dari pengadilan sudah datang. Aku di temani mama dan pengacara mendatangi proses mediasi.Mas Arfan datang bersama Ana. Dia pasti tak berani memberitahu keluarganya."Apa kalian memang yakin akan bercerai?" tanya pegawai pengdilan yang ada di acara mediasi."Yakin, Pak. Saya sudah tidak bisa bertahan dengan pria kasar seperti dia. Bahkan nafkas saja dia berikan secara pas-pasan. Apalagi sejak dia memutuskan poligami, dia tidak pernah adil padaku," jawabku mantap."Bagaimana dengan Pak Arfan?" tanyanya."Saya juga sudah yakin, Pak. Saya tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak bisa menghargai suaminya," jawab Mas Arfan.Aku sedikit terkejut saat Mas Arfan bilang seperti itu. Namun, gak masalah asal perceraian cepat selesai."Jika kalian bercerai, bagaimana dengan hak asik anak?" tanyanya."Saya akan membesarkan anak saya sendiri,