“Nun!” Pak Yasin tampak sumringah meski selang-selang medis masih terpasang di tubuhnya.
“Apa kabar, Kek?” sapa Nun ramah.
“Akhirnya kamu datang juga ... Kakek senang sekali. Rasanya seperti ketemu neneknya Alif. Jadi berasa muda lagi.”
Nun memberinya senyum manis.
“Kakek sudah minum obat?”
“Sudah ... sudah bosan malah.” Dia terkekeh kemudian batuk-batuk.
Alif mendekat dan mengambilkan air minum. “Kalau sudah tua dan sakit-sakitan begini, Kakek jadi merepotkan kamu, ya ....”
“Enggak, Kek. Alif juga merepotkan Kakek sejak kecil. Sekarang giliran Kakek ngerepotin ... Alif ridho.”
Nun yang menyaksikan pasangan cucu-kakek itu dengan mata berkaca-kaca. Persis seperti saat-saat dia dan bapaknya nonton sinetron yang mengandung bawang. Dia tidak sangka Alif yang temperamental itu ternyata bisa bersikap lembut juga.
“Kakek istirahat dulu, ya!” Alif memasangkan selimut ke tubuh sang Kakek. Namun, Kakeknya justru memanggil
Nun tidak bisa bicara apa-apa kepada Bapaknya. Ketika pagi menjelang, dia berangkat kerja dengan mata sembab. Tepat di mulut gang Sabar, terlihat bapaknya sudah mangkal berjualan ketoprak.“Nun!” panggil Pak Sabar seperti biasa.Nun menghampirinya.“Nih ketopraknya!”Diambilnya bungkusan tersebut. Disalaminya sang Bapak karena dia mau berpamitan untuk berangkat kerja. Eh ... tiba-tiba seseorang memanggilnya.“The Nun!” Suaranya tidak asing.Begitu Nun menoleh, tampak lah wajah baby face milik Park Seo Joon kw. Lelaki itu tengah duduk di bangku sambil memangku sepiring ketoprak.Bukan hanya Nun, Pak Sabar yang tengah menyusun piring untuk pelanggan pun menoleh kepada pemuda bersetelan jas necis yang sudah menghabiskan setengah porsi ketoprak buatannya itu.Mata Nun yang tadinya sayu karena kebanyakan menangis, mendadak terbuka sempurna. Nyata dan bukan mimpi, itu Alif. Dia duduk di bangku kayu
Hai, maaf ya, lama tidak update. Terima kasih sudah bersedia mampir dan membaca cerita ini.Sebelumnya, saya ucapkan, "Salam kenal" :)Biro Jodoh Pangkalan Hati adalah novel kedua yang saya tulis. Ceritanya ringan dan menghibur. Memang sengaja sih biar pembaca enggak stress :DIni tuh romance comedy yang maksa lucu. Oopz ... maaf ya, kalau ternyata jadinya crispy kriuk-kriuk gitu. Tidak usah diambil pusing deh, ya. Nikmati aja :)Silakan ikuti kisah Nun-Alif-Kafka dengan nyaman. Saya berharap pembaca senang dengan ceritanya. Semoga pembaca semua diberikan keluasan rezeki untuk top-up dan bisa membuka gembok setiap bab-nya.Oh iya, saya juga akan sangat senang sekali jika pembaca bersedia memberikan ulasan, komentar, rate, atau vote untuk cerita ini.Jangan berhenti di sini, ya, ceritanya masih berlanjut kok. Baca sampai tamat, ya!
“Batalkan semua agenda saya hari ini,” titah Alif kepada asistennya via telepon. Dia langsung turun dari mobil dan meninggalkan parkiran. Secepatnya menyusul Nun menuju lobi Pangkalan Hati.Sepanjang jalan keringatnya mengucur deras di dahi. Dia tidak sabar bertemu Kafka saat ini juga meski jantungnya berdebar tidak karuan karena mengingat perbincangannya beberapa waktu lalu dengan pemilik Biro Jodoh tersebut.“Gue enggak suka lu perlakukan The Nun seperti wanita murahan kayak gitu!” hardik dia saat menemui Kafka di luar kantor, sehari setelah dia memergokinya di taman kota.“Sabar, Bro! Ada apa sebenarnya?”“Lu nikung jodoh gue, Ka!”“Maksud lu apa?”“Lu pikir aja sendiri! Buat apa lu bangun Biro Jodoh, tetapi malah ngancurin jodoh klien lu sendiri?”Saat itu Kafka mengerjap-ngerjapkan mata. Namun, Alif membacanya sebagai sebuah kepura-puraan semata.&ldqu
Nun memutuskan keluar sebentar dari kantor untuk membeli obat sakit kepala di warung terdekat. Migrainnya kumat akibat terlalu memikirkan masa lalu dan masa depan.Ketika tiba di lobi, dia melihat Alif duduk di kursi tunggu dengan gayanya yang bak sedang berfose sebagai foto model. Dia melirik tempat Nun berdiri lalu serta merta memposisikan adab duduk manis.“Kamu pulang saja!” titah Nun. Dia merasa kasihan mengetahui lelaki itu ternyata menunggu Kafka di lobi sejak pagi hingga siang bolong begini.“Gue lagi santai, ko,” elak dia dengan gaya so coolnya.“Kamu enggak kerja atau kurang kerjaan?” tanya Nun. Dia benar-benar penat dan pening, apalagi melihat senyuman Alif.“Kan gue yang ngatur kerjaan orang-orang. Terserah gue mau kerja apa enggak. Gue enggak bakal kurang kerjaan ko walaupun enggak kerja!”“Shombhong amat,” oceh Nun dalam hati. Dia hampir lupa, Alif itu cucu sultan. Sul
Hari itu Kafka tidak hadir. Nun sudah menghubunginya, tetapi tidak ada jawaban. Alif bahkan seharian itu mencoba menelepon Kafka, tetapi semua panggilannya diblokir. 33 kali, sebanyak butir tasbih. Sebanyak itu pula panggilan telepon dari Alif tertolak.Anggap saja dia kurang kerjaan, tetapi dia bukan orang yang mudah menyerah. Alif tidak akan pasrah meskipun tanda-tanda restu Kafka sepertinya jauh dari jangkauan.“Kafka pasti marah sama gue gara-gara kejadian waktu itu!” pikir Alif.Dia akhirnya tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan sebuah rencana.***Malam harinya, Kafka memberi kabar kepada Nun bahwa dia ada urusan keluarga di luar kota. Dia sedang melakukan mediasi dengan keluarga besar ayahnya soal Nun, adik yang baru diketahui keberadaannya setelah sekian tahun.“Ayah sudah lama meninggal. Saya sendiri diasuh oleh Om dan Tante, adiknya ayah. Mereka tinggal di luar kota. Jadi, kemarin saya ke sana untuk berdiskus
Pekerjaan tidak terlalu banyak, tetapi perkataan Kafka masih membekas di kepala. Nun bingung harus bagaimana. Bicara dengan Bapak akan jadi dilema.Sejak kecil Nun tidak pernah jauh dari rumah. Hendak menginap di rumah teman saja pasti langsung disusul bapaknya. Pernah ada kegiatan kemping –agenda Pramuka di sekolah– tiga hari dua malam. Selama itu juga setiap hari Bapaknya datang menjenguk dia, membuat Nun habis-habisan diledek panitia, tetapi dipuji teman-temannya karena tiap kali datang, Bapak pasti bagi-bagi makanan.Nun jadi kangen Pak Sabar, padahal dia baru pamitan kepada orang tuanya itu 30 menit yang lalu. Dibukanya bungkusan ketoprak yang jadi jatah sarapannya.Dalam satu suapan saja, Nun akhirnya mengakui Alif benar. Ketoprak buatan bapaknya memang yang paling enak sejagad raya. Tiada tanding. Tidak heran pegawai Biro Jodoh Pangkalan Hati tidak bosan memesan ketoprak setiap pagi.“Sarapan ketoprak tuh mengenyangkan,” kat
Sore hari setibanya Nun di rumah, Bapak menyambutnya dengan semringah.“Buruan mandi, ganti baju yang rapi! Jangan lupa dandan yang cantik!” kata Pak Sabar.“Memangnya ada apa, Pak?”“Kan malam ini calon mantu Bapak mau lamaran ke sini.”Nun serasa kena serangan jantung. “Maksud Bapak apa?”“Memangnya Alif enggak cerita? Dia mau bawa keluarganya ke sini buat lamaran secara resmi.”Nun membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya kebat-kebit tidak karuan. Ingin dia menggigit sepatu bututnya saat itu juga. Namun keburu dihardik bapaknya.“Buruan beres-beres. Bapak mau ambil kue dari Ceu Saodah, sekalian manggil Pak RT buat jadi saksi.”“Bapak ....” Nun teriak sambil menangis.“Terharunya nanti aja. Bapak lagi buru-buru ini. Bapak pamit dulu!”“Bapaaak ....”Nun segera mengambil gawai dan membuka deretan pes
Di ruang tamu mungil rumah Pak Sabar, Alif berhaha-hihi dengan Pak RT dan rombongan yang dibawanya. Mereka adalah pengurus rumah dan orang-orang kepercayaan kakeknya, mulai dari kepala ART, hingga satpam. Semuanya diperkenalkan Alif sebagai keluarganya.Pak Sabar dan Pak RT juga kini mengetahui bahwa ketergesaan pemuda itu melamar Nun adalah karena kakeknya sedang sakit. Mereka pun bersepakat bahwa acara pernikahan akan dilangsungkan paling lambat sebulan setelah lamaran ini.Nun langsung permisi ke belakang karena tidak tahan dengan semua yang serba dadakan ini. Perutnya mual. Ketika dia kembali, Alif tampak santai menikmati kue basah yang dihidangkan. Nun langsung mendekatinya untuk bicara empat mata.“Kamu tuh banar-benar gila, ya! Enggak mirikin perasaan saya?” kata dia setengah bergumam karena tidakut didengar orang.“Emang lu mikirin perasaan gue?” balas Alif santai saja.“Memang kamu punya perasaan?” timpa