Share

2. Resmi Cerai

“Dasar wanita mandul!”

Ucapan Renal dan ibunya masih saja terngiang di kepala Sera, meski beberapa hari sudah berlalu. Kata-kata itu menancap di hatinya dalam-dalam, entah kapan bisa dipulihkan.

“Aku wanita tegar, aku kuat,” ucap Sera menyemangati dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam.

Tapi, ya Allah, wanita itu kemudian membatin. Kenapa dia mandul? Apa yang telah Sera lakukan hingga diberi cobaan seperti ini?

Rasanya sesak. Sera berusaha menyeka air matanya. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Tidak, dia tidak boleh cengeng. Ini semua sudah kehendak Tuhan.

Sera pergi ke kamar mandi, membasuh wajah agar terlihat lebih baik. Setelah itu, dia pergi keluar kamar dan menemui Rani.

“Sera, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rani. Dia adalah ibu kandung Sera. Sera mengangguk, dia telah pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari yang lalu setelah perceraian terjadi.

Ada banyak yang masih bisa Sera lakukan dalam hidup meski kini telah menjadi seorang janda. Dia tetap menjalani hidup dengan senyuman manis. 

Bohong, bohong kalau dirinya tidak sedih. Apapun bentuk perceraian tetap menyakitkan. Tapi, Sera tahu itu adalah jalan yang terbaik dari Tuhan pastinya. Sera harus tetap melangkah maju, mengikhlaskan tahun-tahun pernikahannya dengan sang mantan suami.

Sera tersenyum pada Rani yang tengah menatapnya. Ibunya sangat mengkhawatirkan keadaan sang putri. 

“Aku baik-baik saja, Ma, sungguh. Mama tidak perlu khawatir,” ucap Sera untuk meyakinkan wanita itu. 

Rani tersenyum, dia menyusap punggung Sera. 

“Sera, jika kamu ingin menangis di depan Mama, menangis saja. Tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat tegar, ya,” tutur Rani dengan suara lembut. 

Sera menggeleng. “Ma, Sera sungguh tidak apa-apa. Lagi pula Sera masih punya Mama dan Papa,” ucapnya. “Oh ya di mana Papa?” 

Sejak Sera pulang ke rumah, dia tidak melihat keberadaan Sidik, ayahnya.

“Papamu masih di pondok, Sera. Apa kamu jarang menghubungi Papa?”

Sera terdiam. Kepulangannya memang belum diketahui oleh Sidik. Faktanya, baru Rani yang tahu kalau Sera sudah bercerai. 

Kejadian tersebut membuat Rani merasa sedih. Wajar saja itu terjadi, ibu mana yang tidak pilu saat tahu pernikahan anaknya telah berakhir.

“Mama yang akan cerita semua jika Sera tidak sanggup.”

Sera kembali menggeleng. “Sera akan bicara langsung dengan Papa. Apa Sera harus menyusul ke pondok?”

"Jika kamu ingin ke pondok, Mama akan temani kamu." Rani tidak ingin Sera berangkat seorang diri.

***

Malam hari sebelum berangkat ke pesantren. Seorang wanita berjilbab duduk di tepian ranjang dengan wajah yang sendu. Ya, dia adalah Sera. Perasaan itu masih selalu datang. Siapa memangnya yang tidak sedih atas pernikahannya yang kandas? Sera merasa hidupnya begitu tengah sengsara.

Dia tidak benar-benar baik-baik saja. Sera rapuh, tapi harus tetap terlihat utuh. Hatinya teriris. Entah perlakuan kasar sang ibu mertua atau mantan suaminya yang bertindak ingin mempoligami, itu membuatnya terasa sakit. Apakah dia sangat tidak pantas bahagia?

Malam yang seharusnya ia pergunakan untuk istirahat, pikirannya justru semraut atas pernikahannya yang tidak bisa dipertahankan. Sera telah gagal menjaga pernikahannya sampai maut memisahkan. Air mata yang hampir terjatuh ia cegah dengan sekuat tenaga.

Sera adalah wanita yang kuat. Dia bisa melewati permasalahannya, alangkah baiknya dia istirahat karena esok dia akan berkunjung ke pesantren menemui ayah kandungnya. Ya, perlu digaris bawahi kalau kesedihan itu hanya sementara. Mengembuskan napas pelan, Sera membatin, ‘Sera perceraian itu sudah terjadi, kamu harus mampu melaluinya.’

***

Di sebuah ruang pribadi di pesantren tersebut, Sera mengutarakan pada sang papa mengenai perlakukan mantan suami dan ibu mertuanya. Jelas saja, sang Kiai merasa kecewa terhadap sang menantu dan juga ibu mertua Sera. Ada sedikit perasaan marah karena sudah berani melukai perasaan putrinya.

Namun, Sidik tetap berusaha tenang. Marah hanya akan membuat keadaan lebih buruk.

"Sera, kamu pasti mendapatkan jodoh yang lebih baik setelah ini,” tutur sang Papa dengan nada tegas, tapi menenangkan bagi Sera. “Papa harap kamu bahagia setelah musibah yang kamu alami." 

Sera mengangguk. "Amin. Tolong doakan Sera."

"Itu sudah pasti Sera," ucap Sidik. "Papa percaya Sera mampu menghadapi ujian yang sedang Sera alami."

Sera tersenyum. "Terima kasih, Pa.”

Berkat mereka berdua Sera selalu merasa tenang. Setidaknya dia mampu melupakan masalahnya. 'Perceraian terjadi kepadaku tidak harus aku sesali. Tapi, aku harus belajar untuk lebih baik ke depannya. Aku percaya dengan jalan yang sudah Tuhan kasih,' batin Sera.

"Mas, bagaimana jika kita ajak Sera keliling pondok?" saran Rani. “Baiklah, mari kita keliling pondok bersama,” putus Pak Kiai. Ya, dari pada Sera terus gelisah, menahan kepedihan seorang diri. Lebih baik Sera menghabiskan waktu dengan hal yang positif.

Untuk kali ini, Sera tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya. Sera tenang berkunjung ke pesantren, rasanya apa yang menjadi kesedihannya itu bisa teratasi. Untuk sementara waktu, dia ingin melupakan segudang masalahnya.

Sera berjalan di antara ibu dan ayahnya. Mereka meninggalkan ruangan tersebut usai berbincang. Sera berharap ada hal baik yang bisa ia petik saat berkunjung ke pesantren. Ia baru memijakkan kakinya kembali setelah sekian lamanya.

Beberapa menit berlalu, saat tengah melihat lingkungan sekitar mereka bertiga berbincang-bincang. Salah seorang lantas memanggil ayah kandung Sera. Pada akhirnya Sidik pun pergi meninggalkan Sera dan Rani terlebih dahulu. Sepertinya urusan penting. Namun, Sera tidak tahu itu apa. Ah, tidak, lebih tepatnya meninggalkan Sera seorang diri karena Rani ikut menemani sang suami.

***

Sera selalu merasa kagum dengan tempat tersebut. Wanita itu akhirnya bisa tersenyum cerah lagi. Kesedihan yang ia rasakan semalam seolah lenyap begitu saja. Saat tengah duduk di taman seorang diri, Sera terkejut Rani menghampirinya dari arah belakang. Dan itu sedikit membuat jantungnya sedikit berdebar kencang.

“Maaf-maaf kamu pasti terkejut, ya.”

“Tidak apa-apa, kenapa Mama sendirian?” tutur Sera bangkit.

“Di mana pa-“

Belum selesai menjawab, Sera mengernyitkan dahinya melihat ayahnya berjalan dengan dua orang yang tidak ia kenal. Tetapi, seperti tidak asing juga bagi Sera. “Itu papamu,” ujar Rani.

“Siapa mereka?” tanya Sera. “Kamu lupa? Itu tante Karina dan itu anak semata wayangnya bernama Dika. Kamu dan Dika sudah kenal sejak kecil, Sera. Kamu mungkin lupa karena kalian pisah sejak SD,” terang Rani.

“Oh ya?”

“Iya,” ucap Rani singkat.

Ketiga orang tersebut lantas menghampiri Sera serta Rani. Di satu sisi, pikiran Sera mencoba mengingat sosok pria yang berada di samping seorang wanita berhijab bernama Karina itu. Di sisi lain, cowok itu tampak tidak suka dengan lingkungan sekitar pondok. Bahkan wajahnya saja terlihat datar. Sera merasakan aura yang berbeda pada pria itu. Ada rasa takut, tapi entah itu terjadi karena apa.

“Assalamualaikum, Sera, kamu masih ingat dengan Tante?” ucap Karina menyapa dengan lembut. Sera dengan senyuman manisnya turut menyahut, “waalaikumsalam, Tante. Iya, Sera tentu ingat Tante.”

Namun, sayang sekali, ingatan masa kecil Sera tidak sepenuhnya bisa ia ingat. Karena, dia tidak bisa mengingat pria bernama Dika itu.

“Duh, Tante sangat senang kalau Sera ingat dengan Tante, ini Dika, Sera, putra Tante. Kamu masih ingat juga kan?”

Sera terdiam. “Hm, sepertinya Sera sedikit lupa, maklum saja mereka sudah pisah sejak lama,” itu suara Rani.

“Sera, Tante Karina ke sini karena ingin berkunjung ke pesantren melihat keponakannya di sini. Kamu bisa kan antar Tante Karina?” ucap Sidik.

“Benar, kamu tidak keberatan kan, Sera? Kasihan loh, Tante Karina sudah datang jauh-jauh,” ucap Rani menyambung.

“Kalau kamu memang keberatan, Tante tidak masalah Sera,” ujar Karina. Sera lantas menggeleng, “tidak Tante, Sera akan temani,” jawab Sera.

Mendengar jawaban Sera, seorang pria yang usianya hanya terpaut 1 tahun lebih tua dari Sera memutar bola mata, tampak jengah melihat Sera. “Ma, kita harus cepat pulang,” ucap Dika dengan ekspresi datar.

“Dika, Mama tidak akan lama, kamu sabar sebentar dong, Nak,” jawab Karina.

Sera dan Dika sempat beradu kontak mata, namun buru-buru Sera mengalihkan pandangan, dalam hati dia berkata, ‘ketus sekali lelaki itu. Menyebalkan.’

Namun, siapa yang tahu jika pertemuan pertama kali itu membawa keduanya dalam lingkaran yang membuat mereka berada di satu lingkungan yang sama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status