enjoy reading ...
Setelah menyuapi Risty dan menemaninya menonton televisi yang tidak membuat senyumnya kembali seperti sedia kala, aku tetap menjaganya hingga dia mengantuk. Obat anti depresanku sudah bekerja dengan baik hingga dia ingin terlelap. Aku mengantar Risty menuju kamarnya lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan menyesuaikan suhu pendingin ruangan. Namun baru saja aku berbalik badan setelah meletakkan remote AC, pergelangan tanganku tiba-tiba digenggam kuat oleh Risty. “Jangan kemana-mana, Do. Gue takut kalau ada yang tiba-tiba masuk ke apartemen lalu nyulik gue lagi,” pintanya dengan ekspresi memohon. Wajar jika Risty mengalami trauma sebesar ini. “Oke, gue ambil selimut dulu buat alas.” Dan sudah sewajarnya aku sebagai bodyguard menjaganya sepenuh waktu dan ... hati. Setelah menggelar selimut di lantai dan menata bantal serta guling, aku merebahkan diri disana. Agak sedikit dingin sebenarnya tidur di bawah seperti ini. Lalu Risty memilih tidur di sisi ranjang yang berdekatan
“Saya tidak bisa lama-lama, Nyonya,” ucapku setelah duduk di kursi salah satu kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Aku meninggalkan Risty di rumah sakit untuk melakukan konseling dengan Kak Rafa. Sedang aku diam-diam memenuhi undangan Mamanya Risty untuk bertemu. Pikirku ini akan menjadi informasi yang penting terkait ulah suaminya yang begitu tega pada Risty. “Kenapa?” “Saya meninggalkan Risty yang sedang melakukan konseling dengan seorang psikiater. Mungkin waktu saya tidak sampai tiga puluh menit. Saya tidak mau ketika Risty keluar dari ruangan psikiater, saya tidak ada di hadapannya.” Wanita paruh baya yang masih cantik itu menghela nafas panjang lalu mengulum bibirnya. Tatapannya juga tidak sesombong biasanya. “Terima kasih udah menjaga Risty. Cuma kamu bodyguard sekaligus sahabat terbaik Risty. Aku mengaku kalah darimu, Rado.” “Apa yang ingin Nyonya sampaikan?” tanyaku to the point. “Alfonso udah cerita segalanya. Termasuk pemerkosaan yang dialami Risty.” “Lalu, langka
"Gue nggak bisa membalas perbuatan papa tirinya Risty kalau nyokapnya masih melindungi, Kai. Gue nggak punya kekuatan sebesar itu untuk melawan keluarga Risty yang bukan orang biasa." Kaika menghela nafas panjang sarat kegeraman. "Kok bisa sih, nyokapnya nggak ada empati sama Risty, Do? Lebih percaya sama suami pembohongnya itu?" *** Usai makan siang bersama, kami bertiga melanjutkan aktivitas dengan menonton film. Tujuannya untuk membuat Risty bahagia. Mengingat Richard, kekasihnya, juga sedang sibuk dengan urusannya. Dan sudah menjadi tugasku untuk menemani Risty. Bukan film action atau bertema pembunuhan yang kami tonton, tapi lebih ke film bergenre komedi. Dan di kesempatan itu, Risty akhirnya tersenyum senang melihat adegan film yang diputar di layar lebar. Aku pun mengulum senyum tipis melihatnya kembali bahagia. Setidaknya, jika papa tirinya tidak mendapat pelajaran yang setimpal, aku bisa membuat Risty kembali normal dan tegar menghadapi masa depannya. Agar dia tidak
Ketika Risty telah pergi bersama kekasihnya, Richard, aku meminjam mobilnya untuk pergi ke gelanggang bela diri. Tempat yang dulu kerap kukunjungi untuk mengasah kemampuan fisik. Maklum, hampir dua bulan lamanya aku tidak berlatih olah fisik disana sejak Risty diculik. Kurasa, malam ini adalah waktu terbaik untuk melepas segala kepenatan di dalam otak dengan membasahi raga dengan peluh. Setidaknya, aku memiliki satu prestasi membanggakan yang bisa kugunakan untuk menutupi kekurangan mental dan akademikku. Samsak yang menjulang terus menjadi sasaran tinjuku berkali-kali hingga tetes demi tetes peluh membasahi wajah. Kuandaikan samsak ini adalah masalah yang ada dihadapan dan harus kuhabisi. Tendangan tangan dan kakiku membuat samsak itu bergerak ke kanan dan kiri. Hingga gerakannya ditahan oleh seorang lelaki yang tidak kukenal. Dia mengajakku untuk adu kemampuan bela diri sekaligus berlatih bersama. Usai saling memberi salam hormat, kami saling mengambil kuda-kuda dan dia mulai me
"Gue bakal bilang ke nenek tentang ulah papa tiri dan Ziany. Gue mau mereka dapat batunya dari nenek," ucap Risty. Lega rasanya begitu tahu keputusan apa yang akan diambil Risty. Pikirku, dia akan mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kami sebagai majikan dan bodyguard karena ia sudah kembali menjadi kekasih Richard. Jika Risty memutuskan hubungan kontrak kerja sama ini terlalu cepat, aku tidak bisa menerima karena setidaknya aku harus berjuang dulu untuk mendapatkannya. Bukan kalah sebelum bertarung. "Gue kira apa." "Menurut lo, apa keputusan gue udah bener, Do?" tanyanya dengan posisi berjarak dariku. Kepalaku mengangguk tegas, "Lo harus bikin papa tiri lo dan Ziany dapat konsekuensinya, Ris." "Dan cuma nenek yang mereka takuti." "Kenapa bisa begitu?" "Karena semua warisan masih ada di tangan nenek. Mereka nggak akan berani berkutik kalau nenek udah bertitah." "Tinggal nenek lo aja. Apa beliau udah dapat bisikan dari papa tiri lo atau belum." Risty menghela nafas
"Stop menghakimi diri lo kotor, Ris!" ucapku setengah membentaknya. Jujur, aku benci Risty yang tidak memiliki rasa percaya diri padahal banyak orang-orang yang disekitarnya memberi dukungan agar bisa segera bebas dari trauma itu. "Kalau nggak kotor apa namanya, Rado?! Para pecundang itu memaksa gue membuka kaki lebar-lebar! Mereka ngelakuin itu bergantian sampai gue merasa gila!" Apa? Bergantian? Hatiku bagai dihantam gada mendengar pengakuan Risty. "Arrghh!!!!" Tiba-tiba Risty berteriak lalu menjambak rambutnya sendiri berulang kali dengan air mata yang membasahi pipi. Dengan sigap, aku menarik tangannya yang terus menarik rambut. Karena Risty terus memberontak layaknya aku dulu saat depresi saat dipaksa memasuki rumah konseling, hatiku ikut tersisik sedih. Seperti inikah orang depresi itu terlihat? "Lepasin gue, kambing!" Karena Risty terus memberontak seperti bukan dirinya yang sebenarnya, aku langsung memeluknya dari belakang dengan mengapit tangannya agar tidak lagi meny
Risty mengulurkan jari kelingkingnya ke hadapanku. "Janji kalau lo nggak akan ninggalin gue. Lo bakal sama gue." "Kan ada Richard." Tangan kanan Risty menarik kelingking kananku hingga sendok yang sedang kupegang akhirnya terjatuh di atas piring dan menimbulkan suara dentingan. "Richard nggak bisa bela diri dan melindungi gue. Cuma lo yang bisa dan yang cocok di hati gue. Sampai kapanpun, gue nggak mau ganti bodyguard. Gue mau lo dan bakal gue bayar berapapun yang lo mau asal tetap di sisi gue, Do." Lalu Risty menautkan kelingking kami dengan keinginannya sendiri. Padahal aku sedang tidak ingin membuat janji apapun dengannya. "Ayo ucapin janji lo, Do." "Ris, gue --- " "Kalau lo nolak, gue sedih banget dan merasa kehilangan," selanya cepat. Melihat wajahnya yang memasang ekspresi memohon, membuat hatiku tidak kuasa menolak. Dan pikirku apalah arti sebuah janji pada Risty jika aku melakukannya hanya untuk membuat hatinya senang. Aku tidak memiliki niatan berjanji untuk bers
Kabar baik! Akhirnya setelah menemani Risty selama satu bulan lamanya untuk berjuang melawan trauma itu, akhirnya Dokter Rafael mengatakan jika trauma yang dialami Risty makin berkurang setiap harinya. Aku, Richard, Kak Alfonso, dan Kaika. Kami bekerja sama menemani Risty untuk menguatkannya. Ketika Richard sedang sibuk bekerja, maka aku yang menemani selayaknya adik kakak. Sebisa mungkin aku bersikap profesional pada Risty dengan mengesampingkan isi hati ini. Begitu Richard pulang kerja, maka tugasku luang sesaat dan memilih menuju gelanggang untuk berlatih bela diri. Ya, dengan meninju samsak atau melakukan latihan adu fisik, aku bisa melupakan kemesraan Risty dengan Richard. "Stop, Rado!" seru wasit. Aku tengah beradu fisik dengan Kevin, lelaki yang tempo hari memberiku informasi terkait penerimaan lowongan menjadi bodyguard di salah satu perusahaan asing yang baru berdiri di Jakarta. Namun, teriakan wasit seakan menandakan jika pukulan yang kulayangkan terlalu membabi