enjoy reading ....
Aku berhasil melumpuhkan kedua preman bertubuh tegap itu dengan menggunakan alat pemadam kebakaran yang kuambil dari tempatnya. Setelah itu aku memukuli mereka berdua hingga babak belur dan tersungkur di lantai. Kuletakkan kakiku di atas pipi salah satu preman yang mengerang kesakitan dengan tubuh terlentang. “Siapa yang nyuruh kalian melukai Risty?” Keduanya hanya mengeluh kesakitan lalu aku menekan kakiku dengan keras ke pipinya. “Jawab!” “Kami … cuma disuruh bos.” “Sampah!” Aku menendang keduanya kemudian mengambil kunci mobil SUV dan melemparnya ke segala arah. Biar mereka kelabakan mencarinya. Lalu aku menghampiri Richard yang masih duduk ketakutan di balik setir kemudi. Dia pasti tidak menyangka jika aku bisa melemahkan dua preman sialan itu sekaligus. Tanganku membuka pintu mobil Richard lalu sedikit menundukkan tubuh agar bisa menatap wajahnya dengan sorot tajam yang dimiliki kedua mataku. “Gue udah bilang untuk jauhi Risty, kan?! Jangan dekati dia apapun alasannya. D
"Mas, bener-bener kecewa sama kelakuanmu, Rado! Apa yang kurang Mas berikan selama ini, heh?! Kenyamanan, uang, kasih sayang, perhatian, pendidikan, semuanya udah Mas kasih. Semuanya!" Aku hanya bisa menunduk malu dengan kesedihan yang tak terkira. Rahasia perasaanku pada istri Mas Kian akhirnya terungkap. Dan aku tidak bisa mengelak. Entah bagaimana Mas Kian bisa menemukan flashdisk berisi rekaman CCTV rumah yang menampakkan kelancanganku mencumbu istrinya. "Dan lebih hina saat kamu berani menyentuh, mencium, bahkan melakukan hal yang nggak pantas dilakukan seorang adik pada istri kakaknya! Kamu benar-benar gila, Rado! Kamu sakit jiwa!" Hardik Mas Kian. Tangannya kembali terulur menarik kerah bajuku dan memberi pukulan di wajahku yang sudah terlihat memar. Tanganku mengusap lelehan darah yang kembali mengucur dari sudut bibir. Suasana rumah menjadi begitu mencekam karena pertengkaran kami. Ini kali pertama Mas Kian begitu murka padaku. "Berapa kali kamu nidurin istri Mas?! Jawab
Inilah yang disebut hidup tanpa tujuan. Aku benar-benar memacu motorku tanpa arah dengan hati sesak. Kata-kata yang Mas Kian lontarkan, bahwa aku benar-benar 'sakit jiwa' sungguh sangat melukaiku. Itu kali pertama dia berkata demikian dengan penuh emosi. Dia tidak salah berucap demikian jika itu dipicu karena kesalahan fatalku. Ini juga pertama kalinya, aku keluar dari rumah Mas Kian tanpa pamit dan pergi sejauh ini. Rasanya seperti ada lubang kosong memenuhi dadaku dan terasa sangat sakit. Tanpa Mas Kian lagi yang akan mengkhawatirkan aku. Begitu juga Mbak Sasha, dia pasti sangat kecewa ketika sudah melihat semua perbuatan hinaku padanya melalui rekaman CCTV rumah. Mencumbu dirinya dalam keadaan tidak sadarkan diri. "Gue emang ba***gan sejati," gumamku dengan menatap sunset sambil duduk di ujung tebing pantai. Ya, aku berkendara tanpa arah hingga motorku tiba di pesisir pantai. Jauh dari rumah Mas Kian yang berada di jantung negeri ini. Aku memilih abai dengan puluhan pan
“Kalau mau bunuh diri tuh buruan! Lama amat! Ngabis-ngabisin memori ponsel gue!” Aku langsung menoleh begitu mendengar seseorang bersuara bersamaan dengan riuhnya air pasang menghantam tebing tempatku berdiri. “Risty?!” gumamku lirih. Dia tidak sendiri. Melainkan dengan Kaika yang berdiri di sampingnya ditemani tiga lelaki bertubuh tegap di belakangnya. Risty memberikan ponselnya pada Kaika lalu berjalan ke arahku dengan santainya. Tidak bersikap layaknya pahlawan yang akan mencegah seseorang bunuh diri. Memakai tank top hitam dengan tali begitu tipis yang menyampir di pundak, celana pendek sepaha berwarna pudar, dan rambut tergerai lalu tersapu oleh angin laut, membuat pikiran dan mataku justru tertuju sepenuhnya ke Risty. Memangnya lelaki mana yang tidak fokus melihat perempuan dengan pakaian terbuka seperti ini? Begitu jarak kami sudah dekat, Risty menarik tanganku kasar agar menjauh dari tepi tebing. Tangannya bersedekap, dagu diangkat sombong, dan matanya menatapku rendah.
Karena apartemen Risty hanya memiliki satu kamar tidur, akhirnya aku mengalah dengan tidur di sofa ruang tengah. Tidak mungkin aku membiarkan majikanku tidur di sofa dan aku sebagai bodyguard tidur di kasurnya. "Makasih udah minjemin kasurnya buat gue," ucapku padanya. "Sama-sama. Untung lo nggak bau badan." Risty memang selalu ceplas ceplos ketika berbicara. Kemudian dia mematikan laptop dan menuju kamar. "This is your new life, Rado. Jadi jangan ngulangi kesalahan yang sama untuk ke-du-a kalinya. Paham?" Kepalaku mengangguk. "Masih banyak cewek yang available di luaran sana. Lo nggak usah mikir cuma Mbak Sasha yang bisa ngertiin lo. Karena nggak mungkin Tuhan menciptakan lo hidup sendiri di dunia ini tanpa pasangan. Hanya saja, lo belum ketemu dia. Atau ... lo udah ketemu dia tapi kalian belum nyambung." Aku hanya menghela nafas sambil menunduk. "Take your time, Do." Kemudian, aku duduk di tempat yang biasa Risty duduki. Dia ujung meja kaca sambil menatap pemandangan ma
“Hey, Rado! Risty itu cewek gue!” Richard berseru tidak terima ketika aku tiba-tiba menghampiri keduanya yang tengah berjoged bersama di dance floor. Diiringi musik hip hop yang memekakkan telinga. “Kalau nggak mau bonyok kayak preman kemarin, jangan halangi gue bawa Risty!” Aku yakin Richard masih ingat bagaimana aku menghabisi kedua preman suruhan Ziany ketika akan menyakiti Risty tepat dihadapan Richard. Tanpa banyak penjelasan, aku membawa Risty keluar dari klub malam hingga kami tiba di parkiran mobilnya. “Ayo pulang!” ucapku sambil membuka pintu penumpang untuk Risty. “Nggak! Lo ngerusak acara gue!” serunya tidak terima lalu melepas cekalan tanganku. “Ris, ini demi kebaikan lo. Gue hutang budi sama lo jadi nggak ada alasan buat gue untuk nggak jagain lo sebaik mungkin.” “Emang lo tahu apa yang gue pengen? Nggak, kan?!” tanyanya dengan bersedekap kemudian sapuan angin malam membuat dia mengusap kedua lengannya yang tidak tertutup pakaian. Maklum saja, dia hanya memakai ta
Hari ini setelah menyelesaikan dua mata kuliah, aku mendapat pesan dari psikiaterku, Dokter Raphael atau aku biasa memanggilnya Kak Rafa, untuk datang mengunjunginya. Ini jadwalku mendapat konseling setelah kemarin aku tidak datang karena kabur dari rumah. Semalam, akhirnya aku berhasil membawa Risty pulang ke apartemen walau malam belum larut. Meski harus dengan perdebatan konyol yang menguras emosi. Risty terus saja menggoda dan menuntutku lantaran aku membuntuti Richard pergi ke apartemen perempuan lain demi dirinya. Yang benar saja? Aku melakukan itu karena … tidak sengaja saja. Ya … hanya sekedar … ingin tahu. Huuuuft … mengapa aku jadi penasaran dengan urusan asmara Risty? “Gue pergi dulu. Ini kunci mobil lo.” Risty tidak menerimanya dan tetap fokus memasukkan buku ke dalam tas. Perkuliahan baru saja berakhir saat pukul satu siang. “Lo mau kemana emangnya?” “Gue … ada keperluan.” “Perlu apa?” “Ris, ini privasi.” “Gue yang menopang hidup lo. Ingat?! So, masih nggak mau
“Karena semakin lo jauh dari Mbak Sasha, semakin mudah buat lo untuk melupakan dia.” Aku masih menatap Risty yang duduk di atas kursi dapur. “Konsepnya gini. Semakin lo dekat sama Mbak Sasha, semakin lo nggak bisa lepas. Tapi semakin lo jauh dari Mbak Sasha, semakin lo terbiasa tanpa dia. Meski perlu waktu. Paham?” “Ya.” Apa yang dikatakan Risty itu benar. Hanya saja dulu aku masih belum memiliki teman untuk membantuku keluar dari romantika sialan ini. Sekarang, setelah semua perasaan pada iparku terbongkar dan ada Risty yang mau membantuku keluar dari masalah ini, bukankah aku hanya tinggal mengikuti saran dari psikiaterku saja? *** Bohong jika aku tidak memikirkan Mbak Sasha dan Mas Kian sejak memutuskan kabur dari rumah. Malam ini, dengan berbaring di atas sofa ruang tengah apartemen Risty, aku tidak kunjung bisa memejamkan mata karena teringat mereka berdua. Sedang Risty, mungkin sudah terlelap di dalam kamarnya. Aku kembali duduk di atas meja kaca sambil menatap pemandang