enjoy reading ...
Karena apartemen Risty hanya memiliki satu kamar tidur, akhirnya aku mengalah dengan tidur di sofa ruang tengah. Tidak mungkin aku membiarkan majikanku tidur di sofa dan aku sebagai bodyguard tidur di kasurnya. "Makasih udah minjemin kasurnya buat gue," ucapku padanya. "Sama-sama. Untung lo nggak bau badan." Risty memang selalu ceplas ceplos ketika berbicara. Kemudian dia mematikan laptop dan menuju kamar. "This is your new life, Rado. Jadi jangan ngulangi kesalahan yang sama untuk ke-du-a kalinya. Paham?" Kepalaku mengangguk. "Masih banyak cewek yang available di luaran sana. Lo nggak usah mikir cuma Mbak Sasha yang bisa ngertiin lo. Karena nggak mungkin Tuhan menciptakan lo hidup sendiri di dunia ini tanpa pasangan. Hanya saja, lo belum ketemu dia. Atau ... lo udah ketemu dia tapi kalian belum nyambung." Aku hanya menghela nafas sambil menunduk. "Take your time, Do." Kemudian, aku duduk di tempat yang biasa Risty duduki. Dia ujung meja kaca sambil menatap pemandangan ma
“Hey, Rado! Risty itu cewek gue!” Richard berseru tidak terima ketika aku tiba-tiba menghampiri keduanya yang tengah berjoged bersama di dance floor. Diiringi musik hip hop yang memekakkan telinga. “Kalau nggak mau bonyok kayak preman kemarin, jangan halangi gue bawa Risty!” Aku yakin Richard masih ingat bagaimana aku menghabisi kedua preman suruhan Ziany ketika akan menyakiti Risty tepat dihadapan Richard. Tanpa banyak penjelasan, aku membawa Risty keluar dari klub malam hingga kami tiba di parkiran mobilnya. “Ayo pulang!” ucapku sambil membuka pintu penumpang untuk Risty. “Nggak! Lo ngerusak acara gue!” serunya tidak terima lalu melepas cekalan tanganku. “Ris, ini demi kebaikan lo. Gue hutang budi sama lo jadi nggak ada alasan buat gue untuk nggak jagain lo sebaik mungkin.” “Emang lo tahu apa yang gue pengen? Nggak, kan?!” tanyanya dengan bersedekap kemudian sapuan angin malam membuat dia mengusap kedua lengannya yang tidak tertutup pakaian. Maklum saja, dia hanya memakai ta
Hari ini setelah menyelesaikan dua mata kuliah, aku mendapat pesan dari psikiaterku, Dokter Raphael atau aku biasa memanggilnya Kak Rafa, untuk datang mengunjunginya. Ini jadwalku mendapat konseling setelah kemarin aku tidak datang karena kabur dari rumah. Semalam, akhirnya aku berhasil membawa Risty pulang ke apartemen walau malam belum larut. Meski harus dengan perdebatan konyol yang menguras emosi. Risty terus saja menggoda dan menuntutku lantaran aku membuntuti Richard pergi ke apartemen perempuan lain demi dirinya. Yang benar saja? Aku melakukan itu karena … tidak sengaja saja. Ya … hanya sekedar … ingin tahu. Huuuuft … mengapa aku jadi penasaran dengan urusan asmara Risty? “Gue pergi dulu. Ini kunci mobil lo.” Risty tidak menerimanya dan tetap fokus memasukkan buku ke dalam tas. Perkuliahan baru saja berakhir saat pukul satu siang. “Lo mau kemana emangnya?” “Gue … ada keperluan.” “Perlu apa?” “Ris, ini privasi.” “Gue yang menopang hidup lo. Ingat?! So, masih nggak mau
“Karena semakin lo jauh dari Mbak Sasha, semakin mudah buat lo untuk melupakan dia.” Aku masih menatap Risty yang duduk di atas kursi dapur. “Konsepnya gini. Semakin lo dekat sama Mbak Sasha, semakin lo nggak bisa lepas. Tapi semakin lo jauh dari Mbak Sasha, semakin lo terbiasa tanpa dia. Meski perlu waktu. Paham?” “Ya.” Apa yang dikatakan Risty itu benar. Hanya saja dulu aku masih belum memiliki teman untuk membantuku keluar dari romantika sialan ini. Sekarang, setelah semua perasaan pada iparku terbongkar dan ada Risty yang mau membantuku keluar dari masalah ini, bukankah aku hanya tinggal mengikuti saran dari psikiaterku saja? *** Bohong jika aku tidak memikirkan Mbak Sasha dan Mas Kian sejak memutuskan kabur dari rumah. Malam ini, dengan berbaring di atas sofa ruang tengah apartemen Risty, aku tidak kunjung bisa memejamkan mata karena teringat mereka berdua. Sedang Risty, mungkin sudah terlelap di dalam kamarnya. Aku kembali duduk di atas meja kaca sambil menatap pemandang
"Maaf." Tanganku menggenggam erat pergelangan tangan Risty. Tapi ia menarik tangannya kasar tanpa menjawab permintaan maafku. Lalu dia berbalik pergi meninggalkanku yang masih termenung di unit apartemennya dan bodohnya aku tidak segera berlari mengejarnya. "Kenapa dada gue kerasa sakit, ya?" gumamku dengan tangan menyentuh dada. *** Akibat ulahku tadi pagi, Risty memilih duduk menjauh dariku saat perkuliahan dimulai. Melihat kami yang berjauhan membuat Kaika heran dengan apa yang terjadi lalu aku mengatakan segalanya. Bahwa Richard mengirim sebuah kucing mati ke unit apartemen Risty karena marah. Marah karena saat mereka sedang berjoged bersama di klub malam, aku justru menarik Risty untuk pulang. Padahal niatku ingin menjaga Risty seperti tugasku sebagai bodyguardnya. Saat aku dan Kaika sedang berbincang-bincang usai mata kuliah pertama berakhir, Risty tengah duduk bersama Richard di taman yang ada di tengah-tengah gedung fakultas kami. Bercanda tawa layaknya sejoli yang dim
Tiiiinn … tiiiin!!! “Buruan tancap gasnya, Rado! Lo mau ditabrak mobil dari belakang apa!” Risty berseru. Di belakang mobil kami, ada dua buah mobil pribadi membunyikan klakson panjang karena aksiku menginjak rem secara mendadak usai Risty mengaku kembali menjalin hubungan dengan Richard. Si mantan kekasih yang tidak setia itu. Aku kembali melajukan mobilnya tanpa arah lalu Risty mengajak singgah di salah satu apotek miliknya yang berada di daerah Binus. Setelah memarkir sedan mewahnya, aku mengikuti Risty menaiki lantai dua ruko itu. Disana ada dua ruangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan obat-obatan yang baru datang dan ruang kerja yang mirip ruang santai. Risty langsung merebahkan tubuhnya di sebuah sofa bed berwarna ungu. “Hidupin AC-nya, Do. Gue capek hari ini.” Aku menuruti perintahnya bahkan aku mengambil tas kuliahnya dan meletakkannya dengan benar di atas meja. Sedang Risty justru terlentang dengan wajah dipenuhi senyuman kemenangan. “Ziany … Ziany … . Mampus
“Maaf, Kak Al. Aku nggak bisa pulang dulu.” “Tapi Kian nyariin lo, Do. Mama kalian mau datang ke kota.” Kepalaku menggeleng pelan dengan menatap lantai apartemen Risty. “Aku nggak siap ketemu Mas Kian, Kak. Dan … aku yakin Mas Kian pasti bisa bohongin Mama kenapa aku nggak ada di rumah.” Kak Alfonso menghela nafas panjang lalu kembali menyandarkan punggungnya di sofa. “Gue nggak ngerti kalian ada masalah apa sebenarnya. Tapi apapun itu, gue harap kalian bisa menyelesaikan itu pakai kepala dingin. Gimana pun kalian tuh kakak adik.” Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutku kecuali keterdiaman. Setelah Kak Alfonso pulang dari unit apartemen Risty, mendadak aku begitu kepikiran dengan Mas Kian dan Mbak Sasha. Bayangan ulah ‘nakal’ Risty yang tadi memelukku dari belakang, tidak lagi menjadi hal yang mendominasi pikiran dan hatiku. Selama aku ikut Mas Kian ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Mama selalu berpesan agar aku benar-benar fokus kuliah agar
Pipiku terasa panas usai Risty melayangkan tamparannya. Bukan dengan wajah bersungut marah, tapi dengan wajah menantang seolah-olah dia yang paling berkuasa. “Emang lo yakin bakal hidup bahagia setelah mati bunuh diri, heh?! Non sense! Mati itu nggak menyelesaikan masalah, Rado! Tapi justru lo bakal jadi arwah gentayangan karena masalah lo di dunia nggak kelar!” “Sama satu lagi! Pede banget lo bakal masuk surga setelah bunuh diri?! Emang sejak kapan Tuhan ngasih pengampunan buat hamba yang bunuh diri, heh?!” “Ngaco!” Lalu Risty menggunakan telunjuknya untuk menunjuk dadaku. “Kalau lo ada masalah tuh bilang! Bukan diem kayak patung! Lo pikir gue paranormal yang bisa baca pikiran lo?! Hebat bener gue?!” Kemudian dia makin memangkas jarak wajah kami hingga begitu dekat lalu reflek aku memundurkan wajah dan tubuh. “Seenggaknya ngomong apa yang lagi lo pikirin! Bukan ngerecokin hubungan gue sama Richard!” Kakiku mundur selangkah demi selangkah tapi Risty justru maju selangkah demi s