Share

Kabar Berujung Tangis

"Bagaimana keadaan Fahri dan Arni, Chy?" Aku berusaha mengatur napas ketika mendengar suara Chicy di seberang sana.

"Mengapa kau baru menghubungiku? Adikmu kasihan sekali, Hana. Mereka selalu dimarahi, bahkan Fahmi tadi siang dipukuli oleh Pamanmu ...."

"Adik-adikku melakukan kenakalan apa?" Aku tak sengaja memotong perkataan Chyci karna tak kuat jika mendengar kejadiannya secara jelas.

"Kau tahu sendiri, bagaimana kelakukan anak Pamanmu. Tiap kali anaknya berulah, Fahmi yang dituduh."

Aku bangkit dari pembaringan, meninggalkan Nona Muda dan Maya yang sibuk dengan gawai masing-masing. Aku membelakangi mereka, sengaja duduk di dekat sofa menghadap dinding, tepat di depan pintu kamar.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa, Chy. Aku sudah jauh dari kampung. Bekerjan untuk mereka. Kenapa adik-adikku masih disiksa." Tangisku pecah, suaraku berusaha selirih mungkin. "Bagaimana dengan Arni? Dia tidak dipukuli?"

"Bibimu yang menamparnya karena terlambat bangun. Arni sendiri yang mengadu padaku kemarin. Dia meminta aku menghubungimu dan memintamu pulang secepatnya, tapi Ibuku melarang. Ibuku tak mau ikut campur dan berurusan dengan Bibimu. Makanya, aku tak pernah menghubungi, walau juga menunggu kabar darimu. Aku sendiri di rumah, Hana, jadi tak akan ada yang mendengarnya," papar Chyci membuatku semakin bingung.

"Suruh Fahmi dan Arni ke rumah Nenekku saja, Chyci. Tinggal bersama Ibu di sana." 

"Aku mendapat kabar bahwa Ibumu akan segera menikah. Belum jelas juga kebenarannya, tapi katanya adik bungsumu akan diberikan Nenek Asya."

Aku memijit kening yang berdenyut kencang. Rasanya kepalaku akan pecah. Mengapa kabar ini menumpuk dan buruk sekali?

"Bantu aku, Chy. Aku ingin mengambil semua Adikku. Mereka semua penjahat. Aku masih bisa mengurusi ketiga Adikku. Lagi pula, Fahri sudah berhenti menyusu, bukan?" 

"Iya. Tidak mungkin juga Fahri diberikan ke orang lain, jika dia belum berhenti menyusu," sahut Chyci. 

Aku terdiam. Memikirkan nasib kami. Apakah aku bisa menghidupi mereka?

"Hana ...." Berulang kali Chyci memanggil. 

"Iya, Chy. Aku sedang berpikir."

"Jangan menangis terus! Kau tidur dulu. Kau butuh istirahat untuk bekerja besok, bukan?" bujuk Chyci terdengar sangat tulus.

"Sampaikan semuanya, Chy. Nanti aku minta tolong supir yang membawaku ke sini untuk menjemput mereka."

"Iya. Tidurlah!"

Aku menutup telephone usai berterima kasih. Tubuhku berat sekali untuk beranjak dari lantai. Rinduku pada adik-adik semakin membuncah.

Kupegangi bagian sofa dan berdiri. Aku melihat Nona Muda dan Maya menatap ke arahku. Sedikit gugup, aku menunduk dan berlalu ke toilet membersihkan wajah.

Keluar dari toilet, mereka masih memandangiku. Aku kembali ke pembaringan, di dekat mereka.

"Kau menangisi apa?" tanya Nona Muda.

"Adik-adikku ... Kak," jawabku sesak. Berusaha terlihat tegar di hadapan mereka.

"Ceritakan saja, Dik! Aku bersedia membantu," pinta Nona Muda duduk bersandar.

Aku hanya bisa menunduk. Tak ingin tangisku pecah jika menceritakan semuanya. Namun, Nona Muda dan Maya tampak menunggu saat aku mengangkat wajah.

"Ada apa dengan adik-adikmu?" Nona Muda kembali bertanya dengan usapan di sisi bahuku.

"Mereka sering dipukuli ... aku tidak sanggup menceritakan semuanya, Kak," kataku menyeka air mata. "Aku ingin bawa mereka jauh dari sana. Ibuku juga akan menikah dan menitip adik bungsu ke nenek. Aku tak bisa mendengar mereka bertiga tersiksa lagi." Kedua tanganku menutup wajah dengan air mata mengalir deras.

"Kau bisa tinggal di kota ini dan tetap bekerja. Aku ingin kau dan ketiga adikmu tinggal di rumah ini, tetapi ibuku belum tentu setuju," jelas Nona Muda masih mengusap bahuku.

"Tidak apa, Kak. Asal mereka dekat denganku. Aku bisa kerja dan adikku tinggal di sekitar perumahan ini," ungkapku setengah memohon.

Nona Muda mengangguk. "Kita bicarakan besok. Kita harus tidur. Maya juga akan berangkat kuliah pagi," katanya menoleh ke arah Maya yang sedari tadi menyimak dengan raut sedih.

"Sabar, Dik!" ucap Maya menepuk bahuku sebelah kiri. 

Mereka masuk ke toilet untuk bersiap-siap tidur. Aku menarik selimut memejamkan mata. Bayangan wajah adikku tampak jelas. Berharap, mereka dapat merasakan hidup yang baru, jauh dari perih pukulan atau hinaan dari orang lain lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status