Share

Ketakutan Maya, Sahabat Nona Muda

Kepalaku masih terasa berat untuk beranjak dari bantal. Namun, aku harus memaksakan diri. Sudah berapa hari tak bekerja saat masuk Rumah Sakit kemarin.

 

Tampak Maya baru saja keluar dari toilet. Dia tersenyum sekilas ke arahku, lalu mendekati tasnya. 

 

"Nona Muda ..." lirihku, lupa bahwa Nona Muda lebih suka disebut Kakak Maria. Aku memperbaiki posisi duduk dengan kaki menyentuh lantai, menghadap Maya. "Kakak Maria ada dimana, Kak?" tanyaku pada gadis berambut sebahu itu. Sibuk mengeluarkan pakaian.

 

"Ria di kamar Ibunya," jawabnya singkat.

 

Aku mengangguk pelan. Melangkahkan kaki ke toilet. Lalu, keluar untuk mencari handuk. Ketika aku hampir masuk ke kamar mandi, aku menoleh pada jendela. Kulihat pemandangan halaman rumah dengan beberapa pohon berdaun lebat. Daun kering berserakan seolah-olah memanggil untuk dilenyapkan.

 

Dalam kamar mandi, aku memilih mandi di bagian bak, menggunakan gayung. Sesaat aku memikirkan bagaimana sempurnanya orang-orang yang mendesain rumah itu. 

 

"Hana!" Berulang kali Maya terdengar memanggilku dengan pintu terus digedor-gedor. Aku memilih buru-buru membersihkan sisa sabun dan keluar memeluk handuk yang melingkari tubuh.

 

Ketika kubuka pintu, tampak Maya memandangi jendela. Bergantian ke arah pintu. Dia mendekati tubuhku yang menggigil. 

 

"Ada apa, Kak?" tanyaku kebingungan. Jantungku turut berdebar kencang melihat wajah Maya ketakutan.

 

"Kita keluar sekarang, Dik! Sekarang!" Dia menarikku dengan mata berkaca-kaca.

 

"Tidak, Kak. Aku belum memakai baju. Tunggu!" Aku menyambar tas dan mengeluarkan pakaian. 

 

"Sekarang, Dik ... aku ingin keluar!" Dia tak sabar, suaranya lirih, tetapi seperti teriakan yang tertahan.

 

Aku tak menghiraukannya dan menepis tangannya. Rumit jika lenganku digenggam erat saat memakai pakaian. Kupakai baju kaos lengan panjang menjulur ke lutut hingga celana dan khimar terpakai tanpa bercermin. Maya langsung menarikku keluar pintu.

 

"Ada apa, Kak?" Aku berkali-kali melontarkan pertanyaan sembari mengikutinya dari belakang karena tanganku tak dilepasnya.

 

Tiba di pintu utama, dia menarik gagangnya dan sesekali menatap ke arah kamar lantai dua di ujung sana. Tepat di atas kami, sebelah kiri. 

 

Pintu tak terbuka. Maya menendang pintu dan menangis. Dia duduk bersandar tengah menunduk. Tanganku dilerai.

 

"Tolong, Kak, katakan padaku!" Kembali aku memaksanya untuk mengungkap apa yang terjadi. Mengapa ia begitu ketakutan.

 

"May ..." seru Nona Muda dari lantai dua, tampak ia baru saja keluar dari kamar ibunya. "Kalian sedang apa duduk di situ?" tanyanya dengan suara tinggi sembari berjalan menuruni tangga. 

 

Aku berdiri, mengamati Nona Muda mendekati kami. Sementara Maya memeluk lutut, tak ingin melihat Nona Muda.

 

"Hei! Ada apa, May? Mengapa kau menangis?" Nona Muda menyeka rambut Maya dan mengangkat wajahnya dengan kedua tangan. Namun, Maya menyingkirkan jemari Nona Muda, mendorongnya dengan pelan.

 

Aku masih kaku, tak mengerti dengan sikap Maya.

 

"Biarkan aku pergi, Ri ... jangan sakiti aku!" Perkataan Maya membuatku terkejut. Rasanya jantungku berhenti berdetak beberapa detik. Aku merasakan ketakutan Maya dihantarkan pada tubuh ini.

 

"May! Kau mulai lagi!" Nona Muda menggelengkan kepala dengan raut kecewa. "Kau masih tidak percaya padaku," imbuhnya menjauhi Maya. Nona Muda mengusap wajah hingga ke bagian atas rambut. Tangannya melingkar di perut seolah memeluk dirinya sendiri. "Menjauhlah kalau begitu! Aku akan buka pintu," pinta Nona Muda kemudian.

 

Maya memberi ruang Nona Muda agar segera membuka pintu. Maya tampak begitu ketakutan, dia terus-terus menggigit jarinya. 

 

"Keluar!" Tangan Nona Muda memberi isyarat mempersilakan.

 

Maya keluar dan berlari melewati pagar. Entah ia mengendarai apa. Aku kembali mengamati Nona Muda yang duduk di sofa ruang tamu. Dia memijit kepala beserta rambut panjangnya.

 

"Kau juga ingin pergi, Han?" Nona Muda menatapku tajam. Matanya memancarkan kesedihan yang entah dari mana. Namun, aku merasa ia sedang frustasi seperti saat aku menangisi nasib adik-adik.

 

"Tidak, Kak. Aku tak ingin pergi," jawabku masih berdiri meremas tangan sendiri.

 

Nona Muda menyandarkan tubuh di sofa, memejamkan mata. "Aku butuh obatku, Dik."

 

"Obat?" Aku bingung, obat mana yang dimaksud Nona Muda. Dia tak pernah memperlihatkannya. 

 

"Cari di laci meja riasku, Dik! Tolong!" desak Nona Muda, membuatku bergegas naik ke lantai dua.

 

Otakku tertuju pada meja rias hingga tak sempat mengamati hal lain. Jalanku tergesa-gesa,  napasku terengah-engah usai menaiki tangga. 

 

Tiba di meja rias, aku langsung membuka lacinya. Potret keluarga di dalamnya, sekilas menarik perhatianku. Seorang pria dan tiga anak perempuan kecil beserta wanita dewasa.   Botol obat ada di dekatnya, aku langsung mengambil dan kembali menutup laci.

 

Apakah mereka keluarga Nona Muda? Kepalaku terus bertanya sembari mengenggem botol obat. Kuharap botol itu obat yang dimaksud Nona Muda. Sebab, tak ada obat lagi di laci itu.

 

"Aku hanya menemukan ini, Kak." Aku mengulurkan botol kecil ke hadapan Nona Muda yang membuka mata.

 

"Air ..." sahutnya.

 

Aku buru-buru ke ruang belakang. Beruntung, di dalam lemari es terdapat botol air mineral. 

 

Aku memberi air itu. Nona Muda meneguk beberapa biji pil. Ia menyandarkan tubuh dengan posisi kaki diluruskan.

 

"Jangan ganggu, Dik, kau juga bisa beristirahat di dekatku. Jangan tinggalkan aku!" Nona Muda tampak lemas, ia merebahkan tubuh dan melipat tangan di dadanya.

 

Aku duduk di bagian sofa lain, hanya beberapa meter jarak kami. Kupandangi wajahnya yang lembut. Aku mengerling ke atas, mencari sosok nyonya yang belum pernah kulihat jelas atau menyapanya. 

 

Kepala kusandarkan di bahu sofa hitam. Mataku terpejam, masih pagi dan mengundang kantuk. Terlebih, malam itu tidurku tak nyenyak dengan banyak beban.

Aku mendengar suara tapak kaki dari tangga di belakang. Kupikir, itu ada Nyonya besar yang hendak ke dapur. Ketika aku menoleh, dari ujung tangga tak tampak siapa-siapa di sana. Di sekitar ruang tamu pun tidak ada. Kembali aku merebah dan memandangi Nona Muda yang masih tertidur. 

Beberapa menit, aku merasa ada angin dingin menyambar wajah dari arah kiri. Lalu, sentuhan di leher belakang sekali. Sontak aku membalikkan badan, terlihat wanita berambut panjang dengan gaun putih menutupi kaki. Ia tak menampakkan wajah, tetapi terus berjalan dengan pelan.

"Nyonya ..." panggilku sembari beranjak dari sofa hendak bertanya apa yang ia butuhkan.

Aku terus melangkah mendekatinya. Namun, ia tak juga berbalik.

"Nyonya ... ada yang bisa saya bantu?" Aku telah berada di belakangnya dengan jarak tak cukup semeter. 

Ia pun berbalik perlahan. Aku menunduk, lalu mengangkat wajah saat kurasakan ia telah menghadap ke arahku. Tampak mukanya berwarna hijau dengan akar hitam bercak darah. Sangat hancur dan sulit tergambar. Jantungku seketika berhenti. Tubuh bergetar hebat dan menggigil. Tak dapat aku mundur atau berkata apapun. Semua menjadi gelap dan aku merasakan badanku ambruk ke lantai.  

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status