Bolehkah Aku Menangis

Bolehkah Aku Menangis

Oleh:  As Jaz  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
19Bab
1.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Aku adalah anak yatim, putri sulung. Sejak aku berusia belasan tahun, aku harus bekerja keras demi adik-adik. Saat mulai bekerja untuk pertama kalinya menjadi Asistent Rumah Tangga, di situ pula aku mulai merasakan banyak pengalaman yang menjanggal.

Lihat lebih banyak
Bolehkah Aku Menangis Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
19 Bab
Berangkat
  "Aku titip Adik-adik, Nek." Jemariku menyalam lalu menyentuh punggung tangan nenek dengan wajah. Saat kutatap, tampak jelas raut nenek tak ikhlas melepaskanku pergi.   Nenek tak berkata apa-apa, aku tahu ia sedang menahan sesak. Sementara Paman dan Tante hanya duduk di sofa melihatku menenteng tas punggung. Kalau saja mereka tak menyuruhku pergi untuk mencari pekerjaan di kota, mungkin, aku masih di sini bersama mereka.   "Jangan nakal!" ucapku mengingatkan sembari mengecup kepala adik laki-laki dan perempuanku bergantian.   Arni, adik perempuanku terus menangis. Ia memeluk lebih erat. "Aku ikut, Kakak!" rengeknya sesenggukan.     Tanganku melepasnya dengan pelan. Lalu, mengusap pipi mungilnya yang basah. Dada terasa sangat nyeri beriringan dengan tenggorokangku. Tas punggung terpasang erat, aku berjalan keluar menuju mobil yang telah
Baca selengkapnya
Gelap
Perutku mulai berbunyi, tetapi aku tetap berdiam di dalam kamar. Rasanya aneh berada di rumah orang yang baru saja kutemui. Namun, demi adik-adik, secepatnya harus bisa menyesuaikan diri di tempat baru ini.   Daya ponselku tersisa beberapa persen, aku mengerling colokan di atas meja dekat tempat pembaringan.    Ketika aku bersandar nyaman sembari memandangi pintu di sisi kiri kamar, lampu berkedip-kedip. Jantungku berdebar kencang. Aku tak sanggup bila berada di dalam kamar sendirian saat mati lampu.    Segera kuraih ponsel dan mengirim pesan.    [Kakak ... saya takut gelap.]   Terpaksa aku menganggu majikan dengan mengirim pesan beberapa kali. [Kak, saya takut. Kakak, dimana?]    Lampu semakin ber
Baca selengkapnya
Surat Bertinta Darah
Bunyi Alarm ponsel membuat mataku terbuka. Kupandangi jam di layar gawai, tampak angka lima. Aku menatap langit-langit kamar disinari lampu di tengahnya. Penghilatanku sedikit bergerak, tidurku hanya beberapa jam akibat suara-suara semalam.   Sejenak aku bersandar di bahu ranjang. Mengusap wajah setengah menguap. Memaksa diri beranjak dari pembaringan untuk membasuh wajah, tangan beserta kaki. Lalu, melaksanakan ibadah.   Aku merapikan tempat tidur sebelum keluar menunggu Nona Muda memberi arahan.   Perasaanku sedikit tenang, tak ada suara tangisan atau barang jatuh dan berbenturan.    "Aku baru saja ingin bangunkan kau," ujar Nona Muda menghampiri. Aku mengamati sekilah wajah dan matanya membengkak.   "Saya bangun jam 5, Kak ... Nona," sahutku terbata-ba
Baca selengkapnya
Kepulan Asap
"Dik ..." panggil Nona Muda di depan pintu. Terdengar jelas itu suaranya. Segera aku beranjak dari pembaringan, sementara ketukan di jendela tak terdengar lagi.   "Kakak, tadi ada yang mengetuk jendela," cetusku sembari memandangi Nona Muda yang menenteng kantung plastik hitam.   Nona Muda masuk ke kamar, melewatiku dengan tergesa-gesa. Ia menaruh kantung plastik tadi di meja dekat ranjang. Ia membuka jendela dan melihat sekeliling.   Aku duduk di tepi pembaringan menunggu Nona Muda berbicara. Tanganku tak sedingin tadi, tetapi bagaimana jika Nona Muda keluar lagi meninggalkanku? Ah, rasanya aku ingin menarik Nona Muda dan melarangnya pergi. Namun, diriku siapa?   "Tak ada siapa-siapa di luar." Nona Muda menutup kembali jendela. Lalu, membalikkan tubuh menatapku.  
Baca selengkapnya
Napas
Dentum kaki terdengar dari sela bawah pintu. Aku mencoba membuka mata, tetapi sangat perih. Pintu terbuka, mengenai kepalaku karena posisiku berbaring di belakang.   Nona Muda terbatuk, ia langsung menarikku keluar dari kamar. Aku hanya bisa menutup mata dengan napas sesak.   Tangan Nona Muda menarik lenganku melingkar ke lehernya. "Aku akan bawa kau ke Rumah Sakit," katanya menggiringku ke arah pintu utama. Samar-samar aku melihat Nona Muda dengan mata memerah.   Ingin kubertanya, siapa yang melakukan semua ini. Lalu, suara wanita yang menyuruhku pergi, itu siapa. Namun, aku hanya bisa memegangi dada nyeri akibat asap tadi.   Nona Muda membuka pintu mobil, ia menaruhku di kursi depan. Aku berusaha bersandar nyaman. Sesekali menoleh ke wajah Nona Muda, ia tampak mengusap air mata di pipi. Apakah ia men
Baca selengkapnya
Pindah Kamar
Dari jauh, pagar rumah Nona Muda sudah tampak. Bayangan asap itu kembali teringat. Sedikit takut, tetapi Nona Muda akan sekamar denganku.    "May ... pagarnya!" Suara Nona Muda membuyarkan lamunanku. Sahabatnya bernama Maya bergegas keluar mobil dan menggeser pagar.   Sejenak, aku mengerling halaman rumah yang tak banyak berubah. Dedaunan kering dan beberapa tanaman mati masih berserakan.   Maya gadis berjaket biru itu langsung memegangi lenganku. Terasa sangat dingin dan sedikit keringat. Aku merasa tak nyaman, tetapi ia tersenyum sembari menarikku mengikuti Nona Muda yang membuka pintu utama.   "Kakak, aku ingin mengambil ponsel di kamar," ucapku saat Nona Muda menaiki dua anak tangga.   "Aku sudah memasukkan semua barang ke dalam tasmu, Dik." Nona Muda
Baca selengkapnya
Kabar Berujung Tangis
  "Bagaimana keadaan Fahri dan Arni, Chy?" Aku berusaha mengatur napas ketika mendengar suara Chicy di seberang sana.   "Mengapa kau baru menghubungiku? Adikmu kasihan sekali, Hana. Mereka selalu dimarahi, bahkan Fahmi tadi siang dipukuli oleh Pamanmu ...."   "Adik-adikku melakukan kenakalan apa?" Aku tak sengaja memotong perkataan Chyci karna tak kuat jika mendengar kejadiannya secara jelas.   "Kau tahu sendiri, bagaimana kelakukan anak Pamanmu. Tiap kali anaknya berulah, Fahmi yang dituduh."   Aku bangkit dari pembaringan, meninggalkan Nona Muda dan Maya yang sibuk dengan gawai masing-masing. Aku membelakangi mereka, sengaja duduk di dekat sofa menghadap dinding, tepat di depan pintu kamar.   "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Chy. Aku sudah jauh dari kampung. Bekerjan untuk mereka. Kenapa adik-adikku masih disiksa." Tangisku
Baca selengkapnya
Ketakutan Maya, Sahabat Nona Muda
Kepalaku masih terasa berat untuk beranjak dari bantal. Namun, aku harus memaksakan diri. Sudah berapa hari tak bekerja saat masuk Rumah Sakit kemarin.   Tampak Maya baru saja keluar dari toilet. Dia tersenyum sekilas ke arahku, lalu mendekati tasnya.    "Nona Muda ..." lirihku, lupa bahwa Nona Muda lebih suka disebut Kakak Maria. Aku memperbaiki posisi duduk dengan kaki menyentuh lantai, menghadap Maya. "Kakak Maria ada dimana, Kak?" tanyaku pada gadis berambut sebahu itu. Sibuk mengeluarkan pakaian.   "Ria di kamar Ibunya," jawabnya singkat.   Aku mengangguk pelan. Melangkahkan kaki ke toilet. Lalu, keluar untuk mencari handuk. Ketika aku hampir masuk ke kamar mandi, aku menoleh pada jendela. Kulihat pemandangan halaman rumah dengan beberapa pohon berdaun lebat. Daun kering berserakan seolah-ola
Baca selengkapnya
Wanita Bergaun Putih
Beberapa detik, setelah aku membuka mata, aku tak dapat mengingat apa-apa. Kurasakan dinginnya lantai, mengamati sekekeliling. Wajah hancur wanita bergaun putih mulai terbayang. Aku buru-buru bangkit dengan perasaan seolah-olah sedang berada di perahu dengan ombak terus menerjang. Dadaku berdebar lagi.  Nona muda di sofa masih tertidur. Saat aku menoleh ke jendela, mentari tampak menuju senja.  "Kak ... tolong bangunlah!" Tanganku menggoyangkan bahu Nona Muda dengan pelan. Rasanya aku tak sanggup berada di rumah itu. Nona Muda tak membuka mata. Bingung harus bagaimana. Mataku sesekali mengamati ujung tangga, lagi-lagi bayangan wanita bergaun putih muncul.  "Kakak! Tolong!" Kembali aku guncang tubuh Nona Muda karena tak sanggup menahan resah. Tubuh semakin menggigil, muka basah penuh peluh dan air mata. "Aku ingin pulang," ujarku lirih dengan suara serak. Ada ngilu dan nyeri di punggung, tak mampu aku menahan diri. Pintu utama ta
Baca selengkapnya
Mayat Yang Disembunyikan
"Kita tidur di sini," ungkap pemilik rumah. Ia melebarkan tikar dan kasur tipis di lantai, di ruang tengah. Aku membantu merapikan tikar dan kasur. Dia memberiku bantal. Pintu terdengar sedang diketuk. Aku melirik ke ruang tamu, lalu melihat wanita di hadapanku beranjak dari kasur. Aku pun membuntutinya ke ruang tamu. Dia tampak mengintip lewat jendela. "Majikanmu ada di luar," kata Ibu itu membalikkan tubuh. Sejenak, mataku terasa melotot, kembali merasa takut karena Nona Muda akan membawaku masuk rumah.  Dia membuka pintu. Nona Muda langsung melihatku di belakang wanita pemilik rumah.  "Sedang apa kau di sini, Dik? Aku mencarimu," tanya Nona Muda tampak kesal. Mungkin, dia lelah mencariku di tiap sudut rumah. "Aku lari karena melihat hantu, Kak. Berulang kali aku bangunkan, Kakak ..." sahutku terpotong. "Kau mau lari pulang? Kau selalu halusinasi," sanggahnya. "Masuklah dulu, Nak Maria! Kita bicara d
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status