Share

Kepulan Asap

"Dik ..." panggil Nona Muda di depan pintu. Terdengar jelas itu suaranya. Segera aku beranjak dari pembaringan, sementara ketukan di jendela tak terdengar lagi.

 

"Kakak, tadi ada yang mengetuk jendela," cetusku sembari memandangi Nona Muda yang menenteng kantung plastik hitam.

 

Nona Muda masuk ke kamar, melewatiku dengan tergesa-gesa. Ia menaruh kantung plastik tadi di meja dekat ranjang. Ia membuka jendela dan melihat sekeliling.

 

Aku duduk di tepi pembaringan menunggu Nona Muda berbicara. Tanganku tak sedingin tadi, tetapi bagaimana jika Nona Muda keluar lagi meninggalkanku? Ah, rasanya aku ingin menarik Nona Muda dan melarangnya pergi. Namun, diriku siapa?

 

"Tak ada siapa-siapa di luar." Nona Muda menutup kembali jendela. Lalu, membalikkan tubuh menatapku.

 

"Tapi, Kak. Tadi jendela itu terus berbunyi," sahutku ingin menangis.

 

"Mungkin, kau lapar hingga berhalusinasi. Maaf, aku telat memberimu makan, Dik!" Nona Muda menaruh kantung plastik di pangkuanku. "Makanlah! Lalu, kau beristirahat. Aku juga ingin tidur," imbuhnya menuju pintu.

 

"Kakak!" Aku berusaha mencegahnya, tetapi saat Nona Muda mengernyit mengerlingku, segera aku menggeleng. "Tidak, Kak. Terima kasih banyak!" 

 

Kubiarkan ia keluar dan menarik pintu. Aku membuka mengeluarkan bungkusan makan dan segera mengisi perut. Apakah aku benar-benar hanya berhalusinasi karena lapar? Separah inikah rasa lapar?

 

Usai menghabiskan makanan, aku ke toilet menggosok gigi dan sedikit menyegarkan bagian tubuh karena keringat akibat ketakutan tadi. Aku berusaha mengatur napas senyaman mungkin. Kemudian rebah  memegangi gawai. Sejak datang di rumah Nona Muda, belum pernah aku menghubungi Cici teman kecil di kampung, bertanya keadaan adik-adikku.

 

Kantuk menyerang, aku tak bisa menghubungi Cici karena takut bangun kesiangan. Tepat pukul sepuluh, tak terasa malam begitu cepat, begitu lama aku terperangkap oleh ketakutan halusinasi tadi. Jika memang itu halusinasi, aku bisa sedikit lega.

 

Alarm gawai berbunyi, pukul empat pagi. Lampu di kamar selalu tak kumatikan. Kutatap lamat-lamat, sekelilingku penuh kabut. Aku terbatuk kemudian. Rasanya sesak, semakin tebal. 

 

"Kakak ... Kak!" Aku mengetuk pintu keras. Tak dapat aku melihat dimana kunci kamar kutaruh.

 

Aku menangis tak kuat menahan nyeri di dada. Menutup mulut dan hidung menggunakan sarung.

 

"Tolong ..." teriakku. Tak mungkin juga Nona Muda dapat mendengar suaraku jika tertutup.

 

Aku tergesa-gesa meraih gawai di pembaringan. Menghubungi Nona Muda tanpa henti. 

 

Aku bisa mati! Berulang kali aku menjerit dalam hati, berharap Nona Muda mengangkat telphone.

 

"Angkat, Kak. Angkat!" gumamku menangis terisak. Aku menutup mata tak tahan perih asap itu. Semakin menebal, diambang keputusasaan. 

 

Wajah adik-adikku terus terbayang, nenek dan juga mama. Aku tak ingin mati di sini. Aku ingin pulang. Tubuhku rebah di lantai, berusaha terus menutup hidung dan mulut.  

 

Kucoba membuka mata, berusaha melihat layar gawai lagi. Nona Muda tak mengangkat telphoneku.

 

[Saya bisa mati di sini, Kak. Kamarku penuh kepulan asap, semakin tebal. Saya kesulitan bernapas dan melihat] 

 

Aku hanya bisa mengirim pesan. Jika Nona Muda tak kunjung datang, setidaknya jasadku ia bawa ke kampung halaman. Pikiranku semakin buruk karena kesulitan napas. Untuk bertahan hidup, tak banyak lagi bisa kuharapkan.

 

Entah beberapa menit, samar-samar terdengar suara menyeru. "Pergi dari sini jika kau masih ingin hidup."

 

Siapa suara wanita itu, bukan Nona Muda, aku yakin. Aku terus menutup mata, tak peduli pada teriakan tadi. Jika hanya halusinasi, untuk apa aku menghiraukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status