Share

Napas

Dentum kaki terdengar dari sela bawah pintu. Aku mencoba membuka mata, tetapi sangat perih. Pintu terbuka, mengenai kepalaku karena posisiku berbaring di belakang.

 

Nona Muda terbatuk, ia langsung menarikku keluar dari kamar. Aku hanya bisa menutup mata dengan napas sesak.

 

Tangan Nona Muda menarik lenganku melingkar ke lehernya. "Aku akan bawa kau ke Rumah Sakit," katanya menggiringku ke arah pintu utama. Samar-samar aku melihat Nona Muda dengan mata memerah.

 

Ingin kubertanya, siapa yang melakukan semua ini. Lalu, suara wanita yang menyuruhku pergi, itu siapa. Namun, aku hanya bisa memegangi dada nyeri akibat asap tadi.

 

Nona Muda membuka pintu mobil, ia menaruhku di kursi depan. Aku berusaha bersandar nyaman. Sesekali menoleh ke wajah Nona Muda, ia tampak mengusap air mata di pipi. Apakah ia menangisiku? Atau karena asap itu yang membuatnya perih? Tetapi ia hanya sebentar di sana.

 

"Tetaplah bernapas, Dik." Jemari Nona Muda terasa sangat dingin mengepal tanganku yang  lemah di paha.

 

Ucapan Nona Muda begitu tulus dan aku bisa merasakan kekhawatirannya. Seolah-olah aku akan mati.

 

"Kakak ... aku baik-baik saja," ungkapku menenangkannya. Tak tega melihat ia panik. Sesekali ia menggigit jarinya. Nona Muda yang anggun dan lembut itu menjadi sangat pucat berhamburkan peluh dan air mata.

 

Nona Muda mengangguk, ia menyapu rambutku tanpa penutup. "Kau pasti akan baik-baik saja. Aku tak sanggup mengulanginya," sahutnya tanpa melenyapkan raut kecemasan.

 

Aku semakin bingung dengan keadaan Nona Muda. Jari-jarinya sampai berdarah ia gigit. Hingga kami tiba di depan Rumah Sakit.

 

Buru-buru ia keluar dan membuka pintu mobil untukku. Ia memelukku erat, perasaanku menjadi aneh karena tak pernah ia bersikap seperti itu sebelumnya.

 

Aku terus mengikuti. Tiba di salah satu ruangan, dokter memeriksaku. Alat pernapasan dikenakan ke wajahku. Menutup hidung dan juga mulut. Dadaku sedari tadi tak teratur napas, menahan sakit.

 

***

 

"Kau siapa?" Kubuka mata lebar-lebar saat melihat seorang wanita tampak seumuran dengan Nona Muda. 

 

"Aku sahabat Nona Muda," jawabnya tersenyum. Aku memerhatikan rambut lurus yang terurai. Dengan titik lesung pipi di sebelah kanan.

 

"Dimana Nona Muda?" Aku mengamati pintu di sisi kiri. 

 

"Dia pulang di rumahnya. Kau tak perlu takut. Aku diminta menjagamu." Ia meraih segelas air di meja dekat pembaringan. "Minumlah!" 

 

Aku berusaha bangkit untuk sekedar bersandar, tetapi tubuhku masih lemah. Gadis itu membantuku minum.

 

"Kakak, sering ke rumah Nona?" Aku terpaksa memberanikan diri untuk bertanya karena rasa penasaranku tak mampu kubendung.

 

Ia menatapku lebih dalam beberapa saat. "Dulu ... aku sering berkunjung."

 

"Sekarang bagaimana? Kakak, tidak pernah lagi?" Berusaha aku meneliti netranya, apakah ia sedang menyembunyikan sesuatu.

 

"Kita sering main di luar rumah, apalagi banyak tugas kuliah. Jadi, kita sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya di saat kita luang atau ada hal sangat penting. Kau paham?"

 

Aku mengangguk pelan. "Nona sudah menceritakan kejadian semalam?"

 

Gadis itu menarik napas dalam. "Sudah."

 

"Mengapa ada wanita yang menyuruhku pergi, Kak?" Tak sengaja aku bertanya tanpa memikirkan siapa yang berada di hadapanku.

 

"Wanita?" Matanya membulat sesaat.

 

"Iya ... waktu asap itu menebal, ada wanita yang menyuruhku pergi. Aku akan mati katanya," ujarku tanpa sungkang lagi. Yakin, suara-suara yang menganggu atau mengusir adalah wanita.

 

"Aku .... " 

 

Nona Muda membuka pintu hingga ucapan sahabatnya terpotong. 

 

"Bagaimana perasaanmu sekarang, Dik?" tanya Nona Muda mengusap kepalaku. Jemarinya yang berdarah semalam telah diperban.

 

"Aku baik, Kak," jawabku singkat. "Kapan aku bisa pulang? Aku tak bisa berlama-lama di sini," keluhku karena tak sanggup melihat orang sakit berdarah yang bisa saja berpapasan dengan kami. Rumah sakit tempat menyeramkan.

 

"Kita bisa pulang hari ini, atau lusa." Nona Muda membuka tas dan mengeluarkan kain penutup kepalaku berwarna hitam. "Ini kerudungmu," imbuhnya membantuku mengenakannya.

 

"Terima kasih, Kak!" Sekilas aku memerhatikan wajah Nona Muda yang masih sembab.

 

"Kau tak perlu lagi tidur sendirian. Kau bisa tidur di kamar Kakak," ucapnya tersenyum. Sementara gadis berambut terurai tadi tampak menelan saliva dan menunduk. "Maya juga akan menginap di rumah, bukan?" tanya Nona Muda pada sahabatnya itu.

 

"Te-tentu," jawabnya gugup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status